Ritus Wuwu Mai dilaksanakan setelah acara sedo berakhir. Tanpa jeda masyarakat yang terlibat dalam prosesi sebelumnya langsung menyiapkan diri untuk ritus yang dimaksud. Salah satu kanun yang wajib dilakukan ketika akan memasuki tahapan ini adalah melepaskan beberapa aksesoris yang seperti Tuba dan Sau. Dari pihak Teke Wesu (Sa'o Patola) menyiapkan Bhuja (sejenis tombak).Setelah itu Bhuja diserahkan kepada empat pasang laki-laki dan perempuan yang akan berdiri paling depan selama prosesi Zo Wuwu Mai berlangsung.Bhuja tersebut digenggam cukup erat dan berfungsi sebagai pembatas agar peserta tetap berada dalam barisan yang teratur dan rapi.
Secara historis, Bhuja Ga'e atau Bhuja Kawa tersebut merupakan warisan yang diberikan oleh Gale Ga'e dan Ngao Ngedo sebagai pemilik (Mori Wesu) Reba Deru kepada Paji nee Tado sebagai penjaga, pelestari, penerus(Teke Wesu) Reba Deru. Alasan mendasar bahwa Gale Ga'e dan Ngao Ngedo menyerahkan tradisi reba tersebut karena mereka sedang konsentrasi untuk berperang terutama menghalau musuh yang datang dari berbagai penjuru menyerang kampung halamannya.
Selain itu Gale Ga'e dan Ngao Ngedo juga menyerahkan Ngia Ngora (lahan pertanian atau ladang maupun hutan) yang harus dikelola untuk menanam padi (pare), ubi (uwi) dan berbagai jenis tanaman yang berguna untuk kebutuhan sehari-hari terutama jenis tanaman yang mendukung tradisi reba.Ada dua ngia ngora yang dimaksud, yaitu lahan yang berada di Tana Li (Bejo) dan Pomawio.
Melalui ngia ngora juga Paji nee Tado mewariskan tradisi budaya tanam yaitu Zo'a Bhoko nee Bere Kedhi. Oleh karena itu kedua Sa'o (Patola dan Gebha Wea) ditahbiskan sebagai pera riwu (pelaku utama) dalam hal menanam. Kedua Ngia ngora yang diberikan tersebut merupakan penjamin komitmen yang diberikan agar Paji nee Tado serius dan sanggup untuk menjaga, meneruskann dan melestarkan Reba Deru
Zo Wuwu Mai merupakan salah satu ritus dalam Reba Deru. Bahkan pada masyarakat suku Ngada yang memiliki tradisi yang sama. Artinya ritus Zo Wuwu Mai hanya ada dalam Reba Deru. Keunikan itu terletak pada tata gerak dan lagu serta makna yang terkandung di dalamnya.Dalam tata gerak peserta melakukannya dengan sederhana. Sambil memegang Bhuja Kawa keempat pria yang berada di depan saling berhadapan dengan keempat perempuan sambil bergerak secara berlawanan ke kiri dan ke kanan. Mereka bertindak sebagai pemandu. Selanjutnya peserta yang berada di belakang keempat perempuan dengan kedua telapak tangan terbuka mengikuti gerakan mereka. Peserta harus mundur dan maju beberapa langkah secara teratur  baik ke kiri maupun kekanan sesuai dengan syair yang dinyanyikan.
Lirik yang dinyanyikan selama Zo Wuwu Mai adalah penyebutan nama-nama pasangan dari setiap sa'o meze yang menyebar pada ketiga suku yang melaksanakan Reba yaitu Woe Loma, Woe Deru, dan Woe Bu'u. Contoh;
Pemandu : E e e e me Lina ate ame ka'e, ne Bhoki kau sia fine ga'e, Ne Bhoki kau zo wuwu mai 2x
Peserta : Wuwu mai...wuwu mai ne Bhoki kau zo wuwu mai  ne Bhoki kau zo wuwu  mai...dan seterusnya hingga nama pasangan yang mendiami semua Sao Meze di sebutkan.Sembari melantunkan lirik-lirik tersebut peserta juga melakukan gerakan-gerakan seperti yang disampaikan sebelumnya.
Mendengar namanya dinyanyikan melalui lantunan lirik lagu dan tari zo wuwu mai, maka mereka bergerak memasuki area kegiatan sambil membawa persembahan berupa nasi yang disimpan dalam salah satu wadah yang berbahan daun lontar yang disebut Wati (maki sewati) daging ayam dan moke dua botol, menuju Nabe (batu datar) tempat meletakkan persembahan . Makanan dan minuman yang dihantar akan dijadikan santapan bersama setelah rangkaian acara tersebut berakhir
Menurut teori kulturkreis, Wuwu  sama dengan Ulu wuwu yaitu ubun-ubun/cakra mahkota. Misteri konsep zo wuwu mai terasa dekat dengan filsafat Tao (China) Wu Wei.Dengan sikap Zo yang berarti  menganugerahkan pemberian ikhlas dari 'atas' (Dewa Zeta) yang diteruskan secara pasif, natural dan sadar ("wuwu") oleh manusia ("kita ata") yang "mai" (datang berproses) sebagai "existenz" (penyalur berkat dari Sang Maha Ada yang menghendaki kita selalu ada dalam lingkaran tarian hidup bersama yang berpasangan secara pantas dan serasi seperti yang Dia telah tetapkan (titi bhigi tegha wegha) dari semula. Muncul misalnya dalam karakter generalis isi Deru yang suka (mudah) memberi, tidak pelit, penyayang dan pengasih, suka menolong, dan baik hati. Demikian tanggapan Dr. Drs Watu Yohanes Vianey, M.Hum pengajar Ilmu Filsafat di Universitas Katolik Widya Mandira Kupang dalam sebuah diskusi di media sosial (john lobo)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H