Mohon tunggu...
Kavya
Kavya Mohon Tunggu... Penulis - Menulis

Suka sepakbola, puisi dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Telat dalam Rapat Darurat PSSI

2 Januari 2019   16:05 Diperbarui: 3 Januari 2019   17:22 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Darurat, itu sifat rapat PSSI yang akan digelar 3 Januari 2019 di Jakarta.

Rapat darurat itu merupakan respon PSSI terhadap berbagai masalah yang ada saat ini. Respon lainnya sudah ditunjukkan dengan pembentuan Komite Ad-hoc untuk menangani kasus pengaturan skor yang jadi sorotan belakangan ini.

Pembentukan Komite Ad-hoc itu dimaksudkan agar pengambilan keputusan pada kasus yang diselidiki akurat, dengan data yang komprehensif. Diharapkan komite itu bisa terbentuk sebelum kongres tahunan PSSI pada 20 Januari 2019 mendatang.

Kedaruratan sifat rapat itu merupakan yang pertama kalinya disampaikan ke publik oleh PSSI. Bisa jadi rapat darurat sebelumnya juga pernah diadakan tapi tidak diketahui kapan dan tentang apa. Pernyataan yang keluar biasanya berupa "Hasil rapat Exco PSSI memutuskan...."

Tiga hal krusial akan dibahas dalam rapat darurat itu, seperti dikatakan anggota Exco PSSI, Gusti Randa, yakni persiapan kongres PSSI di Bali, 20 Januari 2018, isu pengaturan skor dan rencana kerja sama dengan Satgas Antimafia Sepak Bola.

Pertemuan itu, jelas Gusti Randa, digelar sebagai respons dari permasalahan yang menimpa Exco PSSI belakangan ini.

Terkait dengan Exco PSSI, saat ini ada dua anggotanya yang tak aktif lagi. Pertama, Hidayat yang menyatakan mundur pada 3 Desember 2017 dan mendapat sanksi dari Komdis PSSI. Ia dinyatakan bersalah setelah namanya disebut oleh Manajer Madura FC, Januar Herwanto karena membujuk agar mengalah menjelang laga melawan PSS Sleman di 8 besar Liga 2.

Foto : twitter.com/@katakitatweet
Foto : twitter.com/@katakitatweet
Kedua, Johar Lin Eng yang dicokok polisi pada 27 Desember 2017 dan jadi tersangka pengaturan skor di Liga 3 setelah adanya pengaduan dari mantan manajer Persibara Banjarnegara, Lasmi Indriyani. Turut terseret dalam kasus itu anggota Komdis PSSI, Dwi Irianto serta mantan anggota Komite Wasit, Priyanto dan wasit futsal, Anik Yuni Artikasari.

Menyimak alasan yang jadi dasar rapat darurat itu, PSSI semestinya berbicara dengan lebih lugas kepada publik, bahwa persoalan besar yang ada di tubuh PSSI saat ini bukanlah apa yang terjadi di tubuh Exco. Lebih dari itu adalah makin merosotnya kredibilitas PSSI.

Kemerosotan itu yang membuat publik memberikan applause kepada Satgas Antimafia Sepak Bola dan tidak menyatakan simpatinya atas nasib yang menimpa Hidayat atau Johar Lin Eng. Tidak juga berempati atas kerja yang dibanggakan oleh Sekjen PSSI, Ratu Tisha yakni PSSI mampu menyelenggarakan 10 even internasional.

Ke-10 even internasional tersebut adalah AFF Girls, AFF Woman, AFF U-16, AFF U-19, AFF Club Futsal, AFF Futsal, AFF Beach Soccer, AFC Club Futsal Championship, AFC U-19 dan terakhir Asian Games.

Sayangnya keberhasilan jadi penyelenggara 10 even internasional tidak dibarengi oleh prestasi di timnas Indonesia. Dari 10 itu, hanya satu saja yang berhasil dimenangkan yakni saat timnas U-16 juara Piala AFF U-16 di Sidoarjo, Jawa Timur. Tak heran muncul pernyataan sinis: "PSSI itu federasi atau event organizer?"

Sebagai organisasi olahraga paling popular dan seksi, diperebutkan banyak pihak untuk jadi pengurusnya, PSSI tak bisa lagi mempertahankan posisinya untuk pasif atas segala isu. Berbagai komentar negatif seharusnya jadi tantangan tersendiri untuk ditanggapi dengan bijak dan cerdas.

