Ada yang menarik dalam tanggapan Ketua Umum PSSI,Edy Rahmyadi ketika ditanya soal tagihan hutang dari La Nyalla ke organisasi sepakbola itu. Edy mengatakan bingung kenapa tagihan itu ditujukan kepada dirinya.
"La Nyalla menagih utang ke PSSI. Utangnya pada saat beliau menjadi Ketua PSSI. Kok nagihnya ke saya? Saya sendiri aja bingung. Apa ini gitu?," ujarnya saat ditemui wartawan di Medan, 3 Februari 2018.
Meski menyatakan bingung, tapi Edy menegaskan pihaknya siap membayar jika memang benar ada utang. Ia juga akan cek dan mengaudit, karena harus jelas. "Karena PSSI milik rakyat, bukan milik Edy,"tambahnya.
La Nyalla melalui kuasa hukumnya, Aristo Pangaribuan mengatakan dari semua utang setelah dilakukan audit oleh PSSI di awal tahun 2017 mencapai angka total Rp13,9 miliar. Sementara di Liga Indonesia tercatat 700 ribu USD atau setara dengan Rp9 miliar.
Pernyataan Edy yang mantan Pangkostrad itu juga membingungkan, karena sebenarnya ia sudah tahu dan pernah memberikan komentar yang sama soal rencana audit, dan PSSI harus membayarnya.
Sebagai Ketua Umum PSSI, menggantikan La Nyalla yang mengundurkan diri karena terjerat kasus huku, mewarisi hutang rezim sebelumnya merupakan salah satu tanggungjawab yang tak bisa terhindarkan. Termasuk juga berbagai peraturan yang jika dirasakan kurang baik bisa diubah.
Sejak dimunculkan di media soal tagihan itu pada 1 Agustus 2017, dan PSSI berjanji mencicilnya, sebenarnya federasi itu bisa melakuka n langkah-langkah persuasif kepada La Nyalla. Setidaknya untuk meredam berbagai spekulasi yang ada setelah kasus itu diungkap ke publik. Rasanya La Nyalla tidak akan mempersulit jika sudah ada pendekatan personal kepadanya. Apalagi ia pernah menjadi orang nomer satu di PSSI.
PSSI sendiri juga tidak mengalami defisit keuangan. Seperti dalam kongres terakhirnya 13 Januari 2018 di Tangeang dilaporkan adanya surplus sebesar Rp 3 miliar dari total pendapatan pada 2017 sebesar Rp 110 miliar (pengeluaran Rp 107 miliar dengan rincian Rp 95 miliar untuk program kerja dan sisanya untuk operasional).
Rentang waktu 5 bulan soal tagihan itu yang dibiarkan tanpa ada penjelasan ke publik bukan suatu langkah yang bagus bagi PSSI. Berbagai persepsi miring pasti muncul dengan jeda penyelesaian yang begitu lama.
Apalagi dunia teknologi komunikasi saat ini begitu pesat berkembang dan berpotensi memperbesar memperbesar krisis. Orang makin peduli, semakin perhatian terhadap suatu isu atau resiko yang dihadapi oleh PSSI.
Tak bedanya dengan berita belum dilunasinya subsidi klub-klub Liga