Semua aktivitas pengolahan sampah masih berjalan dengan baik di seluruh pulau berpenduduk, kecuali insinerator tipe diesel. Operasionalisasi tipe diesel ini diprotes warga karena asap dan baunya mengganggu kesehatan, karena letaknya berdekatan dengan pemukiman.
Untuk insinerator listrik, sama juga situasinya. Hanya beberapa yang beroperasi, karena berada di tempat pemakaman umum (TPU) dan di hutan konservasi, sehingga penduduk tidak terganggu asap dan bau. Di pulau Pramuka, ada kisah seorang anak kecil meninggal karena sakit batuk, dan masyarakat menyalahkan adanya insinerator listrik sebanyak 2 unit (sekitar tahun 2017-2018). Akhirnya 2 unit alat itu di pulau Pramuka tidak dioperasikan lagi. Limitasi Insinerator listrik merek L-Box ini adalah suhunya terbatas antara 100-200 derajat Celcius. Kapasitas pembakaran antara 300-1.100 kg per hari.
Dengan tidak beroperasinya insinerator diesel dan listrik di kepulauan – karena protes warga akibat asap dan bau yang mengganggu – maka timbulan sampah residu semakin tinggi dan akibatnya frakuensi transportasi ke TPST Bantar Gebang juga meningkat. Secara logis, maka biaya pengangkutan juga akan semakin meningkat. Berdasarkan diskusi, biaya bahan bakar kapal pertahun sekitar Rp. 4 miliar (sekitar 260 ribu dollar Amerika). Hal ini wajar karena ada 28 kapal dari berbagai jenis yang melayani kegiatan pengumpulan dan pengangkutan sampah di pesisir dan pulau-pulau.
Kepulauan Karimun Jawa, Jepara, Jawa Tengah
Kisah pengelolaan sampah di kecamatan Karimun Jawa (kepulauan), kabupaten Jepara, provinsi Jawa Tengah, tidak jauh berbeda. Sumber sampah adalah Sampah Rumah Tangga (SRT) dan sejenisnya yang bersumber dari aktivitas pariwisata di pulau-pulau tersebut (banyak hotel dan pulau resort). Ada 27 pulau di Karimun Jawa dan hanya 5 pulau berpenduduk. Dibandingkan dengan Kepulauan Seribu yang memiliki 110 pulau dan 11 pulau berpenduduk, maka Karimun Jawa lebih sedikit  beban SRT dan sejenisnya.
Beberapa upaya yang telah dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup (LH) kabupaten Jepara, antara lain: (1) Daur ulang dengan Bank Sampah yang dikelola BUMDes (Badan Usaha Milik Desa); (2) Penimbunan SRT (metode land-fill); (3) Pengompres sampah plastik (bantuan alat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK); (4) Penyediaan tong-tong sampah dan penyiapan fasilitas TPS oleh Dinas LH.
Selain SRT, setiap musim hujan (angin barat atau west monsoon) sampah plastik yang hanyut terdampar di pesisir pulau-pulau, khususnya di sisi barat. Ini merupakan beban tambahan dalam pengelolaan sampah di kepulauan. Di Kepulauan Seribu, dampak sampah plastik hanyut saat musim angin barat, sangat terasa di bagian utara kepulauan, khususnya pulau Harapan, Kelapa dan Kelapa Dua.
Ketika melakukan survey pada Oktober 2020, Ibu Farikhah Elida, S.T., M.Si., Kepala Dinas LH, menceriterakan kendala kapasitas tempat penimbunan sampah yang semakin tinggi timbulannya. Peningkatan ini karena aktivitas wisata yang semakin meningkat dan populasi penduduk yang semakin tinggi. Kedepannya, perlu pemusnahan sampah di lokasi kepulauan, karena kalau dibawa ke daratan utama, biayanya akan sangat mahal.
Kendala lahan di Karimun Jawa adalah tanah milik Balai Taman Nasional Karimun Jawa (BTN-KJ), Kementerian LHK. Demikian pula di Kepulauan Seribu, kendala lahan adalah berat karena saling tumpang tindih (beririsan). Kepemilikan lahan dan pengelolaan kawasan saling beririsan antara Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu (BTN-KS) Kementerian LHK, Pemda Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dan tanah milik penduduk/masyarakat.
Memperhatikan realita lapangan, proyeksi peningkatan timbulan SRT dan sejenisnya, serta memperhatikan mandat Peraturan Presiden (Perpres) no. 83 tahun 2018 (tentang Penanganan Sampah Laut), maka Pusat Riset Kelautan (BRSDM KP, Kementerian Kelautan dan Perikanan) pada tahun 2020-2021 melakukan riset Rekomendasi Kebijakan Inovasi Teknologi untuk penanganan sampah laut, khususnya di Kepulauan.
Berdasarkan Perpres no. 83 tahun 2018 dan juga Perpres no. 97 tahun 2017 (tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan SRT dan Sampah sejenis SRT), diketahui bahwa sumber sampah laut ada tiga. Pertama sampah dari aktivitas di darat (SRT, industri, pertanian, budidaya, dll). Kedua, sampah dari aktivitas diatas laut (kapal, wisata, industri migas, dll), dan terakhir dari  aktivitas di udara (pesawat jatuh, satelit jatuh, roket jatuh, dll). Karenanya, penanganan sampah di kepulauan atau daratan pulau (land-based debris), akan mengurangi jumlah sampah laut (marine debris). Terutama pulau yang berpenduduk.