Oleh : John Lobo
Isu strategis yang menjadi bahan pergumulan pada hari kedua, Jumat (15/10/2022) di Hall Mina Akbar adalah Penguatan Toleransi dan Perdamaian. Tema tersebut sangat menarik perhatian banyak murid, pengagum dan penerus pemikiran serta perjuangan Gus Dur yang sedang mengikuti Temu Nasional (TUNAS) GUSDURian 2022.
Alamsyah sebagai pemateri memaparkan bahwa ada 5 (lima) komponen penting yang bertemali dengan tema terkait. Kelima unsur yang dimaksud antara lain ; konteks dan isu - isu penting, peta aktor, visi toleransi dan perdamaian tahun 2025, visi KH Abdurrahman Wahid, dan kerangka kerja.
Mengenai konteks dan isu - isu penting dijelaskan bahwa negeri ini memiliki kapital sosial yang cukup solid untuk membangun dan mengembangkan toleransi dan perdamaian, termasuk ketika menghadapi krisis sosial. Aset tersebut cukup ampuh tatkala digunakan untuk merespon masa suram ketika Covid-19 melanda dunia termasuk Indonesia beberapa waktu yang lalu.
Berbagai praktik baik yang merupakan formulasi bentuk kepedulian  berbagai pihak seyogyanya bisa mendorong penyelesaian berbagai kasus terkait pelanggaran hak beragama dan menjadi media promosi menguatnya toleransi dan perdamaian.
Realitasnya tidak demikian mengingat masih saja berseliweran berbagai aksi yang menggerogoti nilai toleransi dan perdamaian. Hal tersebut dipengaruhi oleh dua variabel yaitu faktor kultural dan struktural. Kedua unsur pemicu semakin tak terkendali ketika mendapat sokongan signifikan dari perilaku yang menyimpang dalam pemanfaatan media sosial .
Sosok aktor yang sangat berperan dalam penguatan toleransi san perdamaian adalah komunitas lintas iman dari berbagai lapisan generasi juga aktor negara baik kepolisian maupun pemerintah daerah. Â Namun hal kontras yang sering dijumpai adalah masih ada pemerintah di beberapa daerah yang diskriminatif melalui berbagai bentuk kebijakan .
Berpijak pada modal dan pengalaman yang dilalui oleh bangsa Indonesia saat ini, toleransi dan perdamaian pada tahun 2025 diproyeksikan untuk menciptakan dua kondisi yakni pertama, kehidupan toleransi dan perdamaian antar warga bangsa berbasis semangat solidaritas aktif, bukan sekedar toleransi pasif. Kedua, terbangunnya infrastruktur toleransi dan perdamaian dalam bentuk layanan dan kebijakan pemerintah yang non - diskriminatif.
"Perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi" merupakan statement KH Abdurrahman Wahid yang layak diposisikan sebagai kerangka dasar dalam memaknai toleransi dan perdamaian. Hal tersirat dari pernyataan tersebut adalah bahwa toleransi dan perdamaian hanyalah syarat bukan tujuan. Sementara muara yang sejati adalah keadilan dan kesejahteraan.
Guna menggapai kondisi toleransi dan perdamaian pada tahun 2025 melalui kehidupan berbasis solidaritas aktif dan infrastruktur baik toleransi maupun perdamaian, kita memerlukan kerangka kerja yang solid dan terukur serta dijalankan dengan landasan visi Gusdurian. Kerangka tersebut didesain melalui tiga level yaitu : penguatan basis atau masyarakat, pengarusutamaan gagasan, dan jejaring gerakan, kebijakan publik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H