Dalam dua tahun kepengurusan Edy Rahmayadi, tak terlihat adanya suatu isu strategis yang dilontarkan oleh PSSI. Mereka lebih suka bersikap reaktif, memberikan tanggapan atas isu yang berkembang.

Tak Bisa Dipaksa

Pemanggilan pengelola 76 akun sosial media melalui Komdis PSSI misalnya, itu bukan langkah yang cerdas. Apalagi dikemas dalam nada ancaman akan dilaporkan ke kepolisian jika tidak mau dipanggil untuk dimintai keterangan atau membawa bukti soal pengaturan skor seperti dalam postingan akun sosmed itu.

Situs pssi.org
Situs pssi.org
Sikap tergesa-gesa itu, seperti dalam pernyataan awal yakni "PSSI memanggil 76 akun sosmed" dan "akan menyerahkan ke pihak kepolisian," justru makin membuat merosot tingkat kepercayaan publik. Apalagi jelas Komdis PSSI tak punya kewenangan memanggil akun-akun sosmed untuk dimintai keterangan, karena mereka (seperti dalam pasal 3 Kode Disiplin PSSI) bukan bagian dari keluarga sepak bola (football family).

Istilah "memanggil" itu kemudian berubah jadi "mengundang", yang tercermin dalam pernyataan PSSI di media, juga di website-nya. Juga tak lagi ada tebaran ancaman bagi akun sosmed yang tidak datang, atau ada yang datang tapi tidak membawa bukti. Sebagai catatan, hanya satu akun sosmed yang datang memenuhi panggilan Komdis PSSI pada 29 Desember 2018 lalu.

Meski masih dibayangi kecaman dalam tagar dan yel-yel #EdyOut, PSSI masih punya waktu dua tahun untuk mencoba memperbaiki citranya. Tentu ini butuh ekstra kerja keras, penanganan komunikasi yang baik, dengan pengurus yang mudah dihubungi pers terutama Sekjennya.

Harus dihindari pernyataan reaktif yang justru membuat simpati publik merosot. Termasuk di dalamnya perubahan tutur kata dari Edy Rahmayadi sendiri saat menjawab pertanyaan pers.

Tak lagi perlu membuat publik semakin dibuat gerah dengan beberapa pernyataan Ketua Umum PSSI yang tidak substansial. Seperti komentarnya yang menohok saat menjawab pertanyaan Aiman Witjaksono di Kompas TV, dan pernyataan dirinya bahwa "jika wartawan baik, maka timnas juga akan baik".

Tak lagi perlu membuat masyarakat semakin bertanya-tanya apa jadinya PSSI nanti jika dalam membuat pernyataan saja sang Ketua Umum sudah membuat khalayak bingung. Apalagi pernyataan dagelan itu sampai disoroti media asing seperti FOX Sports Asia.

Kisah perjalanan Shackleton bersama 27 anak buahnya menjelajahi benua Antartika pada tahun 1914 bisa jadi inspirasi tentang kepemimpinan. Meski pada akhirnya misi ini gagal karena kapal mereka tertahan bongkahan es, namun kepemimpinan Shackleton ini menjadi legenda akan keberhasilan pemimpin mengatasi krisis yang terjadi.

Kisah Shackleton itu memberi pelajaran penting bagi kita, bahwa sebagai pemimpin ia tidak memerintahkan anggotanya untuk melakukan hal-hal yang dikendaki, tetapi merangkul dan mengajak untuk mencari solusi dan keluar dari krisis secara bersama-sama. 

Tak perlu menyalahkan orang atau pihak lain terhadap krisis yang ada. Dibutuhkan upaya mencari jalan keluar yang paling logis dan bisa memuaskan semua pihak. Diharapkan organisasi dapat keluar dari krisis, dan jika pun nantinya menghadapi krisis yang lain, tetap bertahan dan menghapinya dengan lebih baik.

Tak cukup hanya mengakui kekurangan, tapi lebih penting bagaimana publik melihat bahwa ada upaya serius dari PSSI untuk mengembalikan kredibilitasnya yang terlanjur terjun bebas.

PSSI akan kembali dicintai dengan adanya integritas dan prestasi. Cinta yang tak bisa dipaksa dengan ancaman atau gertakan. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun