Bayangannya masih belum menghilang meski sudah tiga puluh menit yang lalu gadis itu keluar dari resto tempat kami biasa bertemu. Dia pergi terburu-buru tanpa memakan sedikitpun menu yang sudah kupesan. Dia menghilang begitu saja setelah memberikan sepucuk kertas berhias pita merah.
Rasanya aku tak sanggup membaca sepasang nama yang bertengger di bawah gambar dua burung merpati. Perlahan-lahan alunan musik resto ini  tak lagi nikmat untuk kudengar. Telingaku juga terganggu dengan  gemericik air kolam  yang seolah menertawakan. Aku tak bisa membayangkan bagaimana caranya menelusuri hari-hari ke depan. Sungguh, ingin kuremas dan kuhancurkan saja undangan pernikahan itu.
Dua minggu yang lalu kami masih bertemu di tempat ini. Sahira memilih meja paling pojok di dekat jendela kaca. Di tempat ituah kami bisa lebih tenang berbicara sekaligus menikmati pemandangan lalu lintas kota Surabaya. Waktu itu wajahnya sedih, lelah menanti kekasihnya yang tak kunjung melamar.
      "Mas Fadil mau melanjutkan studi S3 di luar negeri," ucap Sahira setelah meneguk minuman dinginnya. Diam-diam hatiku merona tersenyum bahagia.
      "Oh ya? Lalu apa yang akan kamu lakukan?" Tanyaku penuh selidik, berharap kisah mereka usai.  Muncul secercah harapku. Ia gadis yang teramat kuingini tetapi lidahku kelu untuk sekadar mengakui.
Aku dan Sahira sangat dekat. Namun, hubungan kami tak lebih dari sahabat. Aku mencintainya dalam diam. Menyukai apa saja yang ia sukai sejak kami berkenalan. Pernah suatu hari dia mengkritik wangi parfum laundry yang menempel di bajuku. Wangi itu membuatnya pusing hingga aku menurut saja saat ia memberi saran untuk memakai jasa laundry yang sama dengannya. Setiap saat mencium pakaianku sendiri aku mencium wangi Sahira. Ia semakin memenjarakanku dengan wangi tubuhnya.
      "Aku belum tahu. Menurut Mas Yahya, aku harus bagaimana?" Sahira mengaduk-aduk bakmi di mangkuk hijau besar khas resto ini. Dia yang sangat suka melahap bakmi, kini terlihat sebaliknya.
      "Makan dulu bakminya, nanti keburu dingin. Kasihan bakmi favoritmu itu kalau ditelantarkan," kujawab sekenanya.
      "Eh, Kasih saran dong tentang hubunganku dengan Mas Fadil." Ia mendekatkan wajahnya padaku dengan wajah memohon. Matanya yang seindah puisi menari-nari tepat di hadapanku. Sahira begitu memaksa seolah keinginannya bersatu dengan Fadil adalah keinginanku juga.
      "Ya kalau saranku sih tanyakan pada hatimu. Sanggupkah kamu menunggunya hingga selesai S3? Jika iya kamu harus meminta dia berkomitmen untuk menjaga hubungan kalian.  Banyak kemungkinan yang bisa terjadi selama dia jauh darimu, kan." Aku berusaha membuatnya bimbang.