Andai bisa kuminta, mungkin aku akan lebih memilih untuk tidak terlahir ke dunia. Bukan, bukan  bermaksud kurang ajar kepada Sang Maha Pemberi Kehidupan. Aku hanya merasa semua terlalu rumit. Ini semua terjadi setelah Marni, tetanggaku, menceritakan sebuah kisah.
Suatu siang, Marni mendatangiku saat aku sedang menjemur pakaian. Wanita itu sedikit lebih muda dari ibu, tetapi karena sifatnya yang menjengkelkan, aku enggan untuk sekedar menambahkan panggilan bibi atau bulek di depan namanya. Entah apa maksud Marni menceritakan kisah ini kepadaku dengan sumringah tanpa sungkan sedikit pun.
"Aku kasih tahu sesuatu ya. Mamat itu bisa jadi bukan bapakmu, lho."
 "Jangan bercanda kamu, Mar!" timpalku.
"Eh, kok ngeyel. Tanya saja sama ibumu. Bapakmu itu memang bisa jadi Mamat, bisa juga bukan. Bisa jadi Mardi, bisa jadi Anto, bisa jadi Beni atau bisa jadi juga Parto.
 "Memang apa urusanmu bilang begitu? Kamu tahu sesuatu?"
Marni mendekatkan tubuhnya yang gembrot dan bau terasi padaku. Kini nada bicara Marni lebih lembut dari sebelumnya.
"Begini ... aku tak bermaksud apa-apa. Kamu kan sudah dewasa dan perlu tahu tentang sejarah hidupmu. Aku sendiri sebenarnya juga tidak tahu siapa bapakmu. Tetapi dulu sebelum Mamat mengawini ibumu, ibumu pernah berkencan dengan beberapa pria. Sialnya, ya termasuk Mamat yang sekarang ini menjadi bapakmu itu."
"Ngaco kamu, Mar!" Aku  pergi menjauh dari Marni, tetapi tangannya yang gempal buru-buru menarik bajuku.
"Ibumu akhirnya hamil dan bingung menentukan siapa bapak kandung bayinya. Kakekmu sangat malu, kemudian memanggil siapa saja yang pernah berkencan dengan ibumu dan mengundi orang-orang itu. Waktu itu nama Mamat yang keluar dan mau tak mau dia harus bersedia mengawini ibumu." Marni mengakhiri ceritanya sambil mengelus-elus punggunggku seolah prihatin akan nasibku, padahal aku tahu jelas itu palsu.
***
Mamat Saidi, itulah nama lelaki yang tertera dalam akta kelahiranku. Aku masih bisa mengingat masa kecil saat hampir setiap sore merengek padanya minta dibelikan jajan di warung dekat rumah. Betapa senangnya hati ketika bapak menuruti keinginanku, meski terkadang ia menolak dengan alasan tak punya uang.
Sebenarnya aku berusaha untuk melupakan apa yang diceritakan Marni. Namun, cerita itu justru membuat pikiranku tak tenang. Â Sampai suatu hari, ibu dan bapak bertengkar karena bapak kepergok selingkuh. Ibu marah besar. Aku hanya bisa mengunci diri di dalam kamar dengan perasaan takut dan kesal. Buruknya lagi, ternyata yang diceritakan Marni itu benar.
"Lelaki kurang ajar. Beraninya kamu main perempuan!"
Terdengar suara benda-benda jatuh ke lantai. Mungkin ibu sedang melempari bapak dengan benda-benda yang ada di depannya, atau ibu hanya melempar benda-benda itu tak tentu arah. Entahlah, Â aku tak tahu.
"Diam kamu! Apa kamu lupa siapa dirimu? Kamu dulu tidur dengan siapa saja? Mardi, Anto, Beni, dan Parto juga kan? tetapi hanya aku yang harus menanggung anakmu. Kamu harus berterima kasih karena aku telah bersedia mengawinimu!"
"Cukup! Kamu tak perlu mengungkit hal itu lagi. Desi itu anakmu!"
"Oh ya? Dari mana kamu tahu?"
Kudengar ibu menangis. Bulir-bulir kesedihan juga membasahi pipiku. Bapak akhirnya meninggalkan rumah dan sejak itu ia tak pernah lagi kembali. Aku tak ingin mencarinya. Kupikir tak perlu mencari seseorang yang tak jelas dia siapa. Dia bisa jadi bapakku, bisa jadi juga bukan. Dia bisa jadi hanya seseorang yang pernah menikmati daging ibuku.
Sejak kejadian itu, ibu melacurkan tubuhnya untuk menghidupiku. Apa pun yang kumakan dan apa pun yang menempel di tubuhku adalah hasil dari keringatnya bersama para lelaki hidung belang. Aku tumbuh besar dari uang haram. Namun, semua itu tak menjadikanku berhenti bermimpi bahwa aku bisa menjalani hidup dengan benar.
Sekolah tetap kujalani meski asal-asalan saja. Lulus SMA, seorang pria meminangku. Hidupku terasa normal. Sayangnya setahun setelah menikah, ibu meninggal karena sakit. Aku sangat terpukul.
Hidupku kembali rumit karena kebahagianku bersama suami ternyata tak berlangsung lama. Lelaki yang kuanggap baik itu ternyata juga doyan banyak wanita. Aku diceraikan dan diusir dari rumah tanpa bekal sepeser pun. Tak ada gubuk untuk kutinggali, untuk makan besok pun belum kupikirkan.
Mimpiku menjalani hidup sebaik-baiknya mulai goyah. Aku berpikir kehidupan ataupun kematian tak akan ada bedanya bagiku. Mungkin ini sudah takdir bagi seorang anak yang tak jelas asal-usulnya. Tidak ada gunanya memperbaiki diri, toh aku tetap anak dari entah siapa. Bisa jadi Mamat, bisa jadi Mardi, bisa jadi Anto, bisa jadi Beni atau bisa jadi juga Parto.
 Aku tiba di sebuah jurang yang dikenal angker oleh warga. Setan-setan di sini berbisik bahwa mereka siap berkawan denganku kapan saja. Aku menatap jurang itu lama. Bisa kubayangkan semua kesedihan akan hilang ketika tubuhku remuk setelah mencapai dasarnya. Namun, rupanya aku tak punya cukup nyali.
Aku terduduk lesu, masih di tepi jurang itu. Memikirkan tentang hidupku membuat kepalaku serasa pecah. Akhirnya kubatalkan  niat melompat ke jurang itu, tetapi aku telah memikirkan untuk melompat ke jurang yang lainnya.
Aku akan melompat ke jurang yang setidaknya aku masih bisa hidup dan makan di dalamnya. Di mana lagi kalau bukan tempat pelacuran. Tempat dulu ibuku bekerja. Ya, tempat ibu menghasilkan uang untuk menghidupi anak satu-satunya. Anak yang dia sendiri tak tahu dari lelaki mana ia mendapatkannya.
Langkahku gontai mendekati tempat itu. Dulu pernah beberapa kali aku menemui ibu untuk sekadar meminta uang. Gemerlap pakaian dan aroma parfum yang menusuk tak lagi asing bagiku. Aku sudah pasti diterima bekerja di sini karena aku mewarisi kecantikan ibu.
Tiba-tiba sebuah mobil sedan hitam mendekat dan pemandangan memilukan terjadi di depan mataku. Seorang pelanggan menendang keluar seorang wanita dari dalam mobilnya. Ia mengucap caci maki tak karuan. Aku tentu tak tahu sebab musababnya. Mungkin memang biasa terjadi di saat pelanggan tak cukup puas atas pelayanan yang diberikan.
Aku merasa aneh, bukan karena pemandangan tak mengenakkan itu. Namun, karena wanita yang ditendang keluar dari mobil tiba-tiba berubah wujud menjadi ibuku. Aku mengucek mata berkali-kali dan kulihat kembali wanita itu, tetapi ia masih saja berwujud serupa ibu. Air matanya berlinang sembari mengusirku.
Aku menuruti wanita serupa ibuku dan pergi dari tempat itu. Tak jelas sudah ke mana arah kakiku melangkah. Sayup-sayup kudengar suara memanggil. Entah apa yang membimbingku melangkah menuju suara itu. Tangisku pecah. Azan Subuh memanggil tubuhku tanpa bertanya siapa bapakku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H