Sebagai organisasi olahraga paling popular dan seksi, diperebutkan banyak pihak untuk jadi pengurusnya, PSSI tak bisa lagi mempertahankan posisinya untuk pasif atas segala isu. Berbagai komentar negatif seharusnya jadi tantangan tersendiri untuk ditanggapi dengan bijak dan cerdas.
Dalam dua tahun kepengurusan Edy Rahmayadi, tak terlihat adanya suatu isu strategis yang dilontarkan oleh PSSI. Mereka lebih suka bersikap reaktif, memberikan tanggapan atas isu yang berkembang.
Tak Bisa Dipaksa
Pemanggilan pengelola 76 akun sosial media melalui Komdis PSSI misalnya, itu bukan langkah yang cerdas. Apalagi dikemas dalam nada ancaman akan dilaporkan ke kepolisian jika tidak mau dipanggil untuk dimintai keterangan atau membawa bukti soal pengaturan skor seperti dalam postingan akun sosmed itu.
Istilah "memanggil" itu kemudian berubah jadi "mengundang", yang tercermin dalam pernyataan PSSI di media, juga di website-nya. Juga tak lagi ada tebaran ancaman bagi akun sosmed yang tidak datang, atau ada yang datang tapi tidak membawa bukti. Sebagai catatan, hanya satu akun sosmed yang datang memenuhi panggilan Komdis PSSI pada 29 Desember 2018 lalu.
Meski masih dibayangi kecaman dalam tagar dan yel-yel #EdyOut, PSSI masih punya waktu dua tahun untuk mencoba memperbaiki citranya. Tentu ini butuh ekstra kerja keras, penanganan komunikasi yang baik, dengan pengurus yang mudah dihubungi pers terutama Sekjennya.
Harus dihindari pernyataan reaktif yang justru membuat simpati publik merosot. Termasuk di dalamnya perubahan tutur kata dari Edy Rahmayadi sendiri saat menjawab pertanyaan pers.
Tak lagi perlu membuat publik semakin dibuat gerah dengan beberapa pernyataan Ketua Umum PSSI yang tidak substansial. Seperti komentarnya yang menohok saat menjawab pertanyaan Aiman Witjaksono di Kompas TV, dan pernyataan dirinya bahwa "jika wartawan baik, maka timnas juga akan baik".
Tak lagi perlu membuat masyarakat semakin bertanya-tanya apa jadinya PSSI nanti jika dalam membuat pernyataan saja sang Ketua Umum sudah membuat khalayak bingung. Apalagi pernyataan dagelan itu sampai disoroti media asing seperti FOX Sports Asia.
Kisah perjalanan Shackleton bersama 27 anak buahnya menjelajahi benua Antartika pada tahun 1914 bisa jadi inspirasi tentang kepemimpinan. Meski pada akhirnya misi ini gagal karena kapal mereka tertahan bongkahan es, namun kepemimpinan Shackleton ini menjadi legenda akan keberhasilan pemimpin mengatasi krisis yang terjadi.