Mohon tunggu...
Johansyah M
Johansyah M Mohon Tunggu... Administrasi - Penjelajah

Aku Pelupa, Maka Aku Menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Masihkah Kita Ingin Tau?

30 Juni 2020   16:27 Diperbarui: 30 Juni 2020   16:24 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masa-masa kecil dulu, kita sering bertanya kepada orangtua tentang berbagai hal. Bahkan ada pertanyaan-pertanyaan cerdas itu muncul secara spontan, sulit untuk dijawab. Pertanyaannya tampak lugu, tapi menjawabnya tidak semudah yang dipikirkan.

Barangkali waktu kecil dulu, kita pernah bertanya pada orangtua bagaimana wajah Tuhan itu? Atau kenapa kita harus shalat, atau bagaimana besarnya Tuhan itu ketika mendengar terjemahan Allahuakbar (Allah Maha besar) dari orangtua atau guru kita. Pendeknya, banyak pertanyaan yang muncul terkesan lugu, tapi sesungguhnya sangat berbobot.

tu dulu masa anak-anak. Anehnya, rasa ingin tau kita tentang berbagai hal dari waktu ke waktu terus terkikis. Menginjak usia remaja, ternyata ada wilayah lain yang menyibukkan pikiran dan aktivitas kita. Hingga merangkak menjadi dewasa sampai tua, rasa ingin tahu seperti dulu kala masih anak-anak semakin menipis.

Coba kita rasakan, minsalnya saya yang sudah berusia hampir 41 tahun. Pertanyaan-pertanyaan kritis dulu yang pernah saya pikirkan pada waktu masih berusia beberapa tahun, tidak lagi sering muncul dalam pikiran. Seharusnya, kalau orang ingin belajar dan berkembang, tentu pertanyaan di masa kecil dulu akan dia gali lebih jauh. 

Kenyataannya tidak, mungkin banyak waktu yang kita habiskan untuk rutinitas ke kebun, ke sawah, atau ke kantor. Lalu kita merasa lelah sehingga tidak lagi memikirkan sesuatu yang ingin kita ketahui. Kita ingin istirahat.

Dari apa yang saya amati dan alami, berpikir kritis abstrak transendental ini rupanya berkaitan dengan tingkat keinginan manusia dalam memenuhi kebutuhan materi. 

Semakin tinggi kebutuhan materi dan manusia berusaha untuk mencapainya, semakin rendah daya pikirnya untuk hal-hal yang abstrak. Semakin rendah kebutuhannya terhadap kepuasan materi, semakin tinggilah daya pikirnya untuk hal-hal yang abstrak.

Dengan ungkapan lain, dalam situasi sulit, tidak berpikir hedonis, dan banyaknya ujian hidup berpeluang menggiring orang untuk memikirkan hal-hal yang bersifat transendental. Semua kita pernah merasakan musibah, di saat itu kita lebih banyak berpikir tentang Tuhan, kubur, kematian, maupun alam akhirat. 

Berbeda kondisinya ketika kita berada di tempat wisata dengan suasana pantai yang indah, angin sepoi-sepoi, maka yang terbayang dalam benak kita adalah keabadian hidup dan kesenangan yang maunya terus menerus kita nikmati.

Mari pula kita perhatikan, di usia tua, entah karena alasan sakit atau kondisi fisik yang melemah, akhirnya menyeret pikiran mereka pada hal-hal yang asbstrak-transendental. Ketika sakit, dia akan ingat mati. Lalu ketika ingat mati ada perasaan ingin tau banyak tentang pengetahuan agama. 

Akhirnya ada kesadaran bahwa hidup dan mati ini ternyata kuncinya agama. Pikirannya terus bergelayut, dan berdialog dengan nuraninya, mengungkap pertanyaan, dan mencoba mencari jawaban sendiri.

Hal yang saya ingin katakan adalah sebenarnya rasa ingin tau ini adalah fitrah manusia yang diberi melalui fasilitas hati, mata, dan telinga. Keingintahuan inilah yang menjadi modal manusia untuk mengelola jagad ini. Alangkah indahnya ketika fitrah ingin tau ini sudah kita mulai sejak kecil, tidak terhenti pada fase usia selanjutnya.

Teruslah bangun sikap ingin tau. Kalau ada sikap ingin tau, tandanya seseorang ingin belajar dan mengembangkan diri. Semakin dia belajar, maka semakin sempurnalah proses belajarnya menjadi manusia sesungguhnya.

Secara eksternal, agar rasa ingin tau ini dapat terus terjaga dan berkembang dalam diri seseorang, al-Qur'an melakukan berbagai stimulus perintah iqra' (baca) sebagaimana ditegaskan dalam ayat pertama turun.

Perintah ini tentu saja berkaitan dengan daya keingintahuan, supaya kita bersikap kritis terhadap berbagai fenomena, menyingkap apa yang ada di balik itu semua, melakukan tela'ahan, dan coba menyimpulkan apa hakikat yang terdapat di dalamnya.

Di sisi lain, rasa ingin tau yang dianugerahi Allah Swt kepada kita merupakan fitrah insaniyah dalam upaya memperkuat fitrah rabbaniyyah. Setiap hal yang kita pelajari sejatinya mengantarkan kita pada kesadaran diri yang tinggi betapa maha besaranya Allah Swt. Semua itu pada akhirnya akan melahirkan pengakuan rabbana ma khalaqta hadza bathila (ya Tuhan kami, tidak ada yang Engkau ciptakan sia-sia).

Cabang atau disiplin ilmu apa pun itu, semua didasari pada sikap ingin tau tentang sesuatu. Dari sini kemudian dikembangkan secara berkelanjutan hingga menjadi disiplin ilmu. 

Oleh sebab itu, sejatinya sikap ingin tau ini terus kita pertahankan dan tentu kita kembangkan melalui proses belajar sehingga menghasilkan pengetahuan yang bermanfaat.

Terakhir, ada yang menarik ketika kita membaca kisah nabi Ibrahim As ketika mencari Tuhan. Dia begitu cerdas dan kritis mempertanyakan dan mencari Tuhan. Dalam al-Qur'an digambarkan; "Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam". Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat". Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar". Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan." (QS. Ibrahim: 76-79). Hingga usia kita sekarang, masihkah kita ingin tau berbagai hal, lalu mempelajarinya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun