Mohon tunggu...
Kavya
Kavya Mohon Tunggu... Penulis - Menulis

Suka sepakbola, puisi dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Adaptasi Menjadi Pondasi Terbentuknya Konsep Ngaben yang Sederhana Di Banjar Jakarta Utara

13 Februari 2023   08:22 Diperbarui: 7 Juli 2024   21:15 856
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sulit membayangkan upacara Ngaben seperti di Bali bisa terlaksana di Jakarta. Bukan soal finansial untuk membiayai semua itu, tapi lebih dari sekedar biaya untuk mengadakan Ngaben yang merupakan upacara sakral bagi umat Hindu.

Di Bali, dalam prosesi Ngaben ada patung raksasa hewan mitos yang diarak, dan nantinya dibakar dalam upacara kremasi. Patung itu merupakan bade, menara kayu setinggi 6 meter, bahkan ada yang lebih dari 20 meter, yang membawa mayat dan peti mati.

Namun, bukan berarti Ngaben tidak bisa berlangsung di Jakarta. Bagi umat Hindu, upacara Ngaben dilaksanakan dimanapun mereka berada, dengan bentuk penghormatan kepada leluhur, dengan bentuk komitmen individu dan kelompok terhadap keluarga, adat dan agama.

Semua itu berdasarkan ajaran dari agama Hindu, bahwa kematian bukanlah akhir dari segalanya, melainkan melalui proses yang panjang awal perjalanan jiwa menuju Parama atman (Roh tersebut diharapkan menyatu dg Ida Sang Hyang Widhi Wasa /Tuhan Yang Maha Esa).

"Penyesuaian prosesi upacara Ngaben di luar Bali itu terjadi karena berbagai pertimbangan. Misalnya, kondisi ekonomi dan lingkungan sosial budaya, apalagi jika di wilayah itu terdapat kebijakan yang mengatur tentang penanganan jenasah, seperti yang berlaku di DKI Jakarta,"jelas Dr.Agung Patera setelah mempertahankan disertasinya di Sidang Terbuka Universitas Sahid Jakarta, 9 Februari 2023 lalu.

Agung Patera saat promosi doktor dan lulus dengan sangat memuaskan di Universitas Sahid Jakarta (Foto : dok.A.Patera)
Agung Patera saat promosi doktor dan lulus dengan sangat memuaskan di Universitas Sahid Jakarta (Foto : dok.A.Patera)

Mahasiswa Program Ilmu Komunikasi Sekolah Pascasarjana Universitas Sahid Jakarta itu membuat disertasi dengan judul  "Studi etnografi komunikasi tentang ritual Ngaben Masyarakat Hindu Bali Jakarta Utara". Ia dinyatakan lulus dengan sangat memuaskan.

Disertasi itu juga akan diterbitkan di IJESSS, International Journal of Environmental dengan judul "Ethnographic Communication of The Ngaben Ritual of Bali Hindus in Jakarta". IJESSS akan menerbitkannya pada 31 Maret 2023.

Dalam perspektif agama, kematian merupakan proses menuju kehidupan abadi yang lebih baik atau lebih buruk dari kehidupan yang dijalani di dunia. Setiap agama juga memandang kematian sebagai sesuatu yang sakral, sehingga dibutuhkan ritual tertentu untuk menghormatinya yang diturunkan dari generasi ke generasi.

Umat Hindu dalam upacara penghormatan kepada arwah yang telah meninggal dilakukan melalui upacara Ngaben, atau penyucian arwah dengan upacara pembakaran jenazah.

Umat Hindu Bali percaya kremasi melepaskan jiwa orang mati sehingga mereka dapat memulai siklus kehidupan berikutnya, memungkinkan mereka untuk memasuki dunia yang lebih tinggi untuk bereinkarnasi menjadi makhluk yang lebih baik

Ngaben dilakukan dimanapun umat Hindu berada dan dianggap wajib. Karena itu ritual Ngaben sebagai pencucian arwah dengan upacara pembakaran jenasah, seringkali sangat energik dan paling berwarna dari semua ritual lainnya.

Meski begitu, kadang-kadang seseorang memaksa untuk melakukan ritual Ngaben tanpa mempertimbangkan kondisi yang mereka hadapi dengan meminjam uang ke sana-sini.

Padahal, panjangnya prosesi Ngaben menjadikan kegiatan tersebut tidak dapat dilaksanakan di sembarang tempat, Ada beberapa rangkaian upacara yang memakan waktu tidak sedikit.

Dari awal awal persiapan (nyiramin/memandikan) jenasah sampai dengan berakhirnya (ngising/ pembakaran), dilakukan secara sakral dan mengikuti aturan dan tuntunan dari Sulinggih (orang suci). Kondisi tersebut sering membawa orang Hindu di Bali yang homogen pada posisi harus menerima dan mengikuti setiap petunjuk dan arahan dari Ida Pedande.

Bagaimana dengan kondisi umat Hindu di Jakarta, kota besar yang heterogen, serta kolaborasi yang multikultur dalam berbagai sendi kehidupan dengan umat Hindu lainnya. Misalnya,  seperti etnis Jawa, Maluku, Sumbawa dan daerah-daerah lainnya yang memiliki cara dan kemampuan yang berbeda--beda.   

Di DKI Jakarta, sesuai dengan  Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 tahun 2007 tentang pemakaman, prosesi Ngaben  seperti layaknya di Bali tidak memungkinkan untuk dilaksanakan, karena adanya peraturan yang membatasi waktu penyimpanan jenazah.

Pada bagian Kedua, pasal 22 tentang Penundaan Waktu Pemakaman, pada ayat (1) disebutkan bahwa untuk penundaan pemakaman lebih dari 24 jam diperlukan izin dari SKPD terkait, pada ayat (2) dijelaskan bahwa penundaan pemakaman paling lama 5 hari, dan jika lebih harus melakukan perpanjangan izin.

Proses tersebut tentunya kurang sejalan dengan prosesi Ngaben, karena bagi anggota masyarakat yang mampu, pelaksanaan Ngaben harus dilakukan berdasarkan hari baik dalam perhitungan kalender Hindu Bali.

Sementara bagi kelompok yang tergolong tidak mampu, upacara Ngaben harus dilakukan hingga biaya dan tenaga tersedia, tambah suami Dr.Alina yang mengelola Channel Youtube Bincang Online Inspiratif (BIONS).

Jika dalam masa penantian tersebut jenazah dimakamkan terlebih dahulu, maka proses penguburan harus lebih dari 1 tahun, baru dapat digali kembali setelah mendapat izin dari pejabat yang berwenang.

Fenomena yang terjadi saat ini di Masyarakat Banjar Jakarta Utara, mereka memahami bahwa upacara Ngaben  sebagai sebuah ritual yang wajib dilaksanakan walaupun di daerah rantauan, namun di sisi lain harus menyesuikan dengan keadaan setempat.

"Maka perlu penyelarasan dengan komunikasi yang intens, agar dapat mewujudkan pola sesuai dengan kondisi dan keberadaan umat Hindu di Jakarta Utara," jelas dosen di Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta itu.

Bersama keluarga besar di suatu acara (Dok.Agung Patera)
Bersama keluarga besar di suatu acara (Dok.Agung Patera)

Banyak hal yang dipertimbangkan untuk tidak dilakukan pada saat upacara Ngaben di Jakarta, yaitu dari sisi ruang atau tempat ritual dilaksanakan, yang jika mengikuti ritual lengkap maka dibutuhkan satu tempat yang luas untuk pelaksanaan upacara. Sementara hal tersebut tidak dapat dilaksanakan di Jakarta.

Dalam upacara (ritual) khususnya dalam upacara Ngaben,  umat Hindu Banjar Jakarta Utara tetap melaksanakannya,  namun dengan perubahan dan penyesuaian  sesuai dengan kondisi yang ada dan di lingkungan sekitar di Banjar Jakarta Utara.

"Semangatnya  adalah  agar budaya ngaben  tetap terjaga  kelestariannya dimanapun umat Hindu berada," kata Agung Patera, yang meski sudah 30 tahun berdiam di Jakarta namun tetap tidak meninggalkan adat dan budaya Bali . 

Dengan semangat kebersamaan di tempat   rantauan dan  memahami  konsep  pribahasa "dimana bumi di pijak disana langit di junjung"  pesan yang disampaikan agar mematuhi peraturan di tempat yang didiami.

Dengan kata lain, seseorang harus bisa beradaptasi dengan tempat tinggalnya (bukan hanya tempat asal), untuk dapat diterima dengan baik.

Maka terwujudlah suatu kesepakatan hal bentuk dan  pola Ngaben dengan adaptasi yang dilakukan saat ini di Banjar Jakarta Utara, yang dirasakan oleh umat Banjar Jakarta Utara sangat baik dan tidak menjadi beban yang berat bagi umat dikala ada kedukaan. ***

Upacara Ngaben dengan penyesuaian atau adaptasi ini sangat membantu umat, dari adanya hal tersebut maka novelty dari pada penelitian ini adalah "Adaptasi" yang menjadi pondasi terbentuknya konsep ngaben yang sederhana dikalangan Umat Hindu di Banjar Jakarta Utara sehingga dapat mewujudkan ke harmonisasian .

Hal ini sangat sejalan dengan ajaran Tri Hita karana yaitu menjaga hubungan yang selalu harmonisasi terhadap ke tiga hal yaitu  :  1. Hubungan harmonisasi terhadap Tuhan yang Maha Esa (Parahyangan),   2. Hubungan Harmonisasi terhadap sesama manusia (Pawongan) dan 3.hubungan harmonisasi terhadap lingkungan (Palemahan).

Melalui karyanya sebagai akademisi Agung Patera sudah menunjukkan kepedulian dan rasa cintanya sebagai orang Bali di rantauan dalam melestarikan nilai-nilai budaya Hindu dan mempertahankan Ajeg Bali. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun