Salah satunya sifat rakus. Sudah dapat satu, ingin dua, tiga, dan seterunya. Itu tidak ubah seperti monyet. Sudah dapat pisang di tangannya, dia rebut pula milik temannya, dan dia genggam dengan kakinya. Padahal di mulutnya juga masih ada pisang. Satu lagi sifat monyet yang melekat pada diri manusia, monyet suka menjulurkan lidahnya mengejek orang yang lewat. Manusia juga sering mengejek dan merendahkan sesamanya.
Secara fisik kita tidak akan berevolusi ke bentuk hewan yang lain, termasuk monyet. Tapi secara perilaku ternyata kita bisa saja berevolusi menjadi hewan. Manusia bisa buas, rakus, menindas, egois, menekan yang lemah, ingin berkuasa, tidak pernah merasa cukup, dan seterusnya. Ini tidak dapat dipungkiri, karena Tuhan juga menganugerahi potensi kehewanan dalam diri kita.
Sebenarnya bukan potensinya itu yang menjadi masalah, melainkan penempatan dan daya guna potensi itu yang penting. Hasrat dan ambisi, jika distir oleh kebaikan akan melahirkan ambisi ingin menuntut ilmu, ingin mendirikan lembaga pendidikan, ingin membangun jalan untuk memudahkan masyarakat. Itu positif. Tapi kalau ambisi distir nafsu, arahnya pasti pada kerusakan dan kehancuran.
Di setiap ramadhan kita dituntut untuk menumpas tabiat buruk itu. Menghilangkannya tentu tidak mungkin karena itu bagian dari kemanusiaan kita, tapi melumpuhkan dan mengendalikannya, itu yang penting. Makanya dikatakan shaum, yakni menahan dan melumpuhkan tabiat-tabiat buruk dalam diri seseorang. Kalau tidak dilumpuhkan dia akan menjajah batin seseorang dan membuatnya bersikap dan berperilaku seperti hewan, binatang, maupun Iblis.
Satu hal yang kita khawatir, ramadhan yang dijalani sekedar menggugurkan kewajiban saja. Apa yang telah kita peroleh selama ramadhan dengan melakukan berbagai ibadah dan amalan lainnya? Terlebih ketika di penghujung ramadhan, mungkin kita lebih terobsesi dengan renovasi rumah, baju baru, perabotan baru untuk menyambut lebaran.
Sekedar mengingatkan kembali, sesungguhnya semua kita lebaran, tapi tidak semua orang yang lebaran itu idul fitri. Orang-orang yang idul fitri adalah mereka yang serius melakukan mudik ruhaniyah menuju keampunan dan keridhaan Allah. Dikatakan idul fitri (kembali pada fitrah), yakni manusia kembali pada wujud ruhani sesungguhnya; patuh kepada perintah agama, dan gemar melakukan kebaikan. Untuk itu, mari sejenak merenung tentang arti ramadhan ini bagi kita sesuai dengan yang telah dijalani selama hampir sebulan ini. Wallahu a'lam bi shawab!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H