Mohon tunggu...
Johara Masruroh
Johara Masruroh Mohon Tunggu... Guru - Teacher and mother of two kids

Reading and writing are my remedy.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gadis Berkerudung Biru

14 Agustus 2021   15:14 Diperbarui: 14 Agustus 2021   16:05 548
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bayangannya masih belum menghilang meski sudah tiga puluh menit yang lalu gadis itu keluar dari resto tempat kami biasa bertemu. Dia pergi terburu-buru tanpa memakan sedikitpun menu yang sudah kupesan. Dia menghilang begitu saja setelah memberikan sepucuk kertas berhias pita merah.

Rasanya aku tak sanggup membaca sepasang nama yang bertengger di bawah gambar dua burung merpati. Perlahan-lahan alunan musik resto ini  tak lagi nikmat untuk kudengar. Telingaku juga terganggu dengan  gemericik air kolam  yang seolah menertawakan. Aku tak bisa membayangkan bagaimana caranya menelusuri hari-hari ke depan. Sungguh, ingin kuremas dan kuhancurkan saja undangan pernikahan itu.

Dua minggu yang lalu kami masih bertemu di tempat ini. Sahira memilih meja paling pojok di dekat jendela kaca. Di tempat ituah kami bisa lebih tenang berbicara sekaligus menikmati pemandangan lalu lintas kota Surabaya. Waktu itu wajahnya sedih, lelah menanti kekasihnya yang tak kunjung melamar.

            "Mas Fadil mau melanjutkan studi S3 di luar negeri," ucap Sahira setelah meneguk minuman dinginnya. Diam-diam hatiku merona tersenyum bahagia.

            "Oh ya? Lalu apa yang akan kamu lakukan?" Tanyaku penuh selidik, berharap kisah mereka usai.  Muncul secercah harapku. Ia gadis yang teramat kuingini tetapi lidahku kelu untuk sekadar mengakui.

Aku dan Sahira sangat dekat. Namun, hubungan kami tak lebih dari sahabat. Aku mencintainya dalam diam. Menyukai apa saja yang ia sukai sejak kami berkenalan. Pernah suatu hari dia mengkritik wangi parfum laundry yang menempel di bajuku. Wangi itu membuatnya pusing hingga aku menurut saja saat ia memberi saran untuk memakai jasa laundry yang sama dengannya. Setiap saat mencium pakaianku sendiri aku mencium wangi Sahira. Ia semakin memenjarakanku dengan wangi tubuhnya.

            "Aku belum tahu. Menurut Mas Yahya, aku harus bagaimana?" Sahira mengaduk-aduk bakmi di mangkuk hijau besar khas resto ini. Dia yang sangat suka melahap bakmi, kini terlihat sebaliknya.

            "Makan dulu bakminya, nanti keburu dingin. Kasihan bakmi favoritmu itu kalau ditelantarkan," kujawab sekenanya.

            "Eh, Kasih saran dong tentang hubunganku dengan Mas Fadil." Ia mendekatkan wajahnya padaku dengan wajah memohon. Matanya yang seindah puisi menari-nari tepat di hadapanku. Sahira begitu memaksa seolah keinginannya bersatu dengan Fadil adalah keinginanku juga.

            "Ya kalau saranku sih tanyakan pada hatimu. Sanggupkah kamu menunggunya hingga selesai S3? Jika iya kamu harus meminta dia berkomitmen untuk menjaga hubungan kalian.  Banyak kemungkinan yang bisa terjadi selama dia jauh darimu, kan." Aku berusaha membuatnya bimbang.

            " Maksudnya aku dan mas Fadil harus  tunangan dulu?"

            "Ehm.... Ya, boleh juga." Aku bingung memilah kalimatku.

Tentu saja bukan itu yang kuinginkan karena tak mungkin aku sanggup melihatnya dengan lelaki lain. Sebenarnya kali ini aku sangat berharap Sahira tahu isi hatiku.

            " Oke Mas dokter. Terima kasih banyak ya sarannya." Ia meneguk es jeruk dan menghabiskan seluruh sisa di gelasnya dan pamit untuk pergi.

            "Kok dokter sih?" Sahutku berusaha menahannya.

            "Ya kan dokter cinta." Ia menyunggingkan senyum terindah dan mataku takjub dibuatnya.

"Aku duluan ya Mas, udah kesorean ini. Kali ini aku yang bayar. Jangan menolak, please!"

            Aku terus memperhatikan Sahira, jemari lentiknya mulai mengemasi barang- barang yang tercecer di meja dan memasukkannya ke dalam tas. Dia beranjak dari kursi menuju kasir dan berbicara sebentar dengan seorang pelayan. Hatiku tak rela melepasnya berjalan keluar.

Belaian angin sore mengibaskan kerudung biru mudanya. Aku terus menyaksikan kepergian Sahira dari tempat dudukku. Tak lama kemudian, mobilnya melaju dan menghilang.    

Sejak saat itu harapanku padanya semakin besar. Kupikir keluarga Fadil akan tetap bersikukuh agar Fadil melanjutkan studinya. Kupikir Sahira juga akan tak sabar menungguinya.  Tapi ternyata aku keliru. Sahira memang kembali datang, tapi dengan membawa undangan pernikahan.

***

            Aku masih merenungi nasib yang tidak memihak kepadaku. Berteman secangkir kopi pahit, tanpa kusadari pipiku basah. Aku sangat larut dalam sedih sampai terkejut saat ponselku berdering.

Penuh kesakitan aku menata batinku untuk mengangkatnya. Itu panggilan dari  Sahira. Apa maunya dia  menghubungiku setelah mematahkan hatiku? Ponsel kuangkat dengan lunglai, tapi kemudian aku terperanjat karena mendengar suara tangisnya. Tidak, lebih tepatnya dia seperti menjerit, jerit orang yang sedang sangat sakit. Aku bingung bukan main.

            " Sahira, hallo ... , apa yang terjadi? Kamu tidak apa-apa kan ?"

            " Mas Fadil..... Mas Fadil...... kecelakaan." Suara itu tak terlalu jelas oleh isak tangisnya, tapi aku masih bisa mendengar. Tanpa pikir panjang dan setengah berlari aku menuju parkiran resto, menancap gas mobil dan melaju ke rumah sakit.

Saat sampai di rumah sakit, kudapati Sahira hampir tak sadar. Sebelum tubuhnya benar-benar ambruk dia sempat menatapku dan bibirnya terlihat kesulitan memberitahuku sesuatu.

"Dia meninggal," ucapnya letih.

            Tubuhku sungguh lemas tak percaya. Berkali kali kusebut nama Tuhan. Aku seakan gila melihat tubuh Sahira diangkat oleh beberapa perawat yang memberinya pertolongan.

Lima belas menit kemudian Sahira sadar. Matanya berkeliling mencari seseorang kembali jatuh pingsan. Kusingkirkan tubuhku dari kerumunan keluarganya yang tengah menunggu. Dadaku sesak, tak sanggup melihat Sahira begitu menderita. Buliran bening di mataku terus menetes dengan sendirinya. Yang kutahu aku tak pernah sesakit ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun