Gadis cantik berkacamata itu memperkenalkan dirinya. Berbicara dengan percaya diri, dan juga menggunakan bahasa isyarat yang biasa digunakan untuk mereka yang punya kebutuhan khusus.
Nadia namanya. Ia menyampaikan mimpinya menjadi Chef dan punya kafe sendiri. Di video itu ia juga mengatakan tentang hobinya membuat kue, yang akhirnya menjadi bisnis meski belum besar dengan merek Nadia's Kitchen. Hobby yang menjadi uang jajan dan dimasukkan ke tabungan.
Melihat Nadia yang begitu percaya diri, tak menunjukkan keminderan dengan kekurangannya, segala kesukaran yang dialaminya pada 14 tahun lalu seperti mimpi saja. Saat ia kurang menikmati masa kanak-kanaknya karena harus mondar-mandir ke dokter bersama orang tunya.
Ya, Nadia yang dilahirkan pada 19 Juni 2007 divonis menderita tuli. Penyakit tuli kongenital yang juga diderita 5000 anak di Indonesia, yang beresiko menyebabkan tuli bisu.
Berbagai terapi yang harus dilakoninya membuat seorang Nadia seperti kehilangan masa kanak-kanaknya. Ia menghabiskan banyak waktunya untuk mondar-mandir ke dokter.
Pada diri Nadia, rumah siput-nya tidak sempurna, hanya 1 putaran. Normalnya 2,5 putaran. Alat Bantu Dengar (ABD) biasa tidak membantu, jadi harus dilakukan implant cochlear (pemasangan alat elektronik khusus untuk membantu penderita gangguan pendengaran parah atau tuli agar dapat mendengar.).
Akar masalah tuli kongenital ini berada di telinga dalam, ia yang bertugas membantu keseimbangan dan menyalurkan suara ke sistem saraf pusat.
Namun pada anak yang mengalami tuli kongenital akan sulit mengolah informasi karena telinga bagian dalam tidak berfungsi.
Hal ini bisa berdampak pada keterlambatan berbicara, perkembangan kemampuan bebahasa, gangguan komunikasi, gangguan proses belajar serta perkembangan kepandaian.
Sedangkan data global menunjukkan, pada 2019 terdapat 466 juta orang di dunia hidup dengan gangguan pendengaran. Sebanyak 7 persen atau 34 juta di antaranya merupakan anak-anak.
Namun Nadia mempunyai orangtua yang berusaha memperjuangkan kesembuhannya, meski dengan mengorbankan banyak hal.
Berbagai terapi sudah dilaluinya di usia balita, seperti terapi okupasi, sensor integrasi, wicara dan terapi AVT (Auditory Verbal Therapy).
AVT adalah terapi untuk anak gangguan pendengaran yang mengembangkan kemampuan berkomunikasi nya melalui penggunaan alat bantu dengar, implan koklea, dan FM System dengan penerapan strategi dan teknik auditori verbal bersama orangtua.
"Orangtua dilibatkan saat terapi, jadi tahu bagaimana cara penanganannya. Seperti memberi tahu sesuatu yang tidak hanya sekali saja dilakukan. Contohnya "Nadia, tolong tutup pintu. Itu harus diucapkan beberapa kali sehingga dia mengerti apa yang kita maksudkan,"tutur Hani Dian Indrati, sang ibu mengenang bagaimana saat Nadia menjalani terapi demi terapi.Â
"Benar-benar kita harus ekstra sabar. Untunglah anaknya punya kepercayaan diri yang tinggi,"tambah Dian.
Pada diri Nadia, rumah siput-nya tidak sempurna, hanya 1 putaran. Normalnya 2,5 putaran. Alat Bantu Dengar (ABD) biasa tidak membantu, jadi harus dilakukan implant cochlear (pemasangan alat elektronik khusus untuk membantu penderita gangguan pendengaran parah atau tuli agar dapat mendengar.).
Mahalnya biaya implant itu membuat Dian dan suaminya Widiadi Ibrahim harus mengumpulkan uang. Maka baru bisa mengajak puteri keduanya itu melakukan implant untuk telinga kanan saat usia 3 tahun.
"Kalau tidak dioperasi, belum tentu Nadia bisa bicara. Anak bisa bicara karena dia mendengar, dan untuk bisa bicara otot lidah dan syaraf di mulut harus distimulasi dengan berbagai terapi. Contoh seperti meniup dan lain-lain,"kata Dian.
Mencoba untuk mengucapkan satu kata perlu latihan ratusan kali, mungkin ribuan kali. Semua dijalani untuk mengejar ketertinggalan agar Nadia bisa tumbuh normal.
Sedangkan implan kedua di telinga kiri baru dilakukan pada saat Nadia berusia 7 thn.
"Implan yang kedua dari uang warisan. BPJS memang menutupi untuk operasi, tapi itu itu hanya 10% dari biaya alat yang ditanam di telinga Nadia. Apapun, kami bersyukur banyak kemudahan yang diberikan bagi anak itu,"tambah Dian.
Operasi dan pemasangan alat itu itu membuat Nadia bisa berbicara meski tidak selancar anak lainnya yang tidak menderita tuli seperti dia. Â
Lingkungan yang normal berusaha diwujudkan oleh Dian dan suaminya bagi Nadia. Seperti dalam bidang pendidikan. Lingkungan sekolah yang normal atau biasa, bukan untuk yang khusus bagi mereka yang berkebutuhan khusus diharapkan dapat membuat Nadia lebih percaya diri.
Sejak kecil Nadia senang masak-masakan. Menginjak usia 9 tahun ia belajar secara otodidak dari Youtube. Awalnya ia mencoba membuat nasi goreng yang tanpa bawang-bawanan, cukup bermacam kecap. Lalu mencoba ikutan memasak di rumah temannya, membuat siomay.
Di usia 10 tahun gadis bernama lengkap Nadia Samira Zafira itu mulai ikut kursus memasak secara online, dan mencoba berbagai resep. Awalnya membuat pasta yang dijual ke teman-teman sekolahnya.
"Lama-lama banyak yang pesan. Mama lau ikut bantuin,"kata Nadia yang juga suka berenang dan taekwondo. Saat ini Nadia sudah mencapai Poom 1 di taekwondo, atau Dan 1 Junior karena belum mencapai usia 17 tahun.
"Kalau hasilnya cantik saya fotoin untuk dipasang di akun medsosnya,"kata Dian.
Selain belajar memasak online, Nadia juga menambah pengetahuannya dari teman mamanya yang seorang food stylist.
Meski begitu pelajar kelas 7 SMP Al Fajri, yang merupakan sekolah umum, bukan SLB (Sekolah Luar Biasa) itu hanya menerima pesanan lewat Whatsapp saja. Belum berani ke Market place karena belum adanya asisten rumah tangga sejak pandemi.
Ia memasarkan produknya juga lewat akun instagramnya Nadiaskitchen.bks.
"Nadia ingin sekolah masak , kalau bisa masuk NHI di Bandung. Ingin menjadi chef dan punya kafe, yang karyawannya dari teman-teman disabilas," kata Nadia dengan mata berbinar.
Cita-cita yang diamini oleh Dian dan Widiadi yang sejak lama bersepakat agar puterinya bisa mandiri. Tidak tergantung pada orang lain, termasuk kakaknya, Salsa yang mahasiswi.
Nadia telah menunjukkan kepada banyak orang, bahwa Tuhan selalu memberikan kelebihan di balik kekurangan. Â Kepercayaan dirinya yang tinggi membuat kekurangannya tidak menjadi penghambat, malah dijadikannya sebagai kelebihannya. ***
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H