Tulisan ini adalah hasil pengalaman penulis ketika mengikuti  webinar (teknologi seminar online dengan internet tanpa bertatap muka secara langsung) tentang "Antisipasi Dampak Kebakaran Hutan, Kabut Asap dan Covid-19". Â
Menurut saya topiknya sangat nyata dan relevan dengan kondisi negara kita bahkan dunia (negara tetangga) saat ini mengalami pandemik Covid 19 dan dimasa yang akan datang berpotensi akan mengalami kebakaran hutan dan lahan jika tidak ditangani dengan baik.Â
Latar belakang Indonesia dengan kondisi pandemik Covid 19 yang terjadi  hampir diseluruh dunia termasuk di Indonesia sangat menguras pemerintah baik pusat maupun daerah terutama dalam hal pendanaan pencegahaan atau pemutusan mata rantai penyebaran virus corona ini.Â
Potensi kebakaran hutan dan lahan berdasarkan pengalaman tahun-tahun sebelumnya selalu terjadi terutama jika memasuki musim kemarau dan jika karhutla tidak dikelola dengan baik.
Banyak program-program yang sudah dikeluarkan pemerintah untuk mendukung hal diatas seperti realokasi anggaran yang fokus kepada penanganan Covid 19, JPS (Jaringan Penaman Sosial) untuk penyelamatan ekonomi, larangan mudik, keringanan kredit, Â pembatasan sosial berksala besar dan lain-lain.Â
Pemusatan pikiran dan tenaga terhadap Covid 19 tentunya tidak dapat juga mengabaikan kegiatan/sektor lain terutama pendukung Covid-19 yang sangat penting dan jika tidak disiasati akan memperparah atau menambah beban pemerintah seperti peribahasa sudah jatuh tertimpa tangga pula.Â
Jangan sempat seperti peribahasa diatas terjadi mengingat bencana karhutla (kebakaran hutan dan lahan) berhubungan juga dengan penanganan Covid 19 saat ini. Salah satu program yang harus disiasati atau dicegah pemerintah adalah kebakaran hutan dan lahan terutama di lahan gambut.
Ada apa dengan kebakaran hutan dan lahan? Kebakaran hutan menurut Brown dan Davis (1973) adalah suatu proses pembakaran bahan organik yang menyebar secara bebas dengan menggunakan bahan bakar alam hutan seperti humus, ranting-ranting, gulma, serasah, tanah gambut, dedaunan dan pohon segar. Â
Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 2001 menyebutkan bahwa penyebab kerusakan atau pencemaran lingkungan adalah kebakaran hutan dan lahan. Berdasarkan teori yang kita pelajari, kebakaran terjadi akibat tiga komponen saling berhubungan yaitu bahan bakar, oksigen dan panas (Akbar, 2016).Â
Acep Akbar (2016) dalam bukunya menyebutkan bahwa tiga faktor kunci yang mempengaruhi perilaku api yaitu bahan bakar, cuaca dan topografi. Senada dengan hal diatas, BMKG dalam analisa iklim yang diumumkan melalui websitenya menyebutkan bahwa pusat musim kemarau diprediksi Bulan Agustus 2020.Â
Dampak kebakaran hutan dan lahan terkait Covid 19 adalah penurunan kualitas udara akibat asap, iklim mikro terganggu, menganggu kesehatan masyarakat seperti ISPA (infeksi saluran pernafasan akut), asma bronkial, bronkitis dan lain-lain. Intinya jika sudah terjadi kabakaran, banyak sektor yang terganggu seperti kesehatan, sosial, ekonomi, ekologi, hubungan dengan negara-negara tetangga, pariwisata, pendidikan, keamanan dan lain lain (Rasyid, 2014).Â
Dampak kebakaran hutan dan lahan kali ini fokus kepada Covid 19 yaitu terkait dampak terhadap gangguan saluran pernapasan (ISPA), asma bronchial, bronkitis, pneumonia, iritasi kulit dan mata (Akbar, 2016) .Â
Berdasarkan hal diatas, jelas bahwa dampak kebakaran hutan dan lahan sangat erat hubunggannya dengan pandemik Covid 19 juga terutama dengan saluran pernapasan. Â Terlebih pada lahan gambut karena sangat rentan terbakar dan sulit untuk dipadamkan terutama jika terjadi pada bagian bawah permukaan lahan.Â
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB sebagai ahli kebakaran hutan dan lahan, Profesor Bambang Hero Saharjo menyebutkan bahwa jika terjadi kebakaran dilapisan dalam gambut akan menghasilkan 90 jenis gas dan 50 persen dari gas itu beracun (tempo.co).Â
Penemuan ahli karhutla tersebut sangat membuka benang merah dampak kebakaran hutan dan lahan jika tidak dicegah atau diatasi semaksimal mungkin.Â
Dapat kita bayangkan seperti berita yang disadur penulis dari beberapa literatur yang dirangkum penulis seperti kompas.com yang menyebutkan bahwa masyarakat yang terinfeksi virus Covid 19 akan menyerang pernapasan, batuk kering, sakit tenggorokan dan sakit kepala. Sehingga dapat kita bayangkan ditengah pandemik Covid 19 terjadi juga kebakaran hutan dan lahan?Â
Bencana ini tentunya akan menguras keuangan negara dan melumpuhkan banyak sektor bahkan dapat meningkatkan risiko kematian bagi rakyat Indonesia.Â
Pemerintah kali ini harus dapat mensiasati hal ini karena BMKG selaku instansi yang kompeten terkait analisa iklim harus didengar oleh pemangku kebijakan terkait kebakaran hutan dan lahan untuk menyiapkan strategi yang efisien dan efektif untuk mengatasi atau mencegah kebakaran hutan dan lahan ditengah pandemik Covid 19. Â
Salah satu kebijakan yang dapat diterapkan adalah pencegahan melalui monitoring (supervisi) titik-titik api dari satelit, penegakan hukum yang tegas harus digalakkan untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan yang disengaja oleh oknum tertentu.Â
Semua stakeholders harus bekerja keras untuk mencegah terjadi kebakaran hutan dan lahan ini terlebih di lahan gambut walaupun disaat yang sama pikiran dan tenaga kita habis untuk mencegah mata rantai Covid 19.Â
Dua kejadian ini sejatinya berhubungan erat (Covid 19 dan kebakaran hutan dan lahan) sehingga jangan sempat ada yang terlewatkan penangannya jika ada yang terlewatkan maka peribahasa ini akan tepat dikenakan "sudah jatuh ditimpa tangga pula".Â
Kasus pandemik Covid 19 saja sudah menguras kas keuangan negara kita, dapat kita bayangkan jika disertai dengan kebakaran hutan dan lahan, maka ekonomi dan seluruh sektor yang ada di negara kita akan terganggu.Â
Lebih baik mencegah daripada mengobata, peribahasa itu harus diterapkan pemerintah untuk pencegahan kebakaran hutan dan lahan ditengah pandemik Covid 19.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H