Mohon tunggu...
Johansen Silalahi
Johansen Silalahi Mohon Tunggu... Penulis - PEH

Saya adalah seorang masyarakat biasa yang menyukai problem-problem sosial, politik, lingkungan, kehutanan. Semoga bisa berbuat kebajikan kepada siapapun. Horas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Romantisme Cinta Era Tahun 2000an

11 September 2020   10:17 Diperbarui: 11 September 2020   20:31 659
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bukti Surat Cinta Saat itu. (Sumber foto: Dokumen Pribadi)

Tulisan ini agak nyentrik yang berisi pengalaman penulis (kisah nyata) terkait romantisme cinta pada era tahun 2003-an yang menjalin hubungan (pacaran) jarak jauh (Yogyakarta-Medan) atau terkenal dengan istilah long distance. 

Alasan jarak jauh saat itu adalah menempuh pendidikan yang berbeda kota, pasangan saya menempuh pendidikan di Kota Medan sedangkan saya di Yogyakarta.

Dapat dibayangkan jauhnya jarak yang ditempuh karena antar pulau pastinya banyak biaya yang dibutuhkan terutama dalam komunikasi. 

Romantisme ini layak dituliskan karena selain kisah nyata, kisah ini juga berisi tentang pengorbanan atau perjuangan hidup baik cita dan cinta yang dapat menginspirasi pasangan yang menjaling hubungan jarak jauh (long distance) terutama kawula muda (baru lulus SMA yang ingin melanjutkan ke bangku kuliah).

Mungkin bagi pembaca lain menganggapnya lebai karena terlalu mengumbar-umbar masa lalu, bagi saya kisah ini perlu dituliskan minimal dapat berbagi pengalaman terhadap pasangan kawula muda yang menjalin hubungan jarak jauh (long distance), semoga ada nilai positif yang dapat diambil dari kisah ini. 

Kisah romantisme beberapa pasangan anak muda pastinya berbeda terlebih saat ini ditengah era industri 4.0. dibandingkan dengan era sebelum-sebelumnya. Hal ini sesuai dengan peribahasa bahwa setiap masa pasti memiliki ceritanya sendiri.

Era sekarang dengan kemajuan teknologi sangat berbeda mengungkapkan rasa cinta atau pertemanan dibandingkan dengan tahun 2000 an secara khusus kepada pasangan muda-mudi yang menjalin hubungan pertemanan. 

Saat ini dapat dipastikan proses komunikasi sangat mudah terlebih banyaknya alternatif aplikasi yang dapat dipakai untuk menjalin komunikasi dan sangat berbeda ditahun 2003-an kebawah dimana komunikasi masih sangat terbatas.

Hal ini saya alami sendiri kala itu terutama ketika melakukan hubungan pacaran jarak jauh atau istilah kerennya long distance yang menurut saya sangat membutuhkan pengorbanan sangat tinggi. 

Pengorbanan yang dimaksud dapat berupa biaya atau uang, waktu, proses menulis surat cinta yang harus sabar (agar kelihatan tulisan kita baik karena tulisan saya sangat jelek). 

Saat itu, pengguna telepon seluler atau gawai masih bisa dihitung dengan jari terutama kalangan mahasiswa seperti saya (uang bulanan aja lancar sudah bersyukur). 

Bagaimanakah pasangan muda-mudi yang mengungkapkan isi hatinya di tanah perantauan? Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengungkapkan isi hati para pemuda-pemudi yang menjalin hubungan jarak jauh seperti saya (Yogyakarta-Medan) minimal seperti menanyakan kabar karena kondisi saat itu tidak memiliki gawai. 

Cara pertama adalah menelpon dengan memakai wartel (warung telepon), cara ini sangat ampuh dilakukan jika pasangan kita memiliki gawai atau nomor telepon rumah.

Saya melakukan ini karena kebetulan pacar saya saat itu memiliki keduanya (gawai dan telepon rumah) sehingga komunikasi saat itu dapat berjalan dengan lancar tapi berat di biaya. Kendalanya adalah masalah biaya atau cost yang cukup mahal saat itu karena lokasi yang dipisahkan pulau (Pulau Sumatera dan Jawa). 

Dapat kita bayangkan saat itu biaya untuk nelpon dari Yogyakarta ke Medan bisa sepuluh kali makan di Yogyakarta, perkiraannya di Yogyakarta tahun 2003an sekali makan dengan menu sederhana masih Rp.2.000, sementara jika menelpon pacar yang di Medan, pembayaran di wartel (warung telepon) dapat mencapai Rp.20.000,-.

Dapat dibayangkan pengorbanan saat itu, sangat berharganya pengorbanan untuk sekedar menanyakan kabar atau hal-hal lain yang menurut kita saat itu sangat berharga. 

Terkadang karena keuangan menipis, hanya menanyakan kabar saya sudah cukup (menghindari pembayaran yang tinggi di wartel). Karena saat itu saya masih ingat, uang bulanan saya dari orang tua hanya berkisar Rp.300.000 per bulan untuk menempuh pendidikan di Kota Yogyakarta.

Cara lain yang paling sering saya lakukan adalah melakukan surat menyurat (surat cinta adalah istilah kerennya saat itu). 

Cara ini menurut saya sangat baik, efektif dan efisien karena banyak yang bisa diceritakan dan sangat menjangkau kantong mahasiswa saat itu. Surat cinta saat itu sangat banyak diminati terutama di era tahun 2003-an ke bawah.

Banyak tipe-tipe surat cinta dijual di pasaran, dari segi corak atau warna maupun gambar sangat bervariasi dijual. Biasaya semakin bagus kualitas surat cinta tersebut, harganya juga akan menyesuaikan kualitasnya. 

Saya masih ingat saat itu jika kita membeli surat cinta, dapat dipakai untuk proses surat menyurat sebanyak 3 kali pemakaian tergantung kita juga. 

Pengorbanan menulis surat cinta kepada pasangan kita saat itu sangat butuh pengorbanan menurut saya seperti pemilihan corak surat cinta yang kita inginkan, tulisan yang baik (layak baca), isi surat yang cukup membuat pening karena seperti menuliskan curaan hati dan lain-lainnya.

Ada apa dengan surat cinta? surat cinta adalah media yang sangat memungkinkan dilakukan di era tahun 2003-an kebawah karena selain sangat murah dan banyak hal yang dapat diceritakan disana seperti masalah perkuliahan, menanyakan kabar dan lain-lain. 

Surat cinta adalah pilihan yang sangat efisien dan efektif saat itu selain menelpon atau pulang kampung (ketemu dengan pasangan).

Saya masih ingat saat itu, hal pertama atau kalimat pertama yang biasa saya lakukan menulis surat cinta adalah membuat pantun. Contoh pantun yang sangat terkenal saat itu adalah: 

Bandung Dulu Baru Jakarta, Senyum dulu Baru di Baca. Ini adalah senjata pemungkas saya sebagai kalimat pembuka isi surat saya. Terkadang memutar otak juga untuk mengganti pantun lainnya agar dapat menarik pasangan saya saat itu yang menempuh kuliah di Medan. 

Biasanya setelah kalimat pembuka, diiringi dengan menanyakan kabar, cerita sedikit demi sedikit, permasalahan yang dialami, pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan balasan suratnya (sang kekasih).

Setelah bercerita panjang lebar dengan tulisan tangan (kategori mahasiswa sangat jelek karena tegak bersambung) yang mencoba agar layak baca. 

Saat itu saya menyadari tulisan tangan saya sangat jelek (mirip tulisan dokter), tapi tak mengurungkan niat (pengorbanan) agar dibuat layak baca. 

Hal lain yang biasa saya lakukan setelah bercerita panjang lebar adalah pantun penutup atau oretan-oretan berupa gambar yang berisi gambar panah Saya dan Kamu dan gambar hati (cinta).

Saya sangat ingat saat itu, gambar panah hati Saya cinta Kamu biasanya agak digambar dengan baik dan sedikit diwarnai. Mengingat itu terkadang saya tertawa saat ini karena eranya pada sat itu adalah masih seperti ini (surat menyurat). Setelah menulis surat cinta ini biasanya saya akan ke kantor pos untuk mengirim surat ini. 

Proses sebelum menulis surat yang biasa saya lakukan mencari dan membeli surat cinta yang wangi dan menarik untuk kategori saya di pusat perbelanjaan. 

Dapat dibayangkan semoga surat saya saat itu dapat diterima oleh pasangan saya secepatnya (biasanya saat itu lama proses pengiriman memakan waktu 1 minggu). 

Proses yang biasa saya lakukan setelah mengirim surat adalah menanyakan kepada pasangan saya sudah sampai dimana surat saya tersebut. 

Biasanya satu minggu setelah pengiriman surat, saya menelpon ke wartel pasangan saya yang di Medan untuk menanyakan sudah sampaikah surat saya, sudah dibaca dan menanyakan bagaimana tanggapannya (berharap surat dibalas).

Biasanya setelah menelpon, saya berharap surat saya dibalas secepatnya dan mengharapkan kabar-kabar yang baik dari beliau. Saya masih ingat sempat beberapa kali mengalami hal ini (surat menyurat) dan jika diingat saat ini membuat kita tertawa  karena lucu dan isteri saya saat ini adalah pacar saya juga dulu. 

Kebetulan pasangan saya (isteri)  masih menyimpan surat cinta saya dan beberapa kado yang saya beri sebagai bukti perjuangan cinta yang berbeda pulau (Sumatera dan Jawa).

Romantisme cinta tahun 2000an menurut saya sangat menarik dan penuh pengorbanan jika dibandingkan dengan saat ini yang cukup mudah menjalin komunikasi karena banyak media atau aplikasi yang mendukung hal tersebut. 

Demikianlah tulisan ini diperbuat, semoga ada kisah atau nilai positif yang dapat diambil oleh para pembaca yang budiman terutama bagi kawula muda yang menjalin hubungan jarak jauh (long distance) terutama karena menempuh pendidikan yang lebih tinggi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun