Mohon tunggu...
Kavya
Kavya Mohon Tunggu... Penulis - Menulis

Suka sepakbola, puisi dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Hukuman Match Fixing Lebih Ringan Ketimbang Lempar Flare

12 Agustus 2024   23:06 Diperbarui: 12 Agustus 2024   23:10 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fakta dan pertimbangan keputusan Komdis PSSI (Foto : PSSI)

 Pengaturan hasil pertandingan alias match fixing jadi barang haram di dunia sepakbola. Tentu juga di cabang olahraga lainnya.

Perputaran uang dari pengaturan skor ini tidaklah sedikit. Para pelakunya tak peduli akan merugikan klub mana, asal ada duit mengalir untuk menyuap perangkat pertandingan atau wasit. Tidak peduli juga bagaimana para suporter mengorbankan waktu dan uang untuk mendukung tim kesayangannya, tanpa tahu sudah dicurangi untuk kalah.

Namun, nafsu untuk terus meraih tiga poin dan bertahan atau syukur-syukur bisa promosi, seperti membutakan jargon fair play di bendera yang dibawa anak-anak sebelum laga dimulai.

Kini klub-klub, terutama yang berkiprah di Liga 1 bisa dengan tenang melakukannya. Dendanya kecil, bahkan lebih kecil dari penyalaan flare di lapangan yang menyebabkan pertandingan terhenti.

Nah, daripada suporter mengamuk karena klub kesayangannya kalah, lebih baik manajemen klub melakukan match fixing. Belum lagi ada yang merusak fasilitas stadion, klub yang pasti mengganti kerugian. Dari segi biaya yang dikeluarkan jelas lebih ringan daripada flare.

Analog di atas tentu bukan saran yang baik bagi klub Liga 1. Itu sesat.

Apalagi Ketua Umum PSSI, Erick Thohir sudah mengeluarkan ancaman untuk tidak memberi ampun bagi para pelaku match fixing itu.  

"Saya pernah katakan, jangan main-main. PSSI sudah berkomitmen dengan Polri, kita selidiki, ada bukti yang kuat, maka langsung sikat, tidak pandang bulu," ujar Erick pada rilisnya, 21 Desember 2023.  

Erick yang juga Menteri BUMN kembali menegaskan dan memastikan akan memberikan sanksi tegas terhadap pelaku match fixing dalam kompetisi liga sepak bola di Indonesia.

"Ada satu poin besar, saya tidak ada toleransi mengenai match fixing," ujar Erick saat membuka acara Workshop Aturan Baru Liga 1 Musim 2024-2025 seperti dalam tayangan video yang diunggah akun instagram pribadi: @erickthohir yang dipantau di Jakarta, Minggu, 14 Juli 2024.

Dalam acara sosialisasi aturan yang disampaikan perwakilan tim Komite Perwasitan PSSI Yoshimi Ogawa, Erick kembali menegaskan komitmen PSSI untuk melakukan transformasi liga sepak bola di tanah air.

Bicara Lain

Meski begitu kenyataan berbicara lain. Klub yang oficialnya, mulai dari direksi perusahaan hingga manajemen tim, yang sudah terbukti melakukan suap untuk pengaturan hasil pertandingan, hanya didenda murah meriah : pengurangan tiga poin dan denda uang sebesar Rp 150 Juta.

Klub itu, PSS Sleman yang mendapat dua sanksi tersebut dari Komite Disiplin (Komdis) PSSI, karena terbukti melakukan match fixing pada musim kompetisi Liga 2 2018. Match fixing itu terjadi dalam laga antara PSS Sleman menghadapi Madura FC pada 6 November 2018

Saat itu klub berjulukan Super Elang Jawa itu berhasil menjadi juara, mendapat promosi ke Liga 1 2019 dan tetap bertahan hingga saat ini.

Sanksi itu dijatuhkan oleh Komdis lewat keputusannya tanggal 6 Agustus 2024. Di awal keputuannya, Komdis menyitir putusan PN Sleman tangal 25 April 2024 tentang tindak pidana suap kepada perangkat pertandingan yang bertugas pada laga antara PSS Sleman

Dalam keputusan yang ditandatangani oleh Ketua Komdis, Eko Hendro Prasetyo juga disebutkan bahwa perbuatan suap ke perangkat pertandingan itu bukan atas perintah Soekeno, yang disebut Komdis, saat itu menjadi Direktur Utama PSS Sleman.

Selain itu Komdis PSSI juga menyatakan bahwa penyuapan itu dilakukan oleh Vigit Waluyo, disebut sebagai orang yang di luar struktur klub PSS Sleman, yang memerintahkan Antonius Rumadi (Direktur Operasional PT PSS), Dewanto Rahadmoyo Nugroho (Asisten Direktur Utama klub PSS) dan Kartiko Mustikaningtyas (Laison Officer klub).

PSS Sleman, yang oleh Satgas Antimafia Bola hanya disebut klub, berdasarkan hasil penyidikan mengaku sudah mengeluarkan total hingga Rp 1 miliar untuk melobi para wasit dalam beberapa pertandingan.

"Dari hasil penyidikan, ada bukti cukup sehingga ditetapkan enam tersangka. Pihak klub mengaku mengeluarkan total uang hingga Rp1 miliar untuk melobi para wasit dalam beberapa pertandingan," sambungnya.

https://jogja.tribunnews.com/2023/10/13/kasus-pengaturan-skor-habiskan-rp1-miliar-untuk-wasit-pss-sleman-terlibat


Sangat Ringan

Keputusan itu segera menjadi sorotan publik. Sangat ringannya denda yang dijatuhkan Komdis PSSI terhadap PSS Sleman membuat orang terperangah.

Fakta dan pertimbangan keputusan Komdis PSSI (Foto : PSSI)
Fakta dan pertimbangan keputusan Komdis PSSI (Foto : PSSI)

Pengamat sepakbola, yang juga founder Freedom Istitute, Budi Setiawan sejak awal sudah pesimis atas sikap lembek Komdis PSSI. Ia bahkan pesimis Komdis akan memberikan hukuman sepantasnya bagi pelaku match fixing.

"Sebenarnya saya sudah agak malas berbicara tentang status hukum PSS Sleman.  Komdis PSSI terkesan melindungi pihak tertentu dan tidak menunjukkan keseriusan terhadap kasus ini," kata Budi Setiawan.

Ia juga menilai Komdis PSSI tidak akan menghukum PSS Sleman dengan segala argumentasi. Kalau pun ada hukuman, hanya sebatas potong poin dan itu pun tidak signifikan. Tidak sampai 12 poin.

Kini, setelah keluarnya sanksi Komdis PSSI terhadap PSS Sleman, Budi Setiawan menilai hal itu bukan hanya berdampak buruk terhadap janji kampanye Ketua Umum PSSI Erick Thohir yang menginginkan sepakbola bersih dan penegakan disiplin, tetapi membunuh penegakan hukum sepakbola.

"Putusan Komdis PSSI ini sama saja mempermalukan Erick Thohir. Saya pikir agar komitmen Erick Thohir ini clear dan tidak dianggap lips service, ya jangan ragu mereformasi Komdis PSSI yang sudah jelas-jelas mempermainkan aturan," ujarnya.

Sedangkan Koordinator Save Our Soccer (SOS),Akmal Marhali menilai itu sebuah keputusan yang aneh. Apalagi secara hukum kasus ini sudah de facto di lapangan. Sudah ada penangkapan terhadap lebih dari tujuh orang.

Menurut Akmal yang juga anggota Satgas Antimafia Sepakbola Independen,putusan Komdis itu menyalahi regulasi dan kode disiplin PSSI. Di Pasal 64 ayat 5 Kode Disiplin disebutkan, hukuman terhadap tim yang melakukan pengaturan skor secara sistematis adalah degradasi.


Lebih Rendah

Keheranan publik makin bertambah saat keputusan Komdis PSSI itu lebih dulu muncul di sosial media, bukannya di laman resmi PSSI. Seperti pada akun Instagram @pengamatsepakbola dan akun Twitter mantan CEO PT Putra Sleman Sembada (PT PSS), Viola Kurniawati.

Sorotan tajam terhadap Komdis PSSI tidaklah mengherankan. Hukuman sebesar Rp 150 juta bahkan lebih rendah dari denda yang diterima oleh klub karena suporternya melempar flare.

Sebut saja Bali United yang terkena denda sebesar Rp250 juta akibat suporter menyalakan suar atau flare dan petasan pada laga putaran pertama perebutan juara ketiga melawan Borneo FC di Stadion Kapten I Wayan Dipta, Kabupaten Gianyar, Bali, 25 Mei 2024.

Denda lainnya akibat flare dikenakan kepada Persebaya Surabaya saat menjamu Persis Solo di Stadion Gelora Bung Tomo, 13 Desember 2023. Akibatnya, Persebaya didenda Rp 220 juta.

Kini, sorotan akan diarahkan kepada Ketua Umum PSSI, Erick Thohir yang begitu menggebu-gebu berbicara soal klub yang melakukan match fixing. Mulai dari istilah "sikat sampai tuntas", "hukuman seumur hidup", "jangan main-main" hingga ancaman degradasi bagi klub.

Begitu juga dengan hukuman untuk wasit dan pemain yang akan dikenakan hukuman seumur hidup tidak bisa beraktivitas di sepakbola.

Sekali lagi, kenyataan di depan mata berbeda. Rumadi dan Dewanto misalnya, meski sudah divonis pengadilan dan menjalani hukuman penjara, tapi oleh Komdis belum mendapat sanksi.

Entah transformasi apa yang diinginkan PSSI saat organnya, Komdis sendiri menciderai keadilan dengan hukuman yang begitu ringan terhadap klub yang terbukti melakukan match fixing.

Maka, tak mengherankan jika nantinya klub akan memilih melakukan pengaturan skor yang lebih murah dibanding denda pelemparan flare.

Selain itu, publik juga bisa menilai pernyataan keras Erick Thohir hanyalah lips service semata untuk pencitraan politis. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun