Sebenarnya sudah lama, penulis ingin menyelesaikan 22 artikel di media Kompasiana, sejak awal bulan Agustus. Keinginan berbagi wawasan tentang aspek-aspek kelautan dan kemaritiman. Keinginan untuk menceriterakan pengalaman dan menjadi berkah buat pembaca sekalian. Juga bersua dan menyapa rekan-rekan Kompasianer.
Selain itu, minimal bisa naik ke level penulis junior dan juga ingin masuk level artikel utama. Juga, bisa memaknai hari kemerdekaan ke 75, dengan angka 22 yang simetris dengan tahun 2020.
Sayangnya, semangat 45 yang membara dihantam badai besar, dari sebuah negara tetangga. Sebuah artikel, tepatnya artikel kedua (Kisah Tiga Negara Penikmat Reklamasi), di situs kolom.kompas.com mendapat komentar dari pejabat pemerintah negara tetangga.
Baru pertama kali, dalam sejarah penulisan di situs kolom.kompas.com, sebuah tulisan kolumnis mendapatkan komentar sanggahan dari Sekretaris Satu (Politik) Singapura. Pejabat itu bernama Khairul Azman bin Rahmat.
Dahsyat juga si Penulis, sampai pejabat Negara Singapura turun tangan mengintervensi artikel rakyat biasa Negara Indonesia. Teringat kisah Goliath versus Daud. Pejabat versus Penulis.Â
Komentar pejabat itu merupakan jawaban, yang sifatnya menutupi fakta dan kisah dilapangan, yang dibeberkan penulis kolom. Cukup panjang dan membuat Sahaya terkaget-kaget. Seakan-akan penulis anak kemarin sore soal kemaritiman.
Kagetnya bukan karena di beritahu editor lewat aplikasi WhatsApp (WA), juga lewat email atau pemberitahuan lainnya. Tetapi, gegara iseng membaca ulang artikel tersebut, karena pembacanya sudah mendekati 18 ribu.
Jumlah pembaca yang mengagetkan, karena tulisan pertama hanya dibaca sekitar empat (4) ribuan orang.Â
Memang, di media blog Kompasiana dua (2) artikel terkait reklamasi menjadi artikel utama (headlines). Ternyata korelasinya positif dengan di media elektronik Kolom Kompas.
Artikel di media elektronik Kolom Kompas merupakan rangkuman dari tiga (3) tulisan saya di Kompasiana, tentang trilogi reklamasi. Isinya sebenarnya memberikan fakta-fakta lapangan dan informasi yang diterima dari orang-orang di lapangan, tentang bagaimana (how), apa (what) dan untuk apa (what for) kegiatan reklamasi dilakukan.
Direktur Leadership Writing, University of Chicago, Larry McEnerney menceriterakan bahwa tulisan itu dibuat untuk para pembaca (readers), bukan untuk si penulis atau isi otaknya. Dengan demikian, tulisan-tulisan Sahaya terkait reklamasi yang menjadi "viral" sudah pada rel/jalur yang benar.
Artikel yang ditulis, semuanya memberikan wawasan buat pembaca, memberitahukan aspek-aspek teknis bagi pembaca secara mudah, menunjukkan manfaat reklamasi bagi masyarakat dan bagi pemerintah yang bersangkutan.
Sekarang, mari kembali ke inti topik perbedaan pendapat antara Penulis dengan Pemerintah Singapura.
Pertama, dari sisi Penulis.Â
Reklamasi lahan di Singapura, sejak diberhentikan ekspor pasir laut dan pasir darat dari Indonesia, menurut beberapa oknum pelaut yang Penulis sitir/acu, dilakukan dengan mengeruk pasir di ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia). Dilakukan pergi-pulang sampai kapalnya penuh, lalu bongkar di Singapura. Silakan lihat gambar utama pada tulisan ini, alur pelayaran ALKI yang berwarna ungu.
Ini semata-mata aspek teknis dan aspek rekayasa operasional. Sebagai orang yang bekerja dibidang kemaritiman dan kelautan, hal teknis adalah hal mudah dan rutin. Namun, perihal legalitas aktifitas kapal bukan wewenang Penulis, juga aspek operasional perusahaan dan aspek proyek reklamasi itu sendiri.
Artikel di media elektronik kolom Kompas berfokus pada manfaat reklamasi, bukan pada aspek teknis dan legalitas sumber material.
ALKI adalah jalur lalu-lintas kapal-kapal Internasional yang merupakan wilayah lalu-lintas laut Internasional, tetapi milik Indonesia.Â
Ada tiga (3) ALKI di Indonesia, Pertama di selat Malaka dan selat Sunda , lalu menuju laut Natuna, lalu ke Laut China Selatan. Kedua, di selat Makassar lalu menuju Selat Lombok lalu ke Samudera Indonesia. Ketiga, dari Samudera Pacific, lalu ke laut Maluku, laut Seram, Laut Banda dan terus ke Australia atau samudera Indonesia.
Karena status laut tersebut milik Indonesia tetapi wilayah lalu-lintas Internasional, maka setiap kapal yang lewat jalur itu tidak wajib melaporkan statusnya secara detail ke Indonesia. Disitulah peluang dilakukannya pengerukan pasir, menggunakan penghisap dari kapal keruk (hisap) yang melaluinya.Â
Satu hal lain yang membuat semakin mungkin, karena perangkat AIS (automatic identification system) kelas A, yang dipasang diatas kapal dapat dengan mudah direvisi informasinya. Sedangkan, petugas di pelabuhan pengawas hanya melihat data AIS di radar.
Petugas pelabuhan dan pantai hanya melihat radar dan memonitor data AIS dari kapal-kapal yang melewatinya. Mereka tidak dapat melihat aktifitas detail kapal yang melewati ALKI.
Yang melalui ALKI 1 itu ribuan kapal per hari. Jadi bayangkan saja, betapa lelahnya mata dan pikiran petugas pelabuhan, setiap detik melihat radar dan berpikir tentang muatan dan aktifitas kapal yang lalu-lalang.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka apa yang disampaikan Penulis adalah proses pengambilan pasir yang dilakukan kapal, berbasis informasi lapangan. Ini merupakan aspek teknis pekerjaan.
Masalah legalitas surat-menyurat dan aspek hukum negara, tidak menjadi bahan diskusi dalam artikel, karena memang tidak ada referensi atau acuan yang diperoleh. Ini urusan lain. Ini diluar tujuan dan perihal penulisan artikel.
Kedua, dari sisi Pemerintah Singapura.
Bapak Khairul menjelaskan dalam artikel tersebut, bahwa "pemasok harus mendapatkan pasir dari wilayah yang memiliki izin secara hukum, mematuhi semua undang-undang perlindungan lingkungan di negara sumber, dan memiliki dokumentasi dan izin ekspor pasir yang dikeluarkan oleh otoritas di negara sumber."
Ini merupakan perihal legalitas atau aspek hukum sumber perolehan material reklamasi. Hal ini merupakan aspek administrasi dalam proyek negara Singapura dan sifatnya internal. Hal ini tidak ada korelasinya dengan apa yang ditulis pada artikel, karena penekanan hanya pada manfaat setelah reklamasi dilakukan. Bukan pada proses legalitas sumber material reklamasi.
Memang sejak tahun 2019, Malaysia juga menghentikan ekspor pasir ke Singapura. Itu adalah urusan bilateral mereka. Dalam hal ini juga, Penulis tidak memiliki wewenang sama sekali.
Sebenarnya, kalau Pak Khairul berani menyebutkan nama-nama perusahaan dan nama kapal pensuplai material reklamasi, itu lebih transparan informasinya. Juga kenapa tidak mempermasalahkan garis pantai dan batas negara yang bergeser? Yang mana itu lebih penting, yang juga Sahaya sebutkan dalam artikel di Kompas tersebut.
Pelajaran yang diperoleh
Pertama, sebagai Penulis, buah pena (ketikan) kita bisa membuat pembaca merasa senang dan juga merasa marah. Siap sedialah dengan semua itu. Jangan jiper/keder. Itulah kemerdekaan sejati.
Zulhasril Nasir, Penulis buku "Menulis untuk dibaca: Feature dan Kolom", memberikan nasihat untuk selalu menggunakan data dan informasi, baik dari tulisan maupun lisan, yang menghasilkan kemanfaatan buat pembaca. Memang ada yang mendapat manfaat, ada yang mendapat malu. Tetapi itu bukan tujuan tulisan kolom atau fitur, melainkan agar semua mendapatkan kejernihan informasi.
Kedua, selamat datang dan masuk klub berbahaya "Pena dan Otak Independen". Klub ini menjadi berbahaya, hanya jika penulisnya INDEPENDEN. Selama penulis memiliki integritas informasi dan tidak memihak, maka tulisannya adalah obyektif dan mengerikan buat yang punya agenda jahat.Â
Ketiga, Indonesia yang baru merayakan 75 tahun kemerdekaannya, merupakan negara yang sangat disegani dan ditakuti di kawasan ASEAN. Jadi tidak heran, tulisan Sahaya menjadi viral, padahal hanya rakyat biasa.
Terakhir, siap-siap paspormu ditandai. Waspada kalau ada tukang bakso mendadak jualan depan rumah dan bawa radio HT (handy talkie). Apalagi rambutnya cepak dan berjaket hitam.
Cepat-cepat saja beli 5 mangkok, lalu kasih 2 mangkok ke peliharaan kucing atau anjing. Yang 3 mangkok kasih tetangga. Kalau mereka bilang enak dan selamat, artinya tukang baksonya asli, bukan intel.
Kita makannya pakai aplikasi go-food pesan mie ayam, hehehe...
Lantai 5, diatas Tanah Reklamasi Jakarta Utara.
Handy Chandra.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H