Tina menyusuri gang kecil sambil sesekali mengelap air matanya yang berderai. Setiap bertengkar dengan suaminya, Tina selalu pergi menenangkan diri di rumah Mak Inah.Â
Mak Inah adalah pembantu di rumah Arya yang tak lain adalah suami Tina sendiri. Meski kini ia menjadi nyonya muda, hubungan Tina dan Mak Inah tak lantas seperti tuan putri dan pembantunya.
Rumah Mak Inah tentu tak sebanding dengan rumah Arya . Namun, Tina selalu betah berlama-lama di sana. Cat tembok yang mengelupas dan berjamur menghiasi tiap ruangan di rumah itu.Â
Baginya, rumah itu jauh lebih menenangkan. Tina bahkan tak pernah segan menidurkan tubuhnya di atas karpet lusuh yang sudah sepuluh tahun lebih tak dibasuh.
Kali ini Arya memarahinya lagi. Tina lupa mencampurkan perasan lemon pada teh yang diminta Arya sepulang kerja. Tentu saja bukan ucapan terima kasih yang Tina dapatkan, melainkan teriakan dan kata-kata kasar. Hal semacam itu sudah biasa dialaminya.Â
Andai saja hanya ucapan kasar yang diterimanya, mungkin Tina masih bisa bertahan. Masalahnya, Arya juga main gila dengan beberapa perempuan. Setiap kali Tina mencoba mempertanyakan hal itu, Arya tak akan segan melakukan kekerasan.
"Hidupku adalah milikku. Kamu tidak perlu membuat aturan di rumahku!" Itulah yang selalu dikatakan Arya pada Tina jika Tina mengeluhkan kelakuannya.
Dulu di awal pernikahan, Arya memperlakukan Tina dengan baik. Tina merasa menjadi wanita paling beruntung bisa mendapatkan pria kaya setampan Arya. Tina memang berasal dari keluarga menengah ke bawah dan tentu saja mendapatkan Arya bukan hal mudah. Teman-temannya bahkan begitu iri dengan nasibnya yang dianggap mujur.
Sikap Arya berubah drastis sejak Tina harus kehilangan bayinya usai melahirkan. Selain bayi itu tak bisa diselamatkan, dokter juga memvonis bahwa Tina tak bisa lagi melahirkan.Â
Arya putus asa dengan keadaan istrinya dan lama kelamaan Arya menganggap Tina sebagai manusia tak berharga. Selain hanya berasal dari keluarga biasa, Tina dianggap cacat karena tak akan lagi bisa memberinya keturunan.