Mohon tunggu...
Johansyah M
Johansyah M Mohon Tunggu... Administrasi - Penjelajah

Aku Pelupa, Maka Aku Menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Puasa, Menuju Kesempurnaan?

20 Mei 2020   14:56 Diperbarui: 20 Mei 2020   15:04 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Adalah sesuatu yang absurd kalau kita bercita-cita menjadi manusia sempurna; selalu melakukan kebaikan dan tidak pernah melakukan kesalahan. Memang ada beberapa ayat yang menunjukkan bahwa manusia itu adalah produk terbaik ciptaan-Nya. Seperti disentil dalam surah at-Tin ayat 4; 'sungguh kami telah menciptakan manusia itu dalam sebaik-baik bentuk'.

Demikian halnya dalam surah al-Isra' ayat 70 dengan tegas Allah mengatakan; 'sungguh kami telah memuliakan anakl-anak Adam. Kami angkat mereka di darat dan dilaut, kami beri mereka rejeki yang baik-baik, dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang kami ciptakan'.

Kesempurnaan yang diberikan Tuhan kepada manusia bukan berarti manusia itu hebat dalam segala hal dan mampu memenuhi segala kebutuhannya. Ahsani taqwim (sebaik-baik bentuk) yang digambarkan Tuhan adalah perspektif lahiriyah dan potensi akal yang diberikan Tuhan kepada manusia yang membedakannya dari makhluk lain ciptaan-Nya, baik malaikat, jin, hewan, dan ciptaan lain-Nya.

Bagaimana kita bisa menjadi sempurna? Nabi Saw saja pernah melakukan kekhilafan seperti yang diceritakan dalam al-Qur'an (QS. Abasa). Beliau pernah bermuka masam saat dan tidak menghiraukan pertanyaan seorang buta yang bernama Abdullah bin Umi Maktum. Itu dinilai tidak patut oleh Tuhan, lalu beliau ditegur, 'jangan begitu, barangkali ia ingin membersihkan diri atau mendapatkan pelajaran yang bermanfaat baginya'.

            Sebenarnya sah-sah saja Nabi bermuka masam. Toh mau bermuka masam, mata melotot, maupun raut muka dalam bentuk lainnya, tidak ada masalah karena dia tidak dapat melihat. Tapi inilah akhlak mulia yang diajarkan Allah kepada Nabi Saw,  bahwa perilaku baik itu bukan soal dilihat atau tidak, tapi soal etika menghargai siapa pun tanpa melihat status sosial dan kondisi fisik seseorang.

            Begitulah, jika Nabi saja pernah keliru, lalu bagaimana pula dengan manusia seperti kita? Tentu makin jauh dari kata sempurna. Manusia dengan beragam potensi yang dimilikinya selalu mempunyai peluang untuk melakukan hal-hal baik dan buruk. Hari ini dia baik, mungkin besok melakukan kesalahan. Atau sebaliknya, hari ini nakal, besok mulai sadar dan melakukan kebaikan. Kondisi ini terus secara berulang terjadi dalam kehidupan kita.

            Hati manusia ini memang dalam kondisi bolak-balik. Statistik keimanan seseorang bisa naik turun. Kalau lagi susah atau ditimpa masalah, imannya bisa merangkak naik. Tapi, kalau lagi senang, terkadang dia sedikit cuek kepada Allah walau pun kesenangan itu diperoleh dari-Nya. Memang begitu adanya, iman itu terkadang bertambah, dan terkadang berkurang sehingga membuat seseorang mungkin hari ini bisa baik, dan besoknya melakukan kekeliruan lagi.

            Kalau begitu, tidak akan ada manusia sempurna jika menggunakan standar; tidak pernah melakukan kesalahan. Tapi kalau standarnya lain, dimungkinkan ada banyak manusia sempurna. Apa itu? Manusia sempurna adalah manusia yang mau mengakui kelemahannya dan mengakui kelebihan orang lain. Kesempurnaan manusia justru bukan terletak pada eksistensi individu, tapi eksistensi kolektif. Di saat manusia saling mengakui kekurangan dan mengisinya dengan kelebihan masing-masing, itulah kesempurnaan manusia.

            Suami yang sempurna adalah suami yang mau mengakui kelebihan istri dan kekurangan dirinya. Sebaliknya, istri juga mengakui kekurangannya dan mengakui kelebihan suaminya. Keduanya saling memahami dan saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Kondisi seperti inilah yang akan mengantarkannya pada keluarga harmonis, sakinah, mawaddah wa rahmah.

            Kekurangan manusia merupakan wasilah yang diberikan oleh Allah agar manusia memiliki rasa saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya. Orang yang kaya sekali pun tidak mampu menyelesaikan pekerjaan sendiri. Ternyata dia butuh tukang masak, tukang kebun, sopir pribadi, dan lain-lainnya. Seorang presiden ternyata membutuhkan para menteri untuk meringankan pekerjaannya.

Demikian halnya dengan pejabat, ternyata dia membutuhkan orang lain untuk memangkas rambutnya sebab dia tidak dapat memangkas rambutnya sendiri. Seorang atasan ternyata sangat butuh kepada bawahan untuk mengerjakan tugas-tugas kantor di bawah kendalinya. Begitu seterusnya. Manusia itu memang saling membutuhkan.

Sikap saling ketergantungan itulah yang menjadi kesempurnaan manusia. betapa banyak hadits yang melukiskan kolektivitas sebagai kesempurnaan. Rasulullah Saw bersabda; 'orang mukmin itu dengan mukmin yang lainnya seperti sebuah bangunan, saling menguatkan antara satud dengan yang lainnya' (HR. Muslim). Selanjutnya disebutkan; 'perumpamaan antara satu mukmin dengan mukmin yang lain itu dalam sikap saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi. Seumpama satu tubuh, jika satu anggota tubuh sakit, maka anggota tubuh yang lain akan susah tidur dan merasakan demam' (HR. Muslim).

Di keseharian, kita juga dapat memetik pelajaran dari sepeda motor. Benda ini dianggap sempurna kalau semua peralatan pendukung tersedia dan berfungsi dengan baik. Kalau pun ada tempat duduk, tapi bannya bocor, kendaraan tidak bisa berjalan. Atau peralatan lain lengkap tapi tidak ada bahan bakar, sama juga kendaraan tidak akan dapat dioperasikan.

            Kalau kita ingin menjadi manusia sempurna, salah satu rumus yang dipakai adalah melupakan dua hal dan mengingat dua hal sebagaimana yang telah diamanahkan Nabi Saw: lupakan kebaikanmu kepada orang lain, dan lupakan kejelekan orang lain terhadapmu. Ingat kebaikan orang lain kepadamu, dan ingatlah kejelekanmu terhadap orang lain. Jadi kesempurnaan itu adalah sikap tulus mengakui kekurangan diri, mengakui kelebihan orang lain dan saling mengisi kekurangan. Maka dalam level manusia, tidak ada kesempurnaan individu, tapi kesempurnaan kolektif.

            Nah, ramadhan ini sebenarnya momen yang sangat tepat untuk menjadikan diri kita sebagai pribadi yang 'sempurna'. Bukankah puasa mengarahkan kita untuk menjadi orang yang senantiasa menjaga diri, tidak boleh membicarakan aib orang lain, kecuali kebaikannya. Kita shalat tarawih berjamaah ke masjid. Kita juga diperintahkan untuk membayar zakat. Di satu syawal kita juga saling maaf memaafkan.

            Semua rangkaian aktivitas itu merupakan proses pendewasan diri menuju manusia 'sempurna', yaitu manusia yang tulus, mengakui kelebihan orang lain, dan mengakui kekurangan diri. Konsep 'kesempurnaan' seperti ini tidak mustahil kita dapatkan selama kita berpegang teguh pada prinsip; 'saya membutuhkan kamu, kamu membutuhkan saya, dan kita harus bersama-sama'. Semoga ramadhan ini benar-benar mengubah cara pandang kita terhadap konsep manusia sempurna dan kita dapat mewujudkannya. Amin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun