Mohon tunggu...
Kei Kurnia
Kei Kurnia Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Believing is Seeing

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ngapain Sih Kita Berpuasa?

19 April 2022   22:00 Diperbarui: 19 April 2022   22:10 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ade Armando dibawa oleh polisi menuju RS terdekat (sumber: CNN.com)

Bulan puasa adalah bulan suci bagi umat Islam di seluruh dunia. Pada bulan ini umat Islam menunaikan ibadah puasa sebagai pendekatan sekaligus penyucian diri kepada Allah Swt. Pada bulan ini saya mengikuti sebuah acara buka bersama lintas iman yang diadakan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. 

Acara ini menarik sebab saya bukanlah penganut Islam. Saya seorang Katolik yang tertarik dalam acara lintas agama semacam ini. Betapa indahnya toleransi dapat terjadi di bumi Nusantara ketika antar penganut agama di Indonesia berjumpa dan bercerita tentang imannya. Setidaknya itulah yang selalu terpintas dalam bayangan saya manakala ada acara yang mempertemukan umat lintas agama.

Pada Jumat, 8 April 2022 Keluarga Mahasiswa Katolik (KMK) Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta mengadakan acara diskusi lintas iman dan buka puasa bersama di Kedai Pecel Pincuk, Sewon, Bantul pada pukul 15.30-19.00. 

Pada kesempatan itu pengurus KMK menghadirkan dua narasumber yang berkompeten dari dua agama. Beliau adalah Prof. Dr. Munjid, Phd., ketua Mardliyah Islamic Center UGM dan Romo Martinus Joko Lelono, Pr., ketua Hubungan Antar Agama Keuskupan Agung Semarang. Tema yang diangkat pada acara ini adalah “Mengapa Kita Berpuasa?”

Pokok bahasan yang diulik merupakan pemahaman puasa dari dua sudut pandang agama: Islam dan Katolik. Puasa dalam kacamata Islam dimulai ketika fajar terbit hingga fajar terbenam. Dalam Islam, puasa dimengerti sebagai upaya kontrol diri (tidak makan-minum) sebagai bentuk mengaktualisasikan potensi dan kepekaan spiritual. 

Dalam iman Katolik, puasa adalah cara mengolah hati dan sedekah dengan meminimalisasi ikatan nafsu duniawi, salah satunya makan dan minum. Bulan puasa umat Islam kali ini pun menarik, karena bertepatan dengan masa puasa dan pantang bagi umat Katolik (Prapaskah). Berhubung adanya kesamaan waktu pelaksanaan, diskusi ini terasa lebih mengena bagi umat Islam maupun Katolik.

Pandangan puasa yang menarik dalam diskusi ini tentu adalah hakikat puasa itu sendiri. Mengapa kita berpuasa? Apa sih pentingnya puasa? Pada bulan Ramadhan puasa seharusnya tidak sebatas yang lahiriah saja (makan-minum). Puasa yang sesungguhnya dapat menjadi ritual yang mengembangkan seseorang sebagai manusia yang lebih bermutu di hadapan Allah dan sesamanya.

 Pertanyaannya: mutu macam apa? Mutu yang diasah tentu adalah bertambahnya ibadah kepada Allah dan sedekah kepada sesama. Bila di satu sisi kita mengurangi jatah makan-minum, sudah sepatutnya jatah yang itu disedekahkan kepada mereka yang membutuhkan dalam beragam bentuk. Puasa menjadi sarana berbagi berkah.

Menurut Prof. Munjid, puasa memiliki tiga tahapan. Tahapan pertama adalah tahapan lahiriah (makan-minum), tahapan kedua, yaitu tahapan. puasa bicara dan berkelakuan (negatif), tahap ketiga, yaitu, mengaktualisasikan persembahan puasa (sedekah). 

Tiga tahap ini turut membantu manusia islami lulus sebagai umat yang sungguh-sungguh puasa. Sering kali banyak pula yang menganggap puasa hanya sebatas tidak makan-minum, sehingga banyak yang hanya mendapatkan lapar dan haus tanpa ada nilai-nilai kebajikan yang diperoleh.

Jika puasa adalah sarana mengasah spiritualitas yang mendamaikan seseorang dengan sikapnya terhadap Allah dan sesamanya, apakah puasa yang dianggap sekadar aturan formal agama layak disebut puasa? Padahal puasa yang terkesan “dipaksakan” bukanlah puasa yang berasal dari hati. Puasa bisa saja dianggap sebatas aturan dalam agama dan masyarakat khususnya di lingkungan si penganut ibadah puasa ini. 

Jangan-jangan puasa dianggap aturan beku yang mau tidak mau harus diikuti apabila tidak mau dianggap Islam atau Katolik abal-abal dan sebagai cara memperoleh pengakuan di lingkungannya sebagai umat yang katanya beriman.

Belum lama ini (masih pada bulan puasa 2022) ada kasus yang mencoreng sakralnya bulan puasa. Pada 11 April 2022 mahasiswa-i yang dikoordinasi oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) menggelar demo di depan gedung DPR. 

Pada momen itu, seorang dosen komunikasi UI sekaligus pegiat medsos, Ade Armando hadir untuk menolak wacana presiden 3 periode. Namun, seorang provokator yang bukan dari golongan mahasiswa menghunjam bogem mentah ke muka Ade, sehingga menyulut kericuhan publik terutama kegeraman segelintir pembenci Ade Armando. Pengeroyokan terjadi. Ade Armando nyaris ditelanjangi. 

Parahnya pengeroyokan diiringi seruan “'Lailahaillallah” dan “darahnya (Ade Armando) halal” oleh segelintir umat Islam. Ironis mengingat pada bulan Puasa, dendam dan ketidaksukaan dilimpahkan dengan wujud kekerasan. Apakah mereka tidak berpuasa? Kalau pun tidak, apakah pantas apabila mereka mengeroyok sesamanya bahkan pada bulan yang suci dan penuh berkah ini?

Mabuk Agama

Sebuah tulisan karya seniman Gindring Waste berkata “Agama melarang kita mabuk, tetapi kita malah mabuk agama” Sentilan ini menohok secara blak-blakan mengenai cara kita beragama. Umat beragama cenderung berfokus pada aturan maupun dogma yang formal dan cenderung kaku ketimbang mengimplementasikan esensi aturan atau dogma tersebut. 

Mabuk agama pun menihilkan akal sehat yang seyogianya berguna untuk merespons situasi dan kondisi dalam suatu realitas dan konteks tertentu. Fenomena mabuk agama ini mengakibatkan seseorang menjadikan ajaran agamanya sebagai satu-satunya kebenaran dibanding ajaran agama lain maupun ideologi yang bertentangan dengan kepercayaannya.

Miris rasanya karena fenomena mabuk agama ini menutup akal sehat dan hati nurani. Kasus pengeroyokan Ade Armando membuktikan bahwa ada para manusia yang kehilangan rasa kemanusiaannya. Artinya, ia kehilangan esensinya sebagai makhluk yang berbudi sekaligus berhati nurani. Posisi Ade Armando di ranah politik dianggap oleh sebagian orang menimbulkan kontroversi. 

Terjadi silang argumen dan ideologi merupakan hal yang lumrah dalam demokrasi. Namun, pertentangan ideologi tersebut tidak etis diwujudkan dengan tindak kekerasan yang bisa mengakibatkan seseorang celaka fisik maupun batin. Perbedaan orientasi politik pun seharusnya menjadi ruang bersama untuk membangun bangsa dan negara. 

Bila kritik justru dilampiaskan dengan hasrat ingin menang sendiri yang artinya menghalalkan segala cara untuk menaklukkan lawan politik sudah sepatutnya ia merasa malu dan bertanya pada diri sendiri: ngapain sih aku berpuasa?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun