Padahal, sejak awal tak ada ambisi untuk menjadi juara berbagai turnamen, karena yang terpenting adalah pengembangan kemampuan dan didapatnya jam terbang bagi para siswa NFF.
Selain itu, pengurus dan pelatih diminta untuk menimba pengalaman dari akademi-akademi lainnya tentang pengelolaan yang profesional. Entah itu menyangkut sistem latihan, persiapan latihan, gaji dan lainnya. Semuanya itu dijadikan bahan evaluasi, lalu dikemas untuk pengembangan NFF.
Tak hanya ikut turnamen, beberapa pemain NFF juga dikirimkannya mengikuti seleksi di tim-tim seperti Bhayangkara FC, PS Sleman dan lainnya. Ada yang saat ini bermain di Nganjuk Ladang FC yang mengarungi Liga 3 2019.
Gebrakan yang dilakukan NFF dalam rentang usianya yang masih belia mampu menarik perhatian masyarakat Nganjuk. Apalagi dalam waktu setahun sudah 34 tropi kejuaraan mampu dikoleksi oleh akademi, baik dari tingkat regional, provinsi maupun nasional.
Terbukti dalam setahun sejak berdirinya sudah memiliki 200 siswa. Tak hanya itu, Askab PSSI Nganjuk pun menunjuk NFF sebagai akademi percontohan.
Fasilitas yang dimiliki NFF diakui oleh Sony belumlah lengkap atau mewah. Hal ini bukan semata karena akademi itu baru tapi dimaksudkan agar calon siswa tidak terbebani dengan biaya yang mahal.
Perjalanan NFF masih jauh meski keberadaannya sudah diakui masyarakat dan PSSI Nganjuk. Sony pun pada Agustus 2019 lalu ditugaskan Askab PSSI Nganjuk menjadi pimpinan pengembangan usia dini di Ngajuk.
Sony sendiri melihat NFF belum menjadi akademi yang besar, hanya menuju ke arah lebih baik, lebih profesional.
Kalau pun berkembangannya seperti sekarang, itu berkat adanya orang-orang hebat di dalamnya. Ia menunjuk tim pelatih yang berperan besar. Mereka antara lain Ary Yudo Suharso, Nanang Kuswoyo, Guntur Martasima, Yusfi Ashar Hanafi, Eka Suryawan dan Diki Aprianto,"kata Sony merendah.