Mohon tunggu...
John Tirayoh
John Tirayoh Mohon Tunggu... -

"Life was like a box of chocolates. You never know what you're gonna get." \r\n\r\n"God created Universe and the rest is all made in ChIna" :D

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Review Film "Soekarno" 'Tendensi Hanung Bramantyo Mengisahkan Soekarno'

16 Desember 2013   16:23 Diperbarui: 4 April 2017   17:54 6653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Hanung tidak fair dalam hal ini. Tanpa bermaksud menjadi Tuhan, saya berpikir bisa jadi para remaja sekarang yang melihat sosok Soekarno lewat film ini, menyimpulkan Soekarno adalah tokoh playboy dan kolaborator Jepang. Penonton tidak melihat perjuangan riil Soekarno selain gambaran Soekarno pidato dan orasi yang berapi-api. Soekarno memang memilih bekerja-sama dengan Jepang sebagai perjuangan taktis menuju

Indonesia merdeka. Namun, penggambaran Hanung justru bisa blunder di mata penonton. Penikmat film akhirnya bisa berkesimpulan, Soekarno memang 100 persen tunduk kepada Jepang daripada menghadapi maut. Padahal dalam banyak literatur sejarah menjelaskan, Soekarno sering melakukan tawar-menawar ke Jepang hingga akhirnya lagu Indonesia Raya bisa berkumandang dan Merah Putih berkibar. Bukan sekedar kemurahan hati Jepang saja boleh melakukan hal tersebut.

Saya pernah menonton film biografi bapak bangsa Irlandia bernama Michael Collins besutan Neil Jordan. Disitu Neil Jordan fair dalam mengisahkan Michael Collins yang kontroversial. Penggambaran

Michael Collins merebut kekasih teman seperjuangannya dan menanda-tangani perjanjian dengan Inggirs yang membuat Irlandia menjadi terbelah dua diceritakan. Namun, Neil Jordan juga mempertontonkan perjuangan heroik dengan alur yang nikmat hingga penonton mengerti dan bisa menafsirkan sendiri mengenai sosok Michael Collins.

Peristiwa menjelang Proklamasi juga mengganjal hati saya. Dari banyak sumber mulai penulis sejarah Julius Poor berjudul” Djakarta 45”, Wawancara Soekarno dengan Cindy Adams, serta buku Ben Anderson yang berjudul “Java in a Time of Revolution” sepakat menuliskan para pemuda berbeda pendapat tajam dengan Soekarno Cs.

Hanung memang menggambarkan hal tersebut tanpa melenceng. Namun, Saya sangat terpukul ketika Hanung Bramantyo menggambarkan Sukarni (tokoh Pemuda) sebagai sosok seorang pemuda yang cengengesan dan sepanjang adegannya seperti badut lucu. Kenapa buku sejarah menulis Sukarni Cs yang menculik Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok karena Sukarni di jaman tersebut merupakan tokoh pemuda yang disegani dan berwibawa bersama Wikana, Chaerul Saleh, dan tokoh pemuda lainnya. Jadi penggambaran Sukarni yg cengengesan dan tak berwibawa benar-benar menohok bagi saya yang menganggap Sukarni adalah pemuda gagah berani.

Penggambaran semenjak pulang dari Rengasdengklok suasana tegang sebenarnya terjadi menyelimuti Soekarno. Hal itu tidak terlihat. Malah dengan sederhana, Laksamada Maeda tampil sangat humanis dan sudah mengumpulkan para anggota BPUPKI di kediamannya untuk memberikan tempat dan waktu bagi Soekarno Cs menyusun proklamasi.

Selain itu, suasana Pegangsaan Timur yang dibangun Hanung, begitu tenang dan damai di pagi jelang pembacaan Teks Proklamasi. Seakan-akan pembacaan proklamasi hal yang biasa. Padahal suasana saat itu begitu menegangkan. Kenapa banyak anak muda membawa bambu, karena atas perintah Sukarni Cs agar para pemuda bersiap menjadi tameng apabila Jepang membubarkan acara.

Sakralisasi peristiwa menjelang pembacaan Proklamasi tak saya dapatkan. Meski ini film mengenai Soekarno, namun proklamasi merupakan momen paling penting dalam hidup Soekarno. Naskah Proklamasi yang ditanda-tangani Soekarno-Hatta menjadi patokan Indonesia Merdeka. Suasana haru dan menggetarkan hati, tidak terjadi dalam diri saya saat menonton adegan tersebut.

Terlebih ketika digambarkan pemanis banyak pedagang kaki-lima berjualan saat proklamasi. Jelas-jelas saat itu sedang bulan puasa. Hampir tidak mungkin ada pedagang menjaja makanan kaki lima.

Hanung memang bebas saja membuat film Mengenai Soekarno berdasarkan literatur yang dia baca dan pandangannya mengenai Soekarno. Tetapi hendaknya penting juga untuk memikirkan bahwa film mampu menjadi propaganda ampuh kepada penonton. Dengan penggambaran Soekarno versi Hanung, justru lebih kental percintaan dibandingkan penderitaan Soekarno dalam memperjuangkan kemerdekaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun