Kholid tidak hanya bicara soal hukum. Ia bicara tentang hidup. Tentang perut nelayan yang kosong karena akses ke laut dihalangi. Ia bicara soal keadilan yang, entah kenapa, selalu berjalan lebih lambat saat berhadapan dengan mereka yang punya uang.
Publik  Bersama Kholid
Keberanian Kholid menuai simpati. Media sosial ramai dengan dukungan. Kholid disebut-sebut sebagai suara yang selama ini hilang dari layar televisi: suara rakyat kecil. Namun, dukungan itu juga datang dengan catatan. Beberapa pihak mengingatkan, penyebutan nama tanpa bukti kuat bisa jadi bumerang bagi Kholid.
Tapi bagi Kholid, risiko itu tidak menggentarkan. Baginya, perjuangan ini bukan untuk dirinya sendiri. "Laut ini bukan milik mereka yang punya tembok tinggi. Laut ini milik kita semua, milik anak-anak kami," katanya.
Bagaimana Selanjutnya?
Proyek  pagar laut ini telah menjadi perhatian nasional. Berbagai pihak, dari LSM hingga masyarakat umum, mendesak pemerintah untuk menyelidiki dugaan pelanggaran ini. Namun, di sisi lain, belum ada tindakan nyata yang dilakukan. Hingga akhirnya Pemerintah, melalui TNI AL melakukan pembokaran.
Kholid sendiri tetap melaut, seperti biasa. Namun kini, ia bukan sekadar nelayan. Ia adalah simbol perlawanan. Seorang pria sederhana yang, dengan kail kecilnya, mencoba menangkap ikan besar dalam kolam kekuasaanDiharapkan, keberanian dan ketegasan Pak Kholid dapat menginspirasi masyarakat luas untuk lebih peduli terhadap lingkungan dan berani menyuarakan kebenaran. Kasus ini juga menjadi pelajaran bagi para pemangku kebijakan untuk lebih cermat dalam merencanakan dan melaksanakan proyek pembangunan, dengan mengedepankan dialog dan partisipasi masyarakat serta memperhatikan kelestarian lingkungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H