Mohon tunggu...
Johansyah M
Johansyah M Mohon Tunggu... Administrasi - Penjelajah

Aku Pelupa, Maka Aku Menulis

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Lailatul Qadar, Memburu Pahala atau Ridho?

18 Mei 2020   17:46 Diperbarui: 18 Mei 2020   17:48 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di penghujung ramadhan, ada satu peristiwa yang dinanti-nanti dan orang berharap akan bertemu dengannya, yakni lailatul qadar. Sebuah malam sebagaimana yang dilukiskan oleh Allah Swt dalam firman-Nya: "Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar". (QS. al-Qadr: 1-5).

Tidak ada yang dapat memastikan kapan lailatul qadar itu terjadi. Merujuk pada beberapa hadits, lailatul qadar itu diprediksi pada malam-malam ganjil, yakni malam ke-19, 21, 23, 25, 27, dan ke-29. Ada juga hadits yang mengatakan bahwa lailatul qadar itu terjadi pada malam ke-24. Karena diyakini datang pada malam ganjil, sebagian orang mungkin fokus pada malam-malam tersebut saja agar memperoleh lailatul qadar. Sementara pada hitungan malam yang genap mereka kurang tekun dan serius dalam beribadah.

Di banyak masjid dan menasah, para imam membaca tsani shalat tarawih pun dengan membaca surah al-Qadr di satu rakaat dari setiap dua raka'at shalat tarawih, karena berharap akan bertemu dengan lailatul qadar.

Beberapa substansi

Ada beberapa substansi penting yang sejatinya kita pahami dari lailatul qadar ini. Pertama, persoalan lailatul qadar dan siapa yang mendapatkannya, bukanlah sekedar urusan hitungan malam ganjil di bulan ramadhan. Lailatul qadar adalah soal ketekunan dan keseriusan serta kesabaran dalam beribadah. Itu bukan saja pada malam-malam tertentu, tapi di setiap malam pada bulan ramadhan.

Ini seseuai dengan hadits Rasulullah Saw; "siapa saja yang mendirikan shalat malam pada bulan ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap ganjaran dari Allah Swt maka akan diampuni dosanya yang telah lalu". Qiyamul lail di sini adalah qiyam yang disertai dengan sikap yang istiqamah.

Dengan ungkapan lain, setiap malam kita harus dapat menjaga kuantitas dan kualitas ibadah, dari awal hingga akhir. Artinya yang dipikirkan sebenarnya bukan lagi pada malam ke berapa lailatul qadar itu datang, tapi kemampuan untuk fokus terus-menerus beribadah dan berdo'a agar mendapat rahmat dan berkah lailatul qadar serta ampunan dari Allah Swt. Lagi pula apa mungkin Allah Swt mempertemukan seorang hamba dengan lailatul qadar, sementara dia hanya beribadah secara khusus pada malam-malam yang ganjil saja, di hari lain tidak.

Kedua, sisi lain dari lailatul qadar yang saya pahami tidak lain sebenarnya cara Islam untuk memotivasi orang-orang agar tetap semangat beribadah. Apalagi menjelang akhir ramadhan semangat ibadah itu mulai menurun. Agar tetap konsisten ibadahnya, diijanjikanlah malam lailatul qadar yang pahalanya sangat luar biasa besar. Apa yang dikatakan Rasulullah Saw tentulah sebuah kepastian, bukan sekedar janji belaka. Dan sesungguhnya janji Allah itu adalah benar. Kita tidak mungkin meragukannya.

Sebuah ilustrasi sederhana. Minsalnya di sebuah perusahaan, bagi siapa yang tidak mengambil cuti panjang saat lebaran, tapi hanya mungkin tiga hari, lalu dia lembur atau kerja tambahan, akan diberikan bonus lima kali lipat dari hari biasanya. Bonus besar ini diberikan mengingat di hari itu kebanyakan fokus pada hari libur dan mungkin kebanyakan pulang kampung. 

