Ramadhan akan segera pergi meninggalkan kita. Atau kalau kita yang melalui waktu, kita yang akan meninggalkannya. Tentu, semua yang kita alami dan lakukan memiliki limit atau batas waktu. Ada permulaan dan ada pula akhirnya. Kita hanya berharap semoga Tuhan masih memberikan kesempatan untuk bertemu dengan ramadhan tahun depan.
Selama ramadhan, berbagai materi diklat telah kita dapatkan dari ramadhan ini. Kini saatnya kita melakukan muhasabah, introspeksi diri terhadap apa yang telah kita jalankan selama hampir sebulan. Dalam beberapa hadits berikut kita memang diajak melakukan introspeksi. Â Sebuah hadits mengatakan; 'koreksilah diri kalian sendiri sebelum kalian dihisab dan berhiaslah (dengan amal saleh) untuk pagelaran agung (pada hari kiamat kelak)'Â (HR. Turmudzi). Dalam hadits lain dikatakan; 'hamba tidak dikatakan bertakwa hingga dia mengoreksi dirinya sebagaimana dia mengoreksi temannya' (HR. Turmudzi).
Pertanyaan mendasarnya, apa saja yang sudah kita peroleh selama menjalani puasa ramadhan. Adakah tampak dan kita rasakan rona perubahan pada diri kita? Adakah ramadhan memberikan pengaruh terhadap cara berpikir, cara pandang, dan gaya hidup kita? Dan apakah kita lebih tersemangati untuk melakukan kebaikan?
Serangkaian pertanyaan ini penting untuk diajukan agar kita mengetahui apakah ramadhan kali ini mampu membangun kpribadian yang lebih baik, atau tidak berpengaruh sama sekali. Jika ramadhan mampu mengubah kondisi batin kita menjadi lebih baik, lebih merasa nyaman, dan serasa nyaman dekat dengan Tuhan, itu berarti puasa yang kita jalani serius sehingga berdampak positif bagi jiwa. Sebaliknya, jika puasa tidak berpengaruh sama sekali terhadap perilaku kita, berarti tidak ada keseriusan dalam menjalaninya.
Jika dibuat garis bentang lurus dan di sana ada tiga titik di mana titik pertama adalah pusat iblis, titik kedua pusat manusia, dan titik yang ketiga adalah pusat malaikat, kita mengarah ke titik mana selama ramadhan? Kalau ke kiri itu berarti kita masih memperturutkan hawa nafsu. Jika ke kanan, berarti kita mengikuti proses ramadhan dengan maksimal.
Persentase kemanusiaan inilah yang perlu senantiasa kita takar. Apakah di atas lima puluh atau di bawah lima puluh. Ini merupakan sebuah keunikan manusia. Secara fisik dia tidak dapat kembali muda walaupun orang menganggapnya awet muda. Perempuan berumur yang suka merias bagaimana pun polesannya, ketika dia tidak merias wajahnya akan tetap tampak tua. Dan yang pasti, usianya akan terus berjalan.
Secara batin manusia juga sebenarnya manusia juga merias wajah batinnya. Hanya saja hati-hati, riasan batin itu adalah tabiat yang sering bertengger di hati dan muncul dalam keseharian kita. Kalau yang sering muncul sifat kebaikan, batin kita akan berwujud cahaya malaikat, indah, dan nyaman dipandang. Tapi kalau kita rias batin dengan sifat buruk, batin kita bisa berbentuk hewan, binatang buas, iblis, dan wujud menyeramkan lainnya.
Dalam kenyataan, ternyata wujud batin itu memang bisa dilihat. Kita sering dengar ungkapan; 'manusia berhati malaikat' atau 'iblis berwujud manusia'. Terkadang sambil marah seseorang secara spontan mengatakan; 'kamu benar-benar Iblis' atau 'kamu tidak ubah seperti an*ing'. Ungkapan itu semua menggambarkan wujud batin seseorang.
Ada sebuah teori syakk (keraguan) yang dikonstruksi oleh Iman al-Ghazali, sebagian orang menilai teori ini menjadi pemicu lahirnya filsafat skeptis di dunia barat. Dalam teori syakk ini beliau menjelaskan, bentuk ruh manusia tergantung apa yang disembahnya di dunia. Ruh manusia tergantung pada kebiasaan, sikap dan perilakunya selama hidup di dunia. Orang shalat sekali pun belum tentu dikatakan mengabdi selama ruhnya secara transendental tidak sepenuhnya tunduk.
Banyak orang yang secara fisik shalat, tapi ruhnya masih membangkang. Shalatnya simbul dan pencitraan semata, tidak murni sebuah pengabdian secara totalitas. Maka saat lahir manusia semua berwujud sama, tapi saat kembali, mereka dalam bentuk wujud yang berbeda, tergantung amalannya.
Ada menariknya juga ketika kita menyimak teori Darwin yang mengatakan bahwa manusia adalah hasil evolusi dari hewan yang bernama monyet. Dalam kesempatan ini kita tidak mempermasalahkan teorinya. Justru yang menarik melihat sifat monyet itu ternyata memang melekat pada diri manusia.
Salah satunya sifat rakus. Sudah dapat satu, ingin dua, tiga, dan seterunya. Itu tidak ubah seperti monyet. Sudah dapat pisang di tangannya, dia rebut pula milik temannya, dan dia genggam dengan kakinya. Padahal di mulutnya juga masih ada pisang. Satu lagi sifat monyet yang melekat pada diri manusia, monyet suka menjulurkan lidahnya mengejek orang yang lewat. Manusia juga sering mengejek dan merendahkan sesamanya.
Secara fisik kita tidak akan berevolusi ke bentuk hewan yang lain, termasuk monyet. Tapi secara perilaku ternyata kita bisa saja berevolusi menjadi hewan. Manusia bisa buas, rakus, menindas, egois, menekan yang lemah, ingin berkuasa, tidak pernah merasa cukup, dan seterusnya. Ini tidak dapat dipungkiri, karena Tuhan juga menganugerahi potensi kehewanan dalam diri kita.
Sebenarnya bukan potensinya itu yang menjadi masalah, melainkan penempatan dan daya guna potensi itu yang penting. Hasrat dan ambisi, jika distir oleh kebaikan akan melahirkan ambisi ingin menuntut ilmu, ingin mendirikan lembaga pendidikan, ingin membangun jalan untuk memudahkan masyarakat. Itu positif. Tapi kalau ambisi distir nafsu, arahnya pasti pada kerusakan dan kehancuran.
Di setiap ramadhan kita dituntut untuk menumpas tabiat buruk itu. Menghilangkannya tentu tidak mungkin karena itu bagian dari kemanusiaan kita, tapi melumpuhkan dan mengendalikannya, itu yang penting. Makanya dikatakan shaum, yakni menahan dan melumpuhkan tabiat-tabiat buruk dalam diri seseorang. Kalau tidak dilumpuhkan dia akan menjajah batin seseorang dan membuatnya bersikap dan berperilaku seperti hewan, binatang, maupun Iblis.
Satu hal yang kita khawatir, ramadhan yang dijalani sekedar menggugurkan kewajiban saja. Apa yang telah kita peroleh selama ramadhan dengan melakukan berbagai ibadah dan amalan lainnya? Terlebih ketika di penghujung ramadhan, mungkin kita lebih terobsesi dengan renovasi rumah, baju baru, perabotan baru untuk menyambut lebaran.
Sekedar mengingatkan kembali, sesungguhnya semua kita lebaran, tapi tidak semua orang yang lebaran itu idul fitri. Orang-orang yang idul fitri adalah mereka yang serius melakukan mudik ruhaniyah menuju keampunan dan keridhaan Allah. Dikatakan idul fitri (kembali pada fitrah), yakni manusia kembali pada wujud ruhani sesungguhnya; patuh kepada perintah agama, dan gemar melakukan kebaikan. Untuk itu, mari sejenak merenung tentang arti ramadhan ini bagi kita sesuai dengan yang telah dijalani selama hampir sebulan ini. Wallahu a'lam bi shawab!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H