Mohon tunggu...
John Patanisia
John Patanisia Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Identitas Patanisia terdahap Thailandia

3 Februari 2016   20:24 Diperbarui: 5 Mei 2016   20:59 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Proses perubahan social politik di Patani (1) tidak terlepas dari peran actor-actor baik Civil Society Organizations (CSOs), kultural masyarakat Patani dan elit politk yang berada di pusat kekuasaan. Dengan modal-modal yang mereka memiliki mampu membawa perubahan yang singnifikan dengan bekerjasamanya ketiga actor itu dalam membangun perdamaian di Patani. Proses perdamaian Patani melalui rekonsiliasi dan rekontruksi mampu mengiring antara Patani dan pemerintah Thailand membuka pintu perubahan untuk Patani dan Thailand dalam suatu wadah. Dengan demikian proses perdamaian yang hakiki yang berbijak pada nilai-nilai budaya Melayu Patani mampu mengiring suatu perubahan social politik. Ini kebijakan-kebijakan pemerintah tidak dapat mengadopsi pada budaya dan masyarakat politik (political society) Patani yang mayoritas muslim.

Rekonsialisasi pemerintah Thailand dengan masyarakat Patani (BRN) dalam menyelesaikan konflik yang selama ini terjadi dengan menglibatkan pihak ketiga yaitu actor asing yang dorong dan dokongan sehingga melahirkan kesepakatan perhatian peremushan akibat konflik dan prosesi perdamaian yang hakiki.

Dalam konflik yang terjadi dapat kita temui bahwa konflik umumnya berakar pada latar-belakang politik, maupun berasal dari kebijakan yang tidak adil. Di sisi lain, ketidak-imbangan alokasi sumberdaya telah mendorong rasa ketidakadilan yang berujung pada konflik. Sementara, isu agama, etnis, maupun separatism, merupakan factor pemicu yang membungkuskan konflik terus berkepanjangan. Dalam situasi konflik, hampir seluruh fungsi-fungsi pemerintah tidak dapat berjalan efektif.

Semenjak 2004 cetusan manifesto politik pada era revolusi di Patani dengan secara gerilya, dalam situasi dan kondisi konflik lebih kurang satu decade dengan tanpa titik temu untuk berahkir. Walaupun proses dialog perdamaian antara pemerintah Thailand dengan BRN (Barisan Revolusi Nasional Melayu Patani) sering beberapa kali namun tidak begitu nampaknya resolusi yang paling terbaik dalam menyelesai masalah konflik. Justru dampak dari kekerasan bersenjata semakin kuat, hingga kebelakangi ini dapat mengurangi dan hendari sasaran mangsa terkorban bukan kelompok sesama angkatan bersenjata, akan tetapi rasa ketakutan bagi penduduk di zona konflik dan seluruh warga negara masih berharap untuk berhenti segala operasi kekerasan dan aktivitas bersenjata, dan harus mengembalikan ke meja dialog untuk mendapatkan kontrak yang bersepakatan sehingga terus mengembalikan hak-hak meraka dengan kesejahteraan dan kedamaian bagi warga penduduk setempat dengan hakiki.

Problem yang sama sebagaimana dikemukakan oleh Sartono Kartodirdjo dan Manuel Castells tampaknya terjadi pada kasus Muslim minoritas Patani di Thailand Selatan. Sejak diproklamirkannya kemerdekaan itu, masyarakat Muslim Patani yang merasa berbeda agama, etnis, dan klaim historis atas tanah menganggap bahwa pemerintah pusat tersebut adalah “semacam kolonial” yang sedang menawarkan perubahan atau modernisasi dengan identitas tunggal, yaitu identitas nasional Thailand (Siamisasi) yang berbeda dan menggerus identitas kultural yang mereka miliki. Perbedaan kepentingan politik antara nasional dan lokal dan identitas ini mendorong masyarakat minoritas itu melakukan pemberontakan melalui konflik dan bahkan kekerasan. Gerakan dengan menuntut merdeka wilayah tersebut mungkin bisa disebut sebagai “gerakan nasionalis (nationalist movements)”, yaitu suatu gerakan oleh kelompok minoritas atas dasar identitas politik berdasar kultural dan klaim kewilayahan tertentu atas pemerintah pusat karena merasa ditindas oleh kelompok mayoritas. Jika aspirasi itu tidak bisa dicari titik temu maka kekerasan adalah salah satu konsekuensinya.

Menurut Meadwell,(2) ada tiga faktor yang membuat terjadinya mobilisasi kultural berhadapan dengan mayoritas dan pemerintah pusat, yaitu berkaitan dengan kemajuan dan perubahan ekonomi; adanya ketidaksederajatan dalam kesempatan pendidikan, lapangan kerja, dan ekspresi; serta meningkatnya kelas menengah yang bisa merumuskan kepentingan bagi mereka. Sedangkan Chalk(3) berpendapat bahwa setidaknya ada tiga faktor yang menjadi akar penyebab gerakan minoritas Muslim atas pemerintah pusat dan mayoritas. Pertama, ketidaksensitifan pemerintah pusat terhadap keprihatian lokal, kemiskinan, ketertinggalan pendidikan, dan langkanya lapangan kerja di satu pihak dan ke-abai-an atau ketidakpedulian regional atau pemerintah pemerintah dan masyarakat di sekitarnya di pihak lain. Kedua, represi militer dan penyeragaman identitas; dan Ketiga, kekuatan dorongan Islam.

Dalam konteks hak-hak kelompok minoritas di dalam negara nasional, Willy Kymlicka berpendapat bahwa baik minoritas pribumi atau native maupun imigran harus diberi hak yang sama dengan mayoritas dalam identitas nasional. Keduanya memiliki hak sederajat dalam konstitusi maupun sosial-ekonomi-politik. Namun mereka dibedakan bahwa, imigran tidak memiliki hak untuk menuntut self-government, berbeda dengan minoritas pribumi. Menurut Kymlicka,(4) minoritas pribumi seharusnya memiliki hak untuk menuntut atau diberi self-government. Dalam konteks berlarutnya konflik dan kekerasan di Patani dengan Thailand, dengan demikian, bisa dilihat adanya konsep nasionalisme yang berbasis pada (nation-state) negara-bangsa di satu pihak dan tidak diberikannya hak self-government kepada kelompok minoritas tersebut di lain pihak.

Selanjutnya, identitas nasional (national identity) biasa dikatakan sebagai suatu fenomena modern yang membentuk solidaritas dari berbagai elemen suatu masyarakat di dalam kawasan terotorial tertentu yang kemudian menjadi bangsa atau negara-bangsa.(5) Menurut Anthony Smith, identitas nasional adalah sesuatu yang mencakup hampir seluruh dimensi kehidupan sehingga ia menjadi suatu kekuatan yang ekslusif dan inklusif sekaligus. Ia bukan hanya dalam aspek politik, ekonomi tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari atau budaya.(6)

Elemen-elemen tersebut bisa terdiri dari banyak hal seperti etnis, agama, kultur dan kebiasaan lokal, ras dan sebagainya. Meski demikian, identitas nasional tidak meleburkan secara tuntas keseluruhan dari elemen-elemen tersebut. Bangsa dalam pengertian modern sesungguhnya lebih menyerupai apa yang oleh Bennedict Anderson disebut sebagai imagined communities,(7) suatu bentuk masyarakat yang diangankan sebagai satu kesatuan tetapi elemen-elemen di dalamnya sesungguhnya masih bertahan. Identitas nasional, dengan demikian, adalah suatu bentuk hubungan yang bersifat dinamis antara elemen-elemen tersebut yang bisa berubah dari waktu ke waktu lain. Hubungan antara elemen-elemen tersebut terikat oleh suatu perjanjian bersama berupa konstitusi.

Namun betapa pun solidnya identitas nasional tersebut tidak karena desakan dari luar seperti globalisasi maupun yang berasal dari dalam dengan makin tumbuhnya kesedaran akan hak-hak, seperti hak kultural dan keadilan ekonomi minoritas atau mereka yang terpinggirkan dengan berbagai alasan. Di masa lalu, setidaknya hingga Perang Dunia II tetapi pengaruhnya masih terasa hingga sekarang, identitas nasional bisa berimplikasi bagi usaha penghapusan elemen etnis, kultur local, agama demi kesatuan bangsa, dengan cara yang paling halus melalui asimilasi sampai pemaksaan dan kekerasan. Asumsi identitas nasional yang bersifat homogin dan mencakup itu kini sedang dipertanyakan kembali secara deras dan munculnya factor global dan kesedaran hak dari elemen-elemen di dalamnya, terutama paska berakhirnya Perang Dingin.(8) artinya, identitas nasional sebagai suatu kesatuan yang mencakup danbentuk solidaritas dalam lingkup teritorial tertentu yang disepakati sebagai suatu negara atau negara bangsa (nation-state), bisa terus dipertanhankan. Namun realitas baru pengaruh global dan bangkitkan kesedaran internal itu menutut adanya suatu bentuk baru hubungan antara elemen di dalam lingkup negara-bangsa itu sendiri.

Fenomena minoritas Muslim di lingkup negara Thailand bisa jadi merupakan bukti dari fenomena tersebut. Meskinpun tuntutan itu muncul sejak kemerdekaan segera setelah Perang Dunia II, tetapi kini mengalami pergeseran yang signifkan. Misalnya, di satu pihak mereka telah melepaskan tuntutan atas kemerdekaan namun di lain sisi mereka menuntut hak yang lebih substantive misalnya dalam pengelolaan sumberdaya alam dan hak untuk memerintah sendiri (self-government). Demikian halnya, di dalam minoritas Muslim di wilayah itu juga mengalami pergeseran baik strategi maupun tuntutan. Jika dulu gerakan separatisme cenderung dianggap sebagai representasi satusatunya bagi minoritas untuk menuntut kemerdekaan maupun otonomi, kini muncul kelompok-kelompok civil society dan bahkan gerakan individu yang cenderung menggunakan public sphere dan penguatan masyarakat sipil sebagai strategi perjuangan untuk mencapai tujuan dan menuntut hak mereka sebagai minoritas.(9)

 

Referensi;

1. Patani atau Pattani; Patani (dengan satu “t”) adalah ejaan dalam konteks sejarah awal dan kepercayaan Melayu-Muslim, nama tersebut juga merujuk kepada nama Kerajaan Melayu Islam Patani. Kini nama Patani telah diubah ke dalam ejaan Thailand dengan nama Pattani (memakai dobel ‘t’), dan merupakan nama sebuah provinsi di Thailand Selatan. Kutipan dari; Laporan Bulanan, Lembaga Kajian Syamina, Edisi VIII Januari 2014. hlm 16.

Ada perebutan aksen dalam penggunaan kata “Patani” antara orang-orang Thai dan orang Melayu di tiga provinsi yang bergolak ini. Aksen Thai menggunankan dobel tt (Pattani) sementara kaum Melayu menggunakan satu “t” (Patani). Dalam naskah ini akan menggunakan Patani dengan satu “t”. Diulasakan oleh; Ahmad Suaedy, Dinamika Muslim Mencari jalan Damai: Peran Civil Society Muslim di Thailand Selatan dan Filipina Selatan, (Jakarta: The Wahid Institute, 2012). hlm. 1.

2. Hudson Meadwell, “Forms of Cultural Mobilization in Québec and Brittany, 1870-1914,” Comparative Politics 15, no. 4 (July 1983), 401-417.

3. Peter Chalk, “Separatism and Southeast Asia: The Islamic Factor in Southeastern Thailand, Mindanao, and Aceh,” Studies in Conflict & Terrorism 24 (2001): 241-269 dan 259.

4. Will Kymlicka. Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority Rights. (Oxford: Oxford University Press, 1995), 63.

5. Anthony D. Smith, National Identity, (Nevada: Nevada University Press, 1991), 19-42.

6. Ibid.,hlm 143-144.

7. Benedict Anderson, Imagined Communities; Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (Manila: Verso, 2004), Edisi Revisi.

8. Anthony Smith, National Identity, 145-150.

9. Gothom Arya, “Local Patriotism and the Need for Second Languange and Education Policies in the Southern Border Provinces,” dalam Imtiyaz Yusuf dan Lars Peter Schmidt, eds. Understanding Conflict Approaching Peace in Southern Thailand (Bangkok: KAS, 2006), 17-51.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun