Lokasinya juga berdekatan, di pinggir lapangan di dekat para pemain kedua tim biasa berdiri sebelum memasuki lapangan. Sebanyak 4-5 suporter, tanpa mengenakan penutup wajah, masuk dari lorong pemain dan langsung melakukan pengeroyokan.
Kebetulan saat itu juga berlangsung konferensi pers. Sedangkan para pemain masih berada di ruang ganti.
Kasus itu berakhir dengan damai di Polda DIY.
Dua peristiwa itu seharusnya sudah menjadi lecutan keras bagi manajemen PSS Sleman untuk berbenah diri. Berani mengambil tindakan tegas demi perasaan nyaman dan aman bagi tim tamu, wartawan dan suporter.
Jika PSS Sleman masih melakukan pembiaran dengan ulah suporternya yang melenggang bebas memasuki area steril, karena Panpel kenal dengan beberapa oknum suporter, jelas memang tak mau belajar dari kasus serupa empat tahun lalu.
LIB pun terkesan tidak melakukan tindakan tegas meski PSS Sleman membiarkan suporter menginjakkan kakinya di area-area steril.
Tidaklah mengherankan jika pembiaran demi pembiaran itu menimbulkan peristiwa seperti yang menimpa MO Madura United. Mungkin karena korbannya tim tamu, maka PSS Sleman seperti kebakaran jenggot sampai harus membentuk TGPF segala?.
PSS Sleman tentu tak mau tersandung kedua kalinya, yang pasti akan mencoreng wajahnya sendiri sebagai tuan rumah, yang tidak bisa memberikan keamanan dan kenyamanan bagi tamu-tamunya. Selain tentunya kandangnya, Stadion Maguwoharjo, yang sudah tidak angker lagi bagi lawan. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H