Mohon tunggu...
Kavya
Kavya Mohon Tunggu... Penulis - Menulis

Suka sepakbola, puisi dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Seni Artikel Utama

Sastra Reboan bagi Siapa Saja

3 Juni 2024   17:09 Diperbarui: 4 Juni 2024   20:30 503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu gelaran Sastra Reboan yang terasa beda berlangsung di akhir Januari 2009. Saat itu acara setiap Rabu di akhir bulan mengambil tema "Aku dan Bahasa".

Selain beberapa penyair yang mengisi acara, terdapat tujuh mahasiswa asing yang turut membaca puisi. Semua puisi itu karya penyair Indonesia yang sudah dikenal luas, seperti Sapardi Djoko Darmono, Abdul Hadi WM dan Sutardji Calzoum Bachri.

Mereka merupakan mahasiswa program BIPA (Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing) STBA LIA Jakarta. LIA juga menampilkan Teater Pintu 310 pimpinan Iwan Sulistiawan, yang popular dengan nama Bung Kelinci.

Teater yang berdiri sejak tahun 2002 tampil mengapresiasikan puisi "Sepisaupi" karya Sutardji Calzoum Bachri secara teaterikal.

Tak hanya mahasiswa dari berbagai negara itu saja yang pernah tampil di Sastra Reboan". Setahun kemudian, akhir Juli 2010 musisi asal Jepang Chiku Toshiaku juga menunjukkan kebolehannya di panggung usai mengadakan pertunjukan di beberapa kota di Indonesia.

Reboan, sebutan akrab Sastra Reboan, merupakan panggung sastra yang bermula dari ide Johannes Sugianto (Yo) yang kemudian digelar pertama kali pada 30 April 2008 di Wapress, Bulungan, Jakarta Selatan. Gelaran yang tak lepas dari dukungan dan perhatian dari manajemen Wapress yang terdiri dari para seniman dan sastrawan.

Waktu lalu menjadi penentu. Beberapa penggiat sibuk dengan kewajiban utamanya di keluarga dan pekerjaan. Lalu ada penggiat lain yang dengan sukarela dan antusias membantu perjalanan Reboan.

Satu nama yang menjadi penasihat, mengawal perjalanan Reboan hingga kini adalah Aloysius Slamet Widodo. Pengusaha properti yang gila puisi menjadi penjaga api semangat Reboan.


Ngobrol

Mereka yang bahkan tidak pernah menulis puisi bisa datang, berbaur dengan sesama peminat atau pemula, atau membaca puisi di panggung Reboan. Kalau tidak, duduk manis menikmati puisi dengan secangkir kopi atau wedang jahe.

Diskusi yang menampilkan Ken Zuraida, Slamet Widodo dan Yo Sugianto dipandu Kurnia Effendi (Foto : Dok.Yo)
Diskusi yang menampilkan Ken Zuraida, Slamet Widodo dan Yo Sugianto dipandu Kurnia Effendi (Foto : Dok.Yo)

Beberapa penyair ternama memang pernah datang. Sapardi Djoko Damono sudah tiga kali datang, menjawab beberapa pertanyaan tentang puisi. Rendra berpidato, Sutardji menyaksikan sambil minum kopi. Sastrawan lainnya sebut saja Gerson Poyk, Joko Pinurbo, Saut Situmorang dan Remy Silado.

Ditambah lagi beberapa musisi pernah mengisi Reboan, seperti Glen Fredly, Franky Sahilatua dan Tri Utami. Grup T'Koes yang merupakan salah satu pelestari lagu-lagu Koes Plus juga turut merasakan dibesarkan Reboan. Lalu artis Cornelia Agatha, Wanda Hamidah, Happy Salma atau Paquita Wijaya pernah membaca puisi di panggung yang hanya beberapa meter dari kursi pengunjung.

Selain itu, banyak yang pertama kalinya tampil membaca puisi di panggung. Gemetar karena grogi tampil di depan para penyair atau cerpenis. Namun, itu menjadi pengalaman yang luar biasa bagi mereka yang memang awam bersastra seperti ibu rumah tangga, siswa SMA atau pekerja kantoran.

Meski begitu, sebuah catatan yang rasanya usang karena berkali-kali ditulis dan dirasakan oleh mereka yang ingin menikmati dengan nyaman, adalah apresiasi dari pengunjung yang sesama penulis.

Dari kursi-kursi yang selalu penuh di Warung Apresiasi (Wapress) Bulungan, Jakarta Selatan saat Reboan digelar, suara percakapan terasa dominan. Obrolan yang seperti bersaing dengan suara pembaca puisi, naras umber saat berdiskusi atau saat cerpen dibacakan.

Tak heran jika yang baru pertama kalinya datang akan mengernyitkan dahi. Merasa heran kenapa pengunjung banyak yang lebih suka ngobrol daripada mengapresiasi mereka yang mencoba tampil baik di panggung.

Hal itu juga yang dialami oleh pianis terkenal, Ananda Sukarlan. Seperti ditulisnya di tinemu.com : "O ya dan puisinya Sofyan tuh tepat banget. Sastrawan pada baca puisi sementara yg lain pada ngomong sendiri hahaha....kalo di konser musik klasik, bisa dihujat seluruh gedung kalo brisik."

Sentilan satu-satunya orang Indonesia yang dimuat dalam buku "The 2000 Outstanding Musicians of the 20th Century itu ditulisnya usai menyaksikan Reboan, 29 Mei 2024 lalu. Acara yang juga berisi syukuran atas 16 tahun usia komunitas tersebut.

Sah-sah saja apa yang disampaikan Ananda. Suasana itu memang bertolak belakang dengan pertunjukan seni lainnya seperti musik klasik yang perlu keheningan. Jangankan berbicara keras di tengah suara pembaca puisi atau dentingan gitar seperti di Wapress Bulungan itu. Berbisik pun bisa mengundang hujatan, setidaknya dipelototi satu gedung.

Bagaimanapun, sekali lagi, kritik Ananda menjadi cubitan pedas bagi para penulis yang lebih sibuk berbicara dengan temannya, ketimbang mendengarkan pembacaan puisi. Memberi ruang bagi pembaca puisi, siapapun dia, adalah apresiasi tersendiri. Apalagi sebagai penulis yang sudah dikenal, akan menjadi contoh bagi mereka yang baru belajar mengenal sastra.

Namun, pada satu sisi suasana seperti itu sering dirindukan. Riuh bisik atau obrolan keras memang mengganggu, tapi juga menjadi tantangan tersendiri bagi penampil untuk mengatasinya.

Himbauan sudah berulang kali disampaikan MC, dengan bercanda tapi serius. Lalu semuanya kembali pada diri sendiri, apakah nikmat saat ia tampil tapi suaranya tenggelam oleh keriuhan obrolan?.

Pada sisi lain, suasana seperti itu bagi sebagian pengunjung malah membuat kangen. Suasana yang berbeda dengan acara sastra lainnya yang digelar di perpustakaan misalnya. Diam kadang tidak menuntaskan rindu.


Nafas Panjang

Reboan sudah eksis sejak April 2008. Usia yang panjang bagi sebuah komunitas. Berdiri tegak di tengah keterengahan para penggiatnya yang berpacu dengan kesibukan sehari-hari, serta usia yang tak bisa dilambatkan.

Para penggiat Sastra Reboan dalam syukuran 16 tahun komunitas itu. (Foto : Dok.Sastra Reboan)
Para penggiat Sastra Reboan dalam syukuran 16 tahun komunitas itu. (Foto : Dok.Sastra Reboan)

Dalam perjalanannya, Reboan juga menjadi inspirasi bagi penggiat sastra lainnya untuk membentuk komunitas yang sama. Banyak yang akhirnya tak terdengar lagi kabarnya.

Seperti disampaikan oleh Ketua Komisi Simpul Seni Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Imam Ma'arif saat berbicara dalam ulangtahun Reboan ke-16, tidak banyak komunitas sastra seperti Reboan.

"Ini bisa menjadi inspirasi bagi komunitas-komunitas lain dan bisa juga dikaji mengapa Sastra Reboan sampai hari ini bisa bertahan dengan orang yang sama," ujar Imam yang juga seorang penyair.

Dibutuhkan nafas panjang untuk mampu bertahan, sembari mempersiapkan mereka yang peduli dan masih memiliki stamina kuat untuk mempertahankan eksistensi Reboan.

Tak pelak itu merupakan pekerjaan rumah yang harus segera dijalankan. Merangkul, mengajak bicara dan melibatkan wajah-wajah baru sudah menjadi keharusan.

Banyak yang ingin Reboan tetap bertahan. Tak hanya merayakan ulangtahunnya yang ke-17 tahun depan, tapi juga tahun-tahun berikutnya.

Saya ingat ucapan Ken Zuraida alm.beberapa tahun sebelum isteri WS Rendra itu meninggal dunia. Ia ke rumah saya, menyampaikan pesan Rendra bahwa Reboan harus dijaga.

"Itu panggung yang cair. Jarak panggung dan penonton dekat. Interaksi berjalan bagus," ujar Rendra seperti disampaikan Ken Zuraida.

Tugas berat mempertahankan keberadaan Reboan, dengan polanya yang cair dan jauh dari formalitas kini berada di pundak para penggiatnya, didampingi oleh penyair mbeling, Slamet Widodo sebagai Pembina yang konsisten mengawal komunitas itu.

Tidak mudah memang, tapi berbagai rintangan, gejolak dan sandungan sudah mampu dilewati selama 16 tahun. Yakin itu bisa dilakoni. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun