Pak Darmin memasuki rumah dengan  bersungut-sungut. Mukanya masih merah padam setelah mengunjungi rumah Ningsih, janda beranak satu. Di depan janda itu Pak Darmin meluapkan semua cacian yang telah lama mengendap di tenggorokannya.
Rupanya hal itu belum juga cukup. Pak Darmin melanjutkan sisa emosinya di rumah. Anto, bungsu Pak Darmin hanya terdiam melihat tingkah bapaknya. Dengan kasar tangan Pak Darmin menggebrak meja kayu tepat di hadapan putranya.
"Sekali lagi kamu masih berhubungan dengan Ningsih, kamu tak perlu lagi menganggapku masih hidup di dunia ini," ucap Pak Darmin dengan penuh amarah.
Tangannya terkepal menggebrak meja. Nafasnya sedikit tak beraturan. Mata Pak Darmin memandang lurus ke wajah Anto. Dilihatnya Anto masih tak berkutik. Mengucap sepatah kata pun tidak. Padahal ia hanya menginginkan sebuah janji. Janji yang ia nanti akhir-akhir ini karena Pak Darmin teramat resah dengan kelakuan putranya.
Menurut Pak Darmin, hubungan Anto dan Ningsih hanya akan mempermalukan martabat keluarga. Ningsih tak hanya jauh lebih tua, dia juga janda dengan seorang anak usia delapan tahun. Mantan suaminya pergi begitu saja seminggu setelah ia melahirkan.
"Ayo bicara!" bentak Pak Darmin sambil menggebrak meja di depannya sekali lagi.
Anto tetap bergeming. Ia menundukkan kepala dalam-dalam. Perasaannya bingung di antara  tetap memperjuangkan perasaannya terhadap Ningsih atau mengalah saja asal bapaknya senang. Ia sendiri tak mengerti mengapa cintanya begitu tumbuh subur untuk wanita yang tak lain adalah tetangga sendiri dengan usia yang seumuran dengan kakak tertuanya.
"Kamu ini masih bocah. Menurutlah sama orang tua." Pak Darmin mulai melunak karena kehabisan cara menasehati putranya.
"Wajahmu kan juga ganteng. Pasti banyak gadis yang bersedia kamu nikahi. Berhentilah mengejar Ningsih mulai detik ini." Pak Darmin berharap Anto bisa mengerti betapa ia sangat peduli akan masa depannya.
Kepala Anto terangkat perlahan. Ia menelan ludah dan mengatur nafas. Ia sendiri sebenarnya tak yakin dengan apa yang akan ia ucapkan. Hanya saja jiwa mudanya terus memberontak. Ia merasa sudah bukan zamannya masalah percintaan diatur oleh orang tua. Lebih-lebih dia seorang lelaki. Sudah seharusnya lelaki bisa bebas menentukan pilihan.
"Saya mencintai Ningsih apa adanya, Pak." Sebuah kalimat terpaksa keluar dari bibir  Anto yang lama terkatup.
"Dasar bocah tidak tahu diri! Kamu saya besarkan agar punya masa depan, bukan untuk bercinta dengan janda itu!" Pak Darmin kambuh lagi emosinya. Tangan kanannya siap menyambar wajah Anto. Anto yang ketakutan segera menyembunyikan wajah di balik kedua tangannya.
"Ampun, Pak. Maaf ... maafkan saya. Saya akan berusaha melupakan Ningsih seperti yang Bapak inginkan." Anto memohon pada bapaknya bagaikan anak kecil.
"Begitu saja sudah cemen. Bagaimana kamu bisa hidup menghadapi janda itu. Percaya sama bapakmu ini!" Pak Darmin mengurungkan niatnya menampar wajah Anto. Ia puas telah berhasil membuat Anto berjanji memenuhi keinginannya.
Tiba-tiba suara di luar cukup ribut. Banyak warga datang berduyun-duyun mendatangi rumah salah satu warga. Pak Darmin dan Anto saling pandang. Mereka tak mengerti ada kejadian apa di luar sana. Kalau ada orang yang meninggal pasti akan diumumkan lewat pengeras suara masjid. Toh dari tadi Pak Darmin dan Anto bertengkar di ruang tamunya, tak sekalipun mendengar ada kabar kematian warga. Akhirnya mereka berdua keluar mendekati keramaian.
Rupanya warga berkerumun di depan rumah Ningsih. Beberapa dari mereka menutup wajah dengan masker. Anto semakin cemas karena melihat mobil ambulans juga terparkir di sana. Ningsih terlihat keluar dari rumah menggandeng tangan putranya. Pemandangan menjadi tak biasa karena Ningsih didampingi empat orang petugas berseragam seperti jas hujan lengkap menutupi area wajah. Petugas dengan seragam seperti itu beberapa kali dilihat Anto dan Pak Darmin di layar kaca bersamaan dengan tersiarnya kabar virus ganas mematikan.
"Ningsih dan anaknya terkena virus, Pak. Sekarang mereka mau dibawa ke rumah sakit, dikamarkan sendiri biar nggak nular ke yang lain," kata salah seorang warga kepada Pak Darmin.
"Virus baru yang berbahaya itu? tanya Pak Darmin cepat.
"Sepertinya begitu. Kita tunggu saja kabar selanjutnya dari rumah sakit."
Ningsih memasuki mobil ambulans yang telah menunggunya di depan rumah. Anto dan Ningsih sempat saling bertukar pandang. Namun, Anto buru-buru melengos karena tindakannya diketahui pak Darmin. Tak lama, mobil ambulans itu akhirnya pergi meninggalkan kerumunan warga.
"Jangan coba-coba lagi kamu ya!" tegas Pak Darmin pada putranya.
Anto pura-pura tak mendengar. Ia masuk ke rumah kemudian menyalakan TV. Virus baru yang disebut dengan nama Covid-19 sedang menjadi berita terkini. Dijelaskan pula oleh sang penyiar di TV itu tentang gejalanya yang menyerupai flu. Penularannya bahkan cukup mudah, melalui percikan air liur atau bersin penderita yang kemudian masuk melalui mata, hidung, dan mulut.
Virus itulah yang kini diduga kuat hinggap di tubuh Ningsih. Setiap hari Ningsih berjualan sayur di pasar. Mungkin memang tak aneh jika ia tertular karena berinteraksi dengan banyak orang.
Perasaan Anto menjadi campur aduk tak karuan. Ia merasa sedih sekaligus kasihan kepada wanita yang hendak ia jadikan istri tetapi ditolak mentah-mentah oleh bapaknya sendiri. Tak ada lagi yang bisa Anto lakukan. Ia kepalang janji dengan bapaknya untuk menyelesaikan hubungannya dengan janda itu.
....................................................................................
"Tok ... tok ... tok...." Anto mengetuk pintu kamar Pak Darmin. Putranya itu mengajaknya makan malam. Namun, tak ada jawaban dari dalam. Anto mengetuk pintu sekali lagi. Merasa tak digubris bapaknya, Anto makan malam sendirian. Ia mengambil bagiannya, dan menyimpan kembali bagian bapaknya di dalam lemari. Karena merasa ngantuk, Anto langsung pergi tidur di kamarnya
Lain hal dengan Pak Darmin. Sejak masuk kamar tadi sore, matanya tak terpejam sedetik pun. Padahal, masalah yang membuatnya uring-uringan sudah tuntas. Putranya telah mengucap janji dan bahkan Ningsih saat ini tak ada di rumahnya. Namun, tetap saja ia tak bisa tidur.
Keesokan hari, Pak Darmin merasakan hal yang tak biasa. Selepas Asar, tubuhnya mulai demam disertai batuk dan pilek. Pak Darmin memilih berselimut di dalam kamar sambil mengingat betapa kemarin sore ia begitu kalap berhadapan dengan Ningsih.
Demi menjauhkan Anto dari Ningsih, Pak Darmin tak segan menampar Ningsih hingga tangannya membekas di pipi kiri janda satu anak itu. Ningsih yang marah kemudian meludahi Pak Darmin tepat di wajahnya. Pak Darmin semakin berang, ia menampar Ningsih sekali lagi. Tak mau kalah, Ningsih menyemburkan ludah lagi di wajah bapak kekasihnya itu. Ningsih sungguh kesal, ia meludah berkali-kali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H