Penulis: Brigadir Satu Taruna John Anderson Batara Aryasena dan Brigadir Satu Taruna Aiman Dzaky Rahadian
Deritan besi beradu dengan aspal, suara klakson kereta yang memekakkan telinga, dan tragedi yang tak terelakkan. Begitulah gambaran serangkaian kecelakaan mematikan yang terjadi di perlintasan kereta api di Jawa Timur. Dalam rentang waktu yang mengejutkan, kecelakaan fatal telah merenggut nyawa warga di perlintasan tanpa palang pintu, mengguncang kesadaran kita akan urgensi keselamatan transportasi publik.
Pada tahun 2023 hingga Maret 2024, jumlah data kecelakaan kereta api secara nasional mencapai 414 kasus. Kasus ini relatif mengkhawatirkan karena merugikan sejumlah pihak termasuk KAI, Pemerintah Pusat, dan Pemerintah Daerah. Jumlah data kecelakaan kereta api di Jawa Timur pada tahun 2022 mencapai angka 173 kasus. Angka ini naik sekitar 21 persen dari tahun sebelumnya. Kecelakaan ini disebabkan oleh beberapa hal namun hal yang menjadi perhatian adalah kurangnya sistem peringatan awal (early warning system) seperti Sirine, palang, rambu, dan perangkat lain yang menunjang. Angka ini cukup mengkhawatirkan karena berurusan dengan keselamatan masyarakat di Jawa Timur. Data ini juga didukung oleh pendapat KAI yang menyatakan adanya 2.556 bidang perlintasan kereta api yang tidak dijaga yang relatif lebih besar daripada yang dijaga yaitu 1.514 bidang perlintasan kereta api. Masalah ini perlu diberikan solusi agar kasus kecelakaan kereta api berkurang atau bahkan tidak terjadi lagi.
Bukti empiris kecil ini memperlihatkan bahwa kecelakaan kereta api karena kurangnya sistem peringatan awal (early warning system) tidak mendapatkan atensi yang sesuai. Pasalnya, dengan memberikan sistem tersebut, angka kecelakaan maupun hal tragis lainnya dapat berkurang atau bahkan hilang.
Rangkaian kejadian ini bukan sekadar statistik kecelakaan biasa. Di balik setiap angka, tersimpan kisah kehilangan yang mendalam dan pertanyaan-pertanyaan yang menuntut jawaban. Mengapa perlintasan-perlintasan ini dibiarkan tanpa pengaman memadai? Siapa yang harus bertanggung jawab? Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 94 Tahun 2018 sebenarnya telah mengatur dengan jelas standar keselamatan perlintasan sebidang dan memberikan tanggung jawab kepada pemerintah daerah untuk memastikan keamanan warganya.
Lebih jauh lagi, Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perkeretaapian telah menetapkan standar keselamatan yang harus dipenuhi. Namun realitas di lapangan berbicara lain. Kelalaian dalam menyediakan infrastruktur keselamatan dasar ini bukan hanya pelanggaran administratif semata. Dalam kacamata hukum pidana, khususnya KUHP Pasal 359, kelalaian yang mengakibatkan kematian dapat diancam dengan pidana paling lama lima tahun. Sementara Pasal 360 mengatur tentang kelalaian yang menyebabkan luka-luka dengan gradasi hukuman sesuai tingkat keparahan.
Situasi ini menuntut tindakan nyata dan segera. Pemerintah patutnya menjadi penegak utama dari permasalahan ini. Amanat dari hukum wajib dilaksanakan dan sudah sepatutnya penegak keamanan masyarakat yakni Kepolisian Republik Indonesia menyelenggarakan dan memastikan keamanan masyarakat sesuai dengan fungsinya. Mengutip dari pendapat Irjen Pol. Prof. Dr. Chryshnanda DL, M.Si Chryshnanda Dwilaksana, Polisi Republik Indonesia bukan saja sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan tapi jauh lebih daripada itu, yaitu penjaga kehidupan.
Sesuai dengan commander wish Listyo Sigit, bahwa Polri membawa perubahan yang nyata tanpa mengurangi rasa humanis pada setiap jajaran kepolisian. Tindakan humanis ini nyatanya harus dilakukan agar pemolisian Indonesia semakin mantap. Dalam arti, Presisi yaitu Prediktif, Responsibilitas, Keadilan Transparan. Prediktif sebagai suatu nilai bermaksud untuk memprediksi, mengantisipasi, sehingga mencegah melalui aksi preventif keamanan masyarakat.