Sudah puluhan tahun aku merantau di Jakarta. Bagiku perantauan itu ibarat bermain judi. Kalau menang maka akan kaya. Tapi jika kalah akan jatuh miskin. Untuk diriku tidak dapat kutentukan berada di posisi yang mana. Sebab orang lainlah yang menilai diri kita, bukan?
Di tengah malam ini terasa sangat berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Orang-orang patuh terhadap imbauan pemerintah agar melaksanakan Work From Home. Tapi untukku itu tidak berlaku. Bintang terlihat begitu terang dan mata dengan bebas bergerak menelusuri angkasa yang luas sejauh mana dapat memandang. Tidak ada halangan kabut seperti biasanya. Bahkan bulan pun terlihat dengan jelas.
Melihat keindahan malam yang memukau itu, selalu membawaku terbang ke masa lalu. Bintang dan bulan tidaklah kutahu perbedaannya secara keilmuan. Meskipun guruku sewaktu SMP pernah mengatakan bulan itu hanya memantulkan cahaya dari bintang dan bintang itu sendiri yang memiliki cahaya sendiri. Mendengar penjelasan itu aku tidak acuh. Yang penting aku tahu bahwa bulan lebih besar dari bintang.
Tapi suatu saat aku berdebat dengan guruku mengenai persoalan sepele tersebut. "Bintang itu jauh lebih besar" kata guruku waktu itu. "Bulan jauh lebih besar dari bintang. Lihat saja di malam hari!" kataku kepada Pak Guru.
"Ya, karena bintang lebih jauh letaknya daripada bulan terhadap bumi" jelas guruku dengan lambat.
Tapi mengingat diriku yang boleh dikatakan tidak mau kalah, malah membalas "Dari mana bapak tahu letaknya jauh? Emangnya bapak pernah ke sana" kataku dengan senyum.
Mendengar ucapan tersebut guruku merasa naik pitam, "Bukan berarti aku harus pernah ke sana untuk bisa membuktikannya. Tapi sudah ada pembuktian dari ilmuwan astronomi sebelumnya" jelas guruku disertai dengan suara yang mulai meninggi.
Di situ kulihat teman-temanku merasa ketakutan. Beberapa teman dari belakang mejaku malah mengatakan kalau aku keliru. Dan ada pula yang mengatakan agar aku minta maaf. Mendengar perkataan mereka semua malah membuatku semakin bersemangat. "Pasti penelitian itu akan berubah lagi. Seperti pluto yang dikeluarkan dari tatanan tata surya. Itulah bahwa tidak ada gunanya mempelajari apa yang bapak katakan tersebut" kataku seraya senyum terhadap teman-temanku.
Mendengar perkataanku tersebut lantas guruku malah mengatakan "bodoh" ucapnya dengan keras. Lantas  jantungku seakan meledak. Tanpa diduganya aku langsung datang menghampirinya. Kemudian aku menatapnya dan mengancam akan memukulnya. Melihat itu para temanku yang di dekat situ segera meleraiku dan sebagian menasehati aku supaya berbuat sopan terhadap orang yang lebih tua.
Itulah sekelumit kisahku yang kuingat jika melihat dan membayangkan langit di malam hari. Sudah beberapa kali aku membayangkannya tapi tidak terasa bosan. Selalu senyum mengiringi ingatan tersebut.
Di tanah perantauan ini banyak profesi yang sudah kujalani mulai dari profesi yang halal sampai yang haram. Itu semua kujalani dengan alasan ingin menjalani segala seluk beluk kehidupan. Pernah  pendeta mengatakan bahwa uang haram dapat membuat sakit para penikmatnya. Tapi setelah kucoba tidak ada aku merasa sakit. Aku menganggap bahwa kekurangan uanglah yang dapat membuat sakit. "Persetan dengan halal atau haram yang penting bisa memenuhi kebutuhan" pikirku sampai saat ini.
Meskipun hanya lulusan STM aku bisa memperoleh pekerjaan. Aku pernah mendengar di TV dikatakan bahwa lulusan sarjana saja sulit mendapat pekerjaan apalagi dengan lulusan di bawahnya.
"Pokoknya kau harus kuliah" kata mamaku sewaktu menyaksikan siaran TV tersebut. "Ah tidak mau. Aku langsung bekerja saja di Jakarta" jawabku pada mama. Mengetahui bahwa aku yang tipe orangnya tidak mau kalah segera mama tidak melanjutkan perdebatan.
"Ma, berikan aku ongkos dan uang untuk bekalku nanti di Jakarta" kataku beberapa waktu kemudian. Mamaku pun memberikan uang yang sudah kuanggap besarnya lebih dari cukup. "Mama akan selalu mendoakan kamu" kata mama sambil mengecup dahiku.
Sesampai di Jakarta aku merasa terpesona sekaligus merasa heran. Terpesona karena melihat banyaknya bangunan mewah. Dan heran melihat begitu banyaknya pengemis di perempatan jalan. Semenjak darisitu, aku bertekad untuk menjadi orang yang tidak hidup di perempatan jalan.
Awal menginjakkan kaki di Jakarta seperti lulusan STM lainnya aku memilih bekerja di bengkel. Bengkel yang sekarang kunaungi termasuk bengkel yang besar. Perlahan-lahan pundi-pundi keuanganku membesar. Itu semua berkat pola hidup hemat yang kujalani.
Seperti kata pepatah semakin tinggi pohon semakin kencang pula angin bertiup kencang. Perlahan-lahan aku mulai berteman dengan kehidupan perkotaan. Di setiap minggu, kuwajibkan untuk singgah di klub malam. Beraneka ragam kenikmatan duniawi kunikmati mulai dari aneka minuman beralkohol, narkotika, dan tentu saja wanita cantik.
Semua yang kujalani terasa sebagai ketergantungan. Pernah sekali kucoba agar tidak mengikuti kebiasanku itu, rasanya kepalaku ingin pecah. Tidur pun menjadi susah. Perlahan-lahan aku seakan jatuh ke kubangan lumpur besar. Karena tidak mau merasakan hal yang sama, maka kulanjutkan aktivitas yang tadinya kuhentikan, untuk pergi ke klub malam. Malah aku hampir tiap hari mengisi waktu ke klub tersebut.
Lamban laun tabunganku menipis. Narkotika seakan menjadi nafas hidupku. Melihat perubahan tampilan fisikku yang berubah total, bosku menegurku dan menasehatiku untuk menjauhi mahluk haram itu. "Terimakasih atas nasehatnya, Pak" begitu jawabku terhadap saran dari bosku tersebut. Tapi yang namanya kesabaran pasti ada batasnya. Hingga suatu saat bosku datang memanggilku dan lantas memberitahukan bahwa aku akan dipecat.
"Tidak bisakah bos memaklumiku" ucapku dengan nada keheranan.
"Selama ini aku sudah memaklumi dan mengajarimu untuk menjalankan hidup yang benar" jawab bosku
"Setidaknya berbelas kasihlah bos padaku" pintaku kepadanya
"Dasar tidak tahu diri. Aku selalu memberi uang lebih kepada karyawanku agar mereka sejahtera" kata bosku sambil memelototiku.
Tanpa pikir panjang segera kupecahkan vas bunga yang di meja ke kepalanya. "Daaaarrr" terdengar suara pecahan vas bunga. Kulihat darah berceceran dan bosku terjatuh. Melihat itu aku merasa ketakutan. Sontak karyawan berdatangan menuju suara asal pecahan teesebut dan melihat bosku tergeletak. Mereka segera mengiringku ke kantor polisi.
Di penjara bukannya bertobat. Malah ini kurasa sebagai sebuah markas. Aku mulai berkenalan dengan beraneka penjahat di sana. Ternyata penjara tidak akan mengubah karakter seseorang pikirku saat itu. Di situ aku berteman dekat dengan Joni seorang narapidana kasus penjambretan.
"Gar sehabis bebas dari sini, ayo kerja bersamaku" kata Joni padaku.
Segera kuiiyakan ajakannya. Lamban laun aku mulai dekat juga sama tahanan lainnya. Hampir tiap hari kami bercanda dan menertawai kasus kejahatan kami.
Aku dan Joni akhirnya bebas. Meskipun dia pertama bebas beberapa bulan dariku. Kemudian kamipun tinggal bersama di kontrakannya. Di situ kami pun berencana untuk merencanakan perampokan di trotoar. Target kami ialah, mereka yang lemah yaitu wanita.
Tepat di malam yang sudah kami rencanakan kami memulai aksi. Melihat seorang gadis yang sendirian, tanpa pikir panjang aku segera merampas tasnya dan Joni yang bersiap-siap di atas motor menjemputku.
"Ini jarahan kita yang ketiga" kataku kepada Joni yang membawa motor dengan kencang. Joni tidak menyahut malah tertawa. Lamban laun kami memiliki uang yang melimpah. Segera kami melakukan hal yang menurut kami keren. Tak luput pula kami membuat tato di lengan dan punggung kami.
Aku merasa sangat perkasa sesudah mendapatkan tato tersebut. Demikian juga Joni. Lalu kamipun kembali larut ke dunia malam. Selain mencopet kami memiliki kerja sampingan sebagai tenaga penjaga keamanan di sana. Itu semua berkat jejaring luas Joni. Aku perlahan dikenal dan mulai mempunyai pengaruh di sana.
Hingga suatu waktu polisi menggerebek tempat kami. Narkoba yang berserak di sana lantas segera menjadi barang bukti mereka. Melihat polisi yang berdatangan segera para pengunjung berlarian. Tapi bukan Joni kalau tidak bernyali.
"Polisi sialan" umpat Joni kepada polisi. Polisi seakan mengabaikan umpatannya hingga beberapa saat kemudian terdengar suara tembakan. "Dorr" peluru keluar dari temanku sesama penjaga keamannan. Aku tersentak kaget dan polisi juga tidak menduga mendapat perlawanan. Baku tembak pun terjadi. Dan Joni terkena tembakan.
Aku yang melihat dari kejauhan lantas menangis. Joni yang kuanggap sebagai saudaraku tewas bersimbah darah. Aku pun berlari keluar.
**
Sesuai ajaran yang pernah kudapatkan dari Joni aku segera bergabung dengan keanggotaan organisasi massa. Aku lamban laun menjadi salah satu pentolannya. Kukerahkan anak buahku untuk menjaga supermarket dan perlintasan jalan. Akupun menyadari jika pendapatan di sektor ini ternyata besar.
Tapi suatu saat terasa penurunan luar biasa. Uang yang kutabung perlahan menipis. Pendapatan harian kami pun menurun. Penyebabnya siapa lagi kalau bukan Corona. Aku tidak tahu persis apa itu, tapi kata siaran yang di TV, itu merupakan virus yang berbahaya.
"Persetan COVID-19 itu" pikirku. "Karena mahluk sialan itu pendapatanku turun drastis." Sesekali aku juga mengumpat kepada pemerintah "Kenapa begitu pengecut dalam menutup sektor ekonomi seperti biasanya. Mereka yang tidak dapat mencari makan lebih berbahaya dari Corona" gumamku saat itu.
Akhirnya mulai kembali kudatangi dunia lamaku yaitu mencopet. Jaga jarak yang dianjurkan tidak kuindahkan. "Lagipula aku tidak mempunyai uang kalau tidak beraktivitas keluar" pikirku. Maka kuajak temanku untuk menjambret.
Bila dahulu targetku trotoar sekarang sudah bergeser ke bandara. Aku sudah mengenal seluk beluk bandara ini sebelumnya. Dan kemudian sesuai perencanaanku, aku menjambret seorang pria separuh baya. Kembali aku bersorak kegirangan mendapatkan rampasan dari mangsaku.
Hingga suatu saat aku merasa sakit. Aku terasa sulit bernafas. "Ini mungkin efek merokok dan minum alkohol" pikirku. Dan tanpa sengaja kemudian aku membuka sebuah artikel yang menunjukkan tanda-tanda gejala Corona. Aku merasa kaget dan jantungku tiba-tiba berdegup kencang.
"Besok pasti sudah sembuh" kataku untuk menenangkan jiwaku.
Beberapa waktu kemudian terngiang kembali seruan pendeta yang mengatakan "uang haram akan menimbulkan sakit bagi orang yang menikmatinya." Tapi entahlah kurasa sisa hidupku sebentar lagi. Aku lantas bertanya apakah aku akan meninggal karena kebanyakan makan uang haram atau Corona?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H