Mohon tunggu...
Kavya
Kavya Mohon Tunggu... Penulis - Menulis

Suka sepakbola, puisi dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tri Truwosono Penjaga Budaya dari Sengkan

11 Mei 2022   20:11 Diperbarui: 17 Mei 2022   08:54 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pergulatan menekuni mocopat juga membuatnya dekat dengan almarhum Romo Mangunwijaya, arsitek dan sastrawan. Karya Yusuf Bilyarta Mangunwijaya atau kerap disapa Romo Mangun yang fenomenal adalah Kampung Code sebagai pembangunan kampung di pinggir kali. Karya yang dinilai ramah lingkungan dan mewadahi aspirasi masyarakat, dan dianugerahi Aga Khan Award pada 1992.     

Setelah Romo Mangun berpulang pada 10 Februari 1999, Tri Wusono bersama Romo Y. Suyatno  Hadiatmojo mendirikan Paguyuban Burung Manyar, nama yang diambil dari judul novel "Burung-Burung Manyar". Karya Romo Mangun yang terbit 1981 itu membuahkan Ramon Magsaysay Award, penghargaan sastra se-Asia Tenggara pada 1983.

Pak Tri berbincang dengan Siter Sister (Foto : Yosi)
Pak Tri berbincang dengan Siter Sister (Foto : Yosi)
"Paguyuban ini bergerak di kegiatan kemanusiaan, setiap geraknya berdasar pada apa yang telah diajarkan oleh Romo Mangun. Manyar sendiri merupakan burung yang sifatnya nomaden, berpindah tempat," jelas Tri yang ayah dua anak.

Menggerakkan kesenian Jawa agar tetap dikenal dan dilestarikan generasi muda menjadi salah satu concern paguyuban yang dipimpin oleh Tri Wusono.

"Gelar Budaya RW 59 Sengkan" misalnya tak sekedar menampilkan pertunjukan wayang kulit dengan lakon "Bima Suci" tapi melibatkan anak-anak muda. Mereka menjadi panitia pelaksana, terlibat secara penuh hingga akhir acara.

Acara yang berlangsung pada 30 Desember 2021 itu menampilkan dua dalang sekaligus yakni Ki Raka Riyanto Mujiatmaja (60 th) dan Ni Bernadetha Astri Putri Nugraheni (siswi kelas 3 SMA).

Bagi pak Tri yang juga Ketua Paguyuban Burung Manyar setiap gerak kesenian, baik alat musik maupun tembang-tembangnya memiliki filosofi tersendiri.

Filosofi yang tak lekang oleh jaman, dan perlu dimengerti oleh anak-anak muda di tengah kegundahan budaya (culture inseturity). Situasi yang yang terjadi saat masyarakat berhadapan dengan struktul sosial dan sistem ekonomi yang eksploitatif.

Roso

Ia lalu bertutur tentang siter yang para pemainnya saat ini makin merosot, bahkan bisa dikatakan hampir punah.

"Siter itu dinikmati dengan roso (rasa, perasaan), tidak bisa dengan bercanda atau sembrono, seperti halnya rebab. Alat musik ini tidak bisa dimainkan dengan nyambi atau sekedar saja. Bedanya, rebab tidak bisa dimainkan sendiri, sedangkan siter bisa. Memang sulit memainkan alat musik siter, dan mungkin ini yang membuat pemainnya makin langka,"jelas Tri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun