Mohon tunggu...
Johan G.M Pardede
Johan G.M Pardede Mohon Tunggu... Lainnya - Asliii

Selalu memandang masalah secara objektif

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Meski Dicap Monoton, Serie A Italia Mengajarkan Banyak Nilai yang Tidak Dimiliki Liga Lain

29 Juli 2020   14:14 Diperbarui: 29 Juli 2020   14:11 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: mykidsfootballkit.com

Beberapa waktu yang lalu saya pernah  membaca suatu artikel yang memberikan penjelasan kenapa Serie A tidak layak ditonton dan salah satu poinnya mengatakan liganya yang terkesan monoton dan membosankan kalua ditonton. Untuk poin tersebut tidaklah mutlak sama penilaiannya bagi setiap orang, sebab sepakbola kental akan subjektifitas atau tergantung preferensi penikmatnya.

Tapi bagi saya pribadi Seri A adalah salah satu keindahan lain dari dunia sepakbola. Tidak melulu soal permainan yang bertempo cepat seperti Liga Inggris atau perebutan gelar juara yang masih tergolong kompetitif di liga Spanyol. Tapi di seri A juga mengajarkan banyak akan nilai kehidupan yang bisa membuat mewek para orang yang gampang tersentuh hatinya.

Kesetiaan dan Pengorbanan

Liga Italia pada tahun 2006 sempat digegerkan oleh terungkapnya peristiwa Calciopoli yaitu pengaturan skor oleh berbagai pihak, termasuk federasi dan klub yang berkompetisi di Seri A kala itu. Dan yang paling menghebohkan dunia persepakbolaan adalah kala putusan yang dijatuhkan kepada Juventus supaya mereka terdegredasi ke kasta yang lebih rendah, bahkan dua gelar juara liganya dalam kurun dua tahun terakhir dipreteli serta tidak boleh mengikuti ajang kompetisi Liga Champions.

Akibatnya sponsor menarik diri darinya dan kerugian finansial lainnya membuntuti mereka, seperti tim si nyonya tua tidak lagi mendapatkan siaran sebanyak sebelumnya. Imbasnya pendapatan klub menurun drastis. Tentu hal seperti ini menjadi "alergi" bagi pemain Juventus yang sebagian besar ditaburi pemain berlabel bintang kelas dunia. Para pemain berhampuran pergi dari klub yang bermarkas di Turin itu, demi menyelamatkan karir persebakbolaan mereka.

Tapi yang membuat saya terharu dan sampai menitikkkan air mata ialah mengenai kesetiaan sebagian besar punggawa intinya. Mulai dari Nedved, Del Piero, Buffon, dan Trezeguetz tidak mau hengkang dari klub yang dibelanya itu, meski tim yang diperkuat mereka akan bermain di kasta yang lebih rendah.

Bayangkan saja, mereka yang kala itu masih dalam usia emas dalam persepakbolaan memilih tetap bertahan dan mengabaikan tawaran klub besar di depannya. Karir mereka dipertaruhkan sedramatis itu demi kasih sayang mereka terhadap si nyonya tua. Gaji besar yang ditawarkan tim lain diabaikan demi kecintaannya bagi klub tersebut.

Dengan bermain di kasta kedua di Italia lantas sorot kamera akan nyaris vakum dari mereka. Gaji mereka tentu akan berkurang akibat pemasukan tim yang berkurang drastis dari hak siar maupun sponsor. Hal itu mengajarkan sepakbola bukan tentang uang semata. Masih ada rasa yang lebih penting dari uang yaitu persahabatan dan kesetiaan. Menyaksikan kisah mereka itu layaknya seperti melihat kisah dalam film.

Tapi bisa ditebak dengan komposisi pemain yang sekaliber Buffon CS, mereka dapat merajai Seri B. Pada akhirnya mereka dapat menjadi juara dan segera promosi dari Seri B ke Seri A. Kisah mereka ini mengingatkan saya akan film Three Idiots, semua tentang persahabatan dan kesetiakawanan serta bukan demi keuntungan semata.

Bila dapat melakukan perlakuan demikian, maka para pemain tersebut akan naik derajat diri mereka satu tingkat. Maka tak heran pemain seperti Nedved, Trezeguets, Del Piero, Buffon digelari sebagai legenda si nyonya tua. Memisahkan atau meniadakan kisah hidup mereka dari Juventus membuat cerita hidupnya akan terasa hambar layaknya sayur tanpa garam.

Lain dari kisah pemain Juventus, salah satu pemain andalan tim Italia dan Parma yaitu Allesandro Lucarelli. Pada tahun 2015 klub Parma dinyatakan bangkrut dan tidak bisa melanjutkan berkompetisi di Seri A Italia. Akibatnya banyak para pemain yang eksodus dari klub itu.

Namun, masih saja ada nama tenar yang tidak mau meninggalkan klub tersebut, yaitu Lucarelli. Bila pemain Juventus tadi ada beberapa yang memilih bertahan, dia cuma seorang saja yang bertahan. Betapa tangguhnya pribadi seperti itu. Semua dia lakukan sebagai contoh kapten yang patut diteladani karena bertanggungjawab.

"Saya sudah mati dengan klub ini dan saya ingin menjadi bagian dari kelahirannya kembali." Kata-kata itu meluncur dari mulut Lucarelli Ketika timnya terdegradasi sampai ke Seri D, dia tidak mau menjadi kutu loncat yang sekadar mempertahankan kariernya.

Terhitung dalam kurun tiga tahun janji yang pernah diutarakannya itu ditunaikan dan Parma dapat kembali bermain ke Seri A. Gegap gempita kala itu para pendukung Parma saat merayakan keberhasilan Parma kembali ke Liga Italia. Lucarelli disambut bak jenderal sehabis memenangi pertempuran di medan laga. Dan untuk menghormati dedikasinya yang luar biasa, Parma mempensiunkan nomor #6 sebagai bentuk penghormatan atas diri Lucarelli.  

Itulah sekelumit kisah yang mengharukan yang menjadi bumbu manis di Serie A Italia, bagi saya sepakbola tidak melulu soal permainan tempo cepat atau gol indah, tapi sepakbola adalah ajang untuk menunjukkan nilai-nilai kehidupan yang positif dan memberi kesan yang menyentuh bagi pemirsanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun