Mohon tunggu...
Johansyah Syafri
Johansyah Syafri Mohon Tunggu... Editor - Pelayan Publik

Kata Imam Syafi'i, "Ilmu adalah buruan dan tulisan adalah ikatannya."

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sejarah Kecamatan Rambang Niru dan Asal-Usul Jemenang

13 Februari 2023   17:39 Diperbarui: 13 Februari 2023   22:56 2843
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rambang Niru merupakan salah satu kecamatan di Kab. Muara Enim, Sumatera Selatan.

Sebelumnya, kecamatan ini termasuk wilayah Kec. Rambang Dangku dengan ibu kota di Desa Tebat Agung. Tebat Agung dikenal juga dengan nama Simpang Niru.

Pada tahun 2019, Kec. Rambang Dangku dibagi menjadi 2 kecamatan, yakni Rambang Niru dan Empat Petulai Dangku.

Ibu kota Rambang Niru tetap di Tebat Agung. Sebelumnya desa ini merupakan ibu kota Rambang Dangku. Sementara ibu kota Empat Petulai Dangku di Dangku.

Pemekaran Rambang Dangku menjadi Rambang Niru dan Empat Petulai Dangku, berdasarkan Perda Kab. Muara Enim Nomor 10 Tahun 2018.

Peresmian Rambang Niru dilakukan Bupati Muara Enim Ahmad Yani didampingi Wakil Bupati H. Juarsah, pada Kamis, 20 Juni 2019.

Artinya, pada 20 Juni tahun 2023, Rambang Niru berulang tahun untuk yang keempat.

"Kembali digunakannya nama Rambang Niru, merupakan usulan masyarakat dan tidak ada intervensi dalam prosesnya," jelas Bupati Ahmad Yani, dalam sambutannya, kala itu dinukil dari buanaindonesia.co.id.

Luas Rambang Niru 461,70 km persegi atau 8,53% dari total luas Kab. Muara Enim.

Rambang Niru memiliki 16 desa. Di kecamatan ini tak ada kelurahan.

Salah satu desa tertua di Rambang Niru adalah Desa Jemenang.

Jemenang memiliki luas wilayah 38,66 km kuadrat, atau 8,37% dari luas Rambang Niru.

Berdasarkan luas wilayah (km bujur sangkar), Jemenang termasuk desa terluas nomor 4 setelah Subang Jeriji (122,09), Aur Duri (65,83) dan Gemawang (62,16).

Sedangkan desa dengan luas wilayah paling kecil adalah Air Cekdam dengan luas 5,05 km persegi atau 1,09% dari luas Rambang Niru.

Masa lampau, sebagaimana umumnya desa di Kab. Muara Enim, utamanya di Rambang Niru, Jemenang lebih dikenal dengan sebutan Dusun Jemenang. 

Dulu, setidaknya sampai pertengahan tahun 70an sampai awal 80an, kepala desa Jemenang disebut kerio.

Kalau tak salah, kerio terakhir adalah Desdamim (alm.). Kediamannya tidak jauh dari kantor desa yang lama. Tak sampai 100 meter.

Dalam struktur pemerintahan dusun yang dipimpin kerio, di bawahnya ada jabatan yang disebut penggawe 'penggawa'. Sekarang mungkin setara dengan ketua rukun warga (RW)/kepala dusun?

Penggawe yang "kesohor" yang kami ingat adalah Renawi bin Mancap (Wak Dar/Kangkung). Beliau juga sudah almarhum.

Berapa Usia Desa Jemenang?

Sejauh ini belum ada cacatan sejarah (semisal buku atau makalah) yang bisa jadikan rujukan.

Namun, usia desa ini dapat dipastikan lebih dari seratus tahun. Utamanya bila melihat silsilah warga setempat.

Saat ini rata-rata warga Jemenang merupakan keturunan keempat atau kelima dari leluhurnya.

Sedangkan keturunan ketiga, kalau pun masih ada yang belum berpulang, rata-rata usianya di atas 70 tahun.

Menurut cerita dari mulut ke mulut, dahulunya lokasi Jemenang, bukan di tempat sekarang. Makanya ada istilah "Dusun Jemenang Lame" atau desa lama dari Jemenang.

Satu-satunya informasi yang kami dapat tentang usia desa ini dari media sosial. Menurut informasi tersebut, pada tahun 2017, Jemenang berusia 235 tahun. Kalau benar, tahun 2023 ini, usia Jemenang 241 tahun. 

"Sedekah Pedusun. Ulang tahun Desa Jemenang yang ke-235 tahun. Namun, pacak 'bisa' lebih, pacak 'dapat' kurang," tulis Moch Delfi Al Buchory di grup facebook "Desa Jemenang Rambang Niru" pada pukul 19.06 WIB, Selasa, 31 Oktober 2017.

Peresmian Kantor Camat Rambang Niru, Kamis, 20 Juni 2019 (Foto: sumsel.tribunnews.com)
Peresmian Kantor Camat Rambang Niru, Kamis, 20 Juni 2019 (Foto: sumsel.tribunnews.com)

Wilayah Jemenang Sangat Luas 

Dulu Jemenang wilayahnya sangat luas. Beberapa desa di Rambang Niru, termasuk wilayah administrasinya. Jemenang menjadi "nenek moyang" dari desa-desa tersebut.

Misalnya, Desa Air Talas, Gemawang, Suban Jeriji, dan Air Enau. Bahkan, Desa Tanjung Menang, konon disebut-sebut juga pemekaran dari Jemenang.

Dahulu, di Jemenang terdapat beberapa talang atau dusun kecil di dekat hutan (di peladangan), yakni Talang Besak, Talang Laisan dan Talang Mak Inang (Mai Nang).

Khusus di Talang Mai Nang, ada kalangan (pasar mingguan) yang digelar setiap Rabu. Begitu pula di Talang Besak (Talang Besar), harinya sama.

Kearifan Lokal "Sekedah Pedusun"

Jemenang memiliki beberapa local wisdom 'kearifan lokal' yang tetap lestari sampai sekarang.

Kearifan lokal tersebut sebagian dek katek 'tak ada' di desa-desa lain di Rambang Niru.

Local wisdom dimaksud, antara lain "Sedekah Pedusun". Bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah kenduri kampung atau syukuran/selamatan kampung.

Tradisi "Sekedah Pedusun' di Jemenang ini, kalau di Kabupaten Lingga (Provinsi Kepulauan Riau), dikenal dengan nama "Bele Kampung".

Bedanya, "Bele Kampung" di Kab. Lingga, sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) pada tahun 2019. Sedangkan, "Sedekah Pedusun", sejauh yang kami tahu, belum jadi WBTB.

Mudah-mudahan, suatu saat "Sedekah Pedusun" di Jemenang, juga bisa menjadi salah satu intangible cultural heritage (ICH) yang terdaftar sebagai WBTB Indonesia yang dikelola Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek.

Asal-Usul Nama Jemenang

Menurut cerita ebak pahi ni 'almarhum ayah', penduduk Desa Jemenang berasal dari marga Rambang Kapak Tengah.

Berbeda dengan di Sumatera Barat yang matrilineal, sistem kekerabatan penduduk Jemenang dan daerah lain di Sumatera Selatan adalah patrilineal. Susur galur atau garis keturunan berasal dari pihak ebak 'ayah'.

Karena itu, anak laki-laki pertama, bagi warga Jemenang "sangat berharga".

Meskipun hanya satu orang, setiap keluarga "harus" punya anak lanang. Putra laki-laki tersebut biasanya disebut jurai 'keturunan' (penyambung keturunan).

Satu hal lagi, bahasa yang dipakai dalam keseharian di Desa Jemenang adalah bahasa Melayu.

Beberapa kata yang digunakan, sebagian mirip dengan bahasa Melayu di Provinsi Kepulauan Riau, sejumlah daerah Provinsi Riau (seperti di Kab. kepulauan Meranti, Kabupaten Bengkalis) dan juga Negara Jiran, Malaysia.

Misalnya, ke mane/mano? 'ke mana?', cak mane/mano? 'bagaimana?', rase/raso kan! 'rasa kan!, gile/gilo 'gilo', due/duo 'dua', tige/tigo 'tiga', lime/limo 'lima', katenye/katonyo 'katanya', dan sebagainya.

Masih mengutip cerita ebak ketika beliau belum wafat, nama Jemenang berasal dari dua suku kata, yakni "jeme" dan "menang".

"Jeme" berarti orang. Sedangkan "menang" maknanya dapat mengalahkan (lawan, musuh, saingan); unggul; menang.

Jadi, Jemenang bermakna orang yang tidak terkalahkan. Orang yang unggul. Orang yang menang. Benarkah demikian?

Semoga kelak, utamanya sejarah tentang Desa Jemenang, dengan mudah dapat diakses melalui laman (jemenang.desa.id), sehingga anak cucung "keturunan", lebih-lebih Generasi Emas 2045 asal desa ini yang di perantauan (seperti putra-putri kami), juga dapat mengetahui tambo desa leluhurnya.

Semoga! *****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun