Mohon tunggu...
John Lobo
John Lobo Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi dan Penggagas Gerakan Katakan dengan Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Guru di SMA Negeri 2 Kota Mojokerto Jawa Timur

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Mengandalkan Sepatu Lusuh

15 Maret 2022   20:46 Diperbarui: 15 Maret 2022   20:50 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh : Eddy Loke

Pagi ini, Sabtu tanggal 19 Februari 2022 , tepat jam 04.00 saya terbangun. Masih dengan irama hidup yang sama, saya berusaha mentaati dan membiasakan 'pemanfaatan 2 menit di awal hari'. Berjalan menuju tempat sepatu yang sudah berusia tua. 

Sepatu tua itu, ada sejarahnya. 10 tahun yang lalu, ketika saya bersama Pater Kurt Bard SVD membeli bola (bola kaki dan bola volley) di toko Asia -- kawasan Pasar Atom Surabaya, pemilik toko menawarkan sepatu sebagai bonus karena membeli bola dalam jumlah yang banyak. Pater Kurt lalu menawarkan 'sepatu tersebut' kepada saya.

Saat ini, sepatu itu sudah nampak lusuh karena sudah memberikan kontribusi bagi kesehatanku. Hampir setiap pagi, saya menggunakannya untuk berlari sekitar 3 sampai 4 Km. Wajar, penampilannya sudah tidak menarik. Mengapa saya tertarik bahas tentang sepatu lusuh ?

Tadi pagi ketika sedang berlari, saya berpapasan dengan sepasang suami isteri dengan penampilan yang luar biasa. Sepatunya bermerk mahal. Dari jauh, sudah kelihatan mengkilat. Warnanya menyolok mata. 

Si pemilik sepatu mahal tersebut, ternyata sudah tidak kuat berlari. Hanya berjalan beberapa langkah, kemudian berhenti sesaat untuk menghela nafas. 

Pikiran positifku, muncul. Ketika mengenakan sepatu mahal, sang pemiliknya 'diprovokasi' untuk lebih banyak bergerak, berjalan, bila perlu sampai berlari supaya sehat. Harapannya jelas. Ketika sepatu mahal itu sudah berusia tua, sang pemilik sepatu memanen kesehatan.

Kondisi sepatuku yang sudah lusuh nampak sangat berjasa. Dia melindungi kaki dari benda tajam, dari percikan air, dari kerikil tajam, dari lumpur. Dia pun mengiringi perjalanan hidup saya dalam memperjuangkan kondisi badan yang sehat. Ada yang tidak memaksimalkan alat yang sudah dibeli mahal. 

Sudah beli alat senam dengan harga jutaan, tetapi dibiarkan ketika rasa bosan menimpa diri. Sudah beli perangkat sound system untuk senam berirama, namun dibiarkan dengan alasan sibuk. Sudah beli pakaian olahraga yang mahal, namun hanya jadi pajangan ketika jalan jalan. 

Pembelajarannya sangat jelas. Alat mahal, peralatan canggih, pakaian trendy, harus jadi sarana untuk 'meningkatkan kualitas kesehatan'.

Hampir sama dengan para pemain sepakbola. Mereka membeli pakaian olahraga bermerk dan mahal : sepatu mahal, kaos kaki, celana, baju, ban lutut, bola harus bermerk dan produk asli. 

Namun ketika turun lapangan (bermain), hanya kuat 10 sampai 15 menit, karena nafasnya tersengal sengal. Akhirnya meninggalkan lapangan. Yang penting, kemahalan yang melekat di tubuhnya, sudah dilihat banyak orang. Itu saja.

Berdampak positif pada kesehatan ? Tidak. Padahal alat mahal itu diharapkan bisa terus mengawal sang pemilik sampai memiliki kondisi kesehatan maksimal. 

Kemahalan barang yang melekat di tubuhnya bisa terus menggoda pemiliknya untuk setiap hari menggunakan alat tersebut untuk memiliki kualitas kesehatan yang prima.

 Sayang, kadang kala sang pemilik pakaian dan alat olahraga yang mahal, tidak sempat berpikir ke arah sana. Yang ada hanya, pajangan belaka. Ia hanya nampak terawat, bersih, mengkilat, dan terlihat banyak orang sebagai barang mahal, namun tidak memberikan kontribusi bagi kesehatan tubuh. Sepatu lusuhku bisa menyuarakan 'makna' bagi kehidupanku. (Editor : John Lobo)

Surabaya, 19 Februari 2022

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun