Soal gelar atau prestasi emas, Milla memang belum memberikan seperti yang diharapkan, termasuk target di Asian  Games.
Namun, Milla dianggap sudah berhasil memberi kita sajian baru : permainan Timnas enak ditonton.
Para pemain seperti punya pakem bagaimana seharusnya bermain, tak hanya sedap dinikmati tapi juga mencetak gol. Di Asian Games Indonesia jadi tim yang mencetak gol terbanyak bersama Tiongkok.
Tak cuma itu, Milla juga punya kemampuan membaca permainan. Ia mampu meracik strategi baru sesuai situasi pertandignan, seperti saat tim dalam kondisi tertinggal atau sulit berkembang.
Tentu perubahan dari Milla akan berjalan baik jika pemain mau mendengarkan sang pelatih. Suasana itu sangat penting, pemain mendengar, menghargai dan menurut kepada pelatih. Milla berhasil melakukan hal itu di timnas.
Tak heran, meski hanya melaju ke babak 16 besar dan gagalnya pun karena wasit asal Australia, Shaun Robert Evan yang jadi biang  kerok dengan memberi dua penalti untuk Uni Emirat Arab, tim asukan Milla tetap disanjung.
Ironisnya, wasit itu sendiri pernah dikontrak untuk memimpin Liga 1 2017 dan disanjung juga oleh PSSI karena dianggap bagus memimpin pertandingan.
Milla tak hanya memenangkan hati masyarakat, sebagian besar pemain dan mantan pemain pun angkat topi dan ingin dia dipertahankan. Firman Utina bahkan bilang Milla pantas jika dikontrak selama 10 tahun.
Maka pernyataan PSSI soal kontrak baru buat Milla disambut gembira oleh publik. Harapan mereka terpenuhi, dan bisa melihat lagi kiprah para pemain di bawah asuhan Milla.
Lalu, seperti apa harapan publik itu bagi PSSI? Apakah mereka mendengarkan, lalu menjadikannya sebagai pijakan membuat keputusan mempertahankan Milla?
Kalau membaca pernyataan Edy Rahmayadi, kita pantas gigit jari karena suara publik ternyata bukan dasar dari kontrak baru Milla.