Krizma, yang juga merangkap manajer SS, menuturkan lahirnya SS bukan merupakan sesuatu yang direncanakan. Masing-masing yang sudah berteman cukup lama lalu belajar sendiri, sampai merasa makin mencintai siter yang mempunya 11 dan 13 pasang senar itu. Hingga bertemu Ari Tejo, yang menjadi guru mereka dan tetap mendampingi saat SS tampil di panggung.
Kuku Patah
Awalnya, belajar secara bertahap dari siter peking (bentuknya kecil, jauh lebih murah) yang terbuat dari kayu standar. Setelah belajar sekian lamanya, mereka melihat adanya perbedaan cukup besar antara siter peking dengan yang dimiliki sang guru. Terutama adanya suara bass yang membuat bisa masuk ke lagu-lagu genre lain.Â
Belum lagi, tambahnya, kayunya yang bagus, dengan seni ukir tinggi dan memiliki kaki sebagai penyanggah siter menjadi pesona tersendiri. Sebuah kerajinan tangan yang bagus dan berkualitas. Sedangkan siter peking tidak memiliki kaki, jadi saat berlatih kotak kayu tempat penyimpanan alat musik itu yang jadi kakinya.
"Semua itu merupakan perjuangan yang tidak mudah. Sebagai ibu rumah tangga dengan uang dapur yang terbatas, harus menyisihkan untuk membeli sitar besar yang indah itu. Dari beberapa penampilan, honor yang didapat bisa dikumpulkan untuk membeli siter besar. Akhirnya impian itu terwujud,"tutur Krizma yang mendapat anggukan dari Feryna dan Lukita.
Ditambah lagi penyesuaian jemari lentik yang berbeda dengan lelaki sudah merupakan kendala tersendiri bagi mereka. Jempol merupakan alat utama untuk menghasilkan denting nada-nada yang diinginkan. Mereka sering terpeleset karena jemari terlalu dalam saat memetik senar. Maka soal kuku patah bukan merupakan hal yang aneh. Â
Siter memiliki 11 dan 13 pasang senar, dan direntangkan di antara kotak resonantor. Senar siter dimainkan dengan ibu jari, sedangkan jari lain digunakan untuk menahan getaran ketika senar lain dipetik, ini biasanya merupakan ciri khas instrumen gamelan.
Namun, meski sudah belajar dari siter peking untuk menguasai nada dari senar siter, namun tetap membutuhkan adaptasi tersendiri ketika beralih ke alat musik yang lebih besar. Ini tak lepas dari bentuk tangan perempuan yang kecil, yang harus disiasati agar bisa menghasilkan bunyi yang lebih enak dan empuk untuk musik-musik non tradisional.Â
"Ditambah lagi telinga kita terbiasa dengan nada-nada diatonik (do re mi), tapi nada di siter itu pentatonik. Bagi yang terbiasa mendengarkan lagu-lagu Jawa atau Sunda, mungkin tak asing. Bagi yang jarang mendengarkannya, penyesuaiannya cukup sulit dan lama,"jelas Krizma.
Apa yang dikatakan Krizma tentang nada pentatonik itu diiyakan oleh Yoyok, lelaki yang piawai memainkan kendang. Sejak kecil ia sudah terbiasa dengan suara dari gamelan, rebab atau bonang.
Kesulitan serupa juga dialami Feryna yang jadi penyanyi. Ia sendiri memang suka menyanyi, pernah tampil di tv lokal atau beberapa acara di Jakarta, Yogyakarta, Magelang dan lainnya.Â