"Mungkin Bapak tidak dapat duduk dan bermain di samping kalian. Tapi, Bapak ingin kalian tumbuh dengan Bapak di samping kalian. Ingin tetap dapat bercerita kepada kalian. Ingin dapat mengajarkan kalian"
Suatu ketika kabar buruk itu sampai di telinga Gunawan dan Itje. Gunawan hanya mempunyai satu tahun lagi untuk hidup karena penyakit yang menggerogoti dirinya. Kesedihan meliputi Gunawan dan Itje.
Hasil pernikahannya bersama Itje, sudah mempunyai dua anak kecil saat vonis kematian itu datang. Namun Gunawan tak mau menyerah. Dia tetap ingin menjadi sosok ayah yang berkewajiban menjadi penuntun untuk anaknya.
Lewat rekaman video, Gunawan mempersiapkan segalanya. Rekaman demi rekaman untuk menemani anaknya agar tumbuh menjadi seorang dewasa yang bertanggung-jawab.
Rekaman dari sang ayah menjadi panduan buat Satya dan Cakra. Setiap hari Sabtu, dua anak ini menerima pesan dari sang ayah sembari ditemani oleh sang ibunda. Hingga akhirnya dua anak tersebut sudah menjadi dewasa.
SBB (Sabtu Bersama Bapak) merupakan adaptasi dari novel Adhitya Mulya berjudul sama. Larisnya Novel membuat Maxima Pctures mengangkat ke layar lebar. Lewat tangan Monty Tiwa sebagai sutradara. Abimana, Ira Wibowo, Arifin Putra, Dewa Mahenra, Acha Septriasa, dan Sheila Dara Aisha sebagai mengisi peran utama.
Tak perlu membandingkan SBB antara novel dan film. Karena selalu menjadi alasan klasik bagaimana ratusan halaman musti dikemas dalam durasi kurang lebih 2 jam.
Mengoyak perasaan penonton menjadi kelebihan dalam film SBB. Bagaimana di awal film sudah mencoba menghentak penonton lewat kesedihan Gunawan dan Itje saat menerima kabar vonis kematian. Meskipun Abimana jomplang secara usia dengan Ira Wibowo, namun keduanya memukau dalam penggambaran sepasang suami istri.
Selebihnya ada kisah Satya yang diperankan oleh Arifin Putra berkutat pada kehidupannya dengan Acha yang menjadi sosok istri. Plus kisah Cakra (Dewa Mahenra) yang jenaka dikelilingi teman-teman kantornya dalam mencari jodoh.
Kalimat-kalimat petuah serta pesan kehidupan Adhitya Mulya dalam novel sudah mumpuni untuk membuat film SBB menjadi drama yang menyentuh perasaan penonton. Namun, semua itu musti diracik dengan baik oleh sang sutradara. Itulah peran Monty Tiwa mentransformasikan dalam bentuk visual. Agar kelak tak menjadi cibiran bagi penikmat novel yang mencoba melihat versi layar lebarnya.
Satya dan Rissa sebagai suami-istri yang harmonis tak lepas dari problematika yang ada. Pesan Sang Bapak menjadi acuan Satya. Namun, bukan berarti tak akan ada masalah. Keduanya musti saling kompromi untuk menjalani kehidupan sebagai suami istri. Â Adegan demi adegan Satya dan Rissa, apik dan begitu natural untuk penggambaran kehidupan suami-istri.