Antara pahala dan ridha
Manusia memang senang diapresiasi dan dihargai. Dengan penghargaan tersebut mereka merasa memiliki nilai di mata orang lain. Penghargaan ini akan menjadi pemicu bagi dirinya untuk melakukan hal-hal positif lainnya dengan harapan akan mendapatkan apresiasi kembali.
Di sisi lain, tanpa apresiasi dan pujian dari orang lain, sebenarnya tidak ada yang sia-sia dari hal positif apa pun yang dilakukan manusia. Usaha apa pun yang dilakukan manusia pasti akan membuahkan hasil. Ketika tidak ada hadiah, minimal sesuatu yang diusahakan tersebut menjadi pengetahuan dan pengalaman yang berharga bagi dirinya.
Pada bulan ramadhan bisa diperhatikan, betapa banyak bonus pahala yang dijanjikan bagi orang-orang yang berpuasa, salah satunya adalah bonus lailatul qadar.Â
Secara umum, ibadah apa pun yang dilakukan pada bulan ramadhan, maka pahalanya dilipatgandakan; sadaqah, baca al-Qur'an, i'tiqaf, shalat malam, ada lailatul qadar, dan ibadah-ibadah lainnya. Semua serba bonus.
Lalu bagaimana ketika tidak ada pahala yang dilipatgandakan, apakah orang yang berpuasa akan serius menjalankan ibadahnya di bulan ramadhan? Sebab kalau dikaitkan dengan beberapa ayat, salah satunya pada penguhujung surah al-An'am, dan bacaan ini tiap shalat kita bacakan; inna shalati wanusuki, wamahyaya wamamati lillahi rabbil alamin. Bahwa apa pun yang kita kerjakan, itu semata dilakukan karena Allah Swt dan untuk mencapai ridha-Nya.
Namun demikian, itulah kemurahan Allah Swt. Memang yang diharapkan-Nya adalah ketulusan dalam beribadah tanpa berharap apapun. Tapi, Allah Swt sebagai Pencipta makhluk-Nya mengetahui bagaimana cara menggenjot semangat ibadah hamba-Nya.
Dia menyediakan berbagai bonus hadiah yang berlipat ganda agar kita bersemangat dalam menjalankan perintah-Nya. Dari sini kemudian diharapkan kita terus mengasah kesadaran diri hingga di suatu saat akan menjalankan perintah-Nya dengan semata-mata mengharap ridha, bukan pahala semata.
Apresiasi tertinggi dari Allah Swt adalah ridha, bukan pahala. Bukan berarti mengharap pahala itu salah. Tapi kalau kita ingin mendapatkan kasih sayang Allah Swt yang tidak terbatas, lakukanlah ibadah untuk meraih ridha-Nya. Sama halnya seperti Rasulullah Saw yang senantiasa shalat malam. Untuk apa beliau melakukannya padahal dosanya sudah diampuni? Karena beliau ingin menjadi hamba yang bersyukur dan ingin meraih ridha Allah Swt. Akhirnya, lailatul Qadar dapat kita sikapi dengan cerdas, yakni dengan tetap menjaga konsistensi ibadah hingga penghujung ramadhan. Berharap pahala oke saja, namun berharap ridha itu yang paling utama. Wallahu a'lam bishawab!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H