Untuk menjaga kontinuitas produksi, perusahaan pun membuat regulasi khusus, berupa bonus besar bagi yang lembur. Begitulah kira-kira. Tentu bonus Allah tentang lailatul Qadar tidak sebanding dengan bonus perusahaan. Jauh sekali.

Sewaktu anak-anak, kita sering dijanjikan sesuatu kalau dapat rangking, atau apa sajalah yang kira-kira dapat meningkatkan kemampuan dan kualitas kita. Setelah jadi orangtua, kita juga mungkin sering menjanjikan sesuatu kepada anak-anak kalau mereka mendapat prestasi tertentu, baik di sekolah maupun di luar sekolah.

Antara pahala dan ridha

Manusia memang senang diapresiasi dan dihargai. Dengan penghargaan tersebut mereka merasa memiliki nilai di mata orang lain. Penghargaan ini akan menjadi pemicu bagi dirinya untuk melakukan hal-hal positif lainnya dengan harapan akan mendapatkan apresiasi kembali.

Di sisi lain, tanpa apresiasi dan pujian dari orang lain, sebenarnya tidak ada yang sia-sia dari hal positif apa pun yang dilakukan manusia. Usaha apa pun yang dilakukan manusia pasti akan membuahkan hasil. Ketika tidak ada hadiah, minimal sesuatu yang diusahakan tersebut menjadi pengetahuan dan pengalaman yang berharga bagi dirinya.

Pada bulan ramadhan bisa diperhatikan, betapa banyak bonus pahala yang dijanjikan bagi orang-orang yang berpuasa, salah satunya adalah bonus lailatul qadar. 

Secara umum, ibadah apa pun yang dilakukan pada bulan ramadhan, maka pahalanya dilipatgandakan; sadaqah, baca al-Qur'an, i'tiqaf, shalat malam, ada lailatul qadar, dan ibadah-ibadah lainnya. Semua serba bonus.

Lalu bagaimana ketika tidak ada pahala yang dilipatgandakan, apakah orang yang berpuasa akan serius menjalankan ibadahnya di bulan ramadhan? Sebab kalau dikaitkan dengan beberapa ayat, salah satunya pada penguhujung surah al-An'am, dan bacaan ini tiap shalat kita bacakan; inna shalati wanusuki, wamahyaya wamamati lillahi rabbil alamin. Bahwa apa pun yang kita kerjakan, itu semata dilakukan karena Allah Swt dan untuk mencapai ridha-Nya.

Namun demikian, itulah kemurahan Allah Swt. Memang yang diharapkan-Nya adalah ketulusan dalam beribadah tanpa berharap apapun. Tapi, Allah Swt sebagai Pencipta makhluk-Nya mengetahui bagaimana cara menggenjot semangat ibadah hamba-Nya.

Dia menyediakan berbagai bonus hadiah yang berlipat ganda agar kita bersemangat dalam menjalankan perintah-Nya. Dari sini kemudian diharapkan kita terus mengasah kesadaran diri hingga di suatu saat akan menjalankan perintah-Nya dengan semata-mata mengharap ridha, bukan pahala semata.

Apresiasi tertinggi dari Allah Swt adalah ridha, bukan pahala. Bukan berarti mengharap pahala itu salah. Tapi kalau kita ingin mendapatkan kasih sayang Allah Swt yang tidak terbatas, lakukanlah ibadah untuk meraih ridha-Nya. Sama halnya seperti Rasulullah Saw yang senantiasa shalat malam. Untuk apa beliau melakukannya padahal dosanya sudah diampuni? Karena beliau ingin menjadi hamba yang bersyukur dan ingin meraih ridha Allah Swt. Akhirnya, lailatul Qadar dapat kita sikapi dengan cerdas, yakni dengan tetap menjaga konsistensi ibadah hingga penghujung ramadhan. Berharap pahala oke saja, namun berharap ridha itu yang paling utama. Wallahu a'lam bishawab!


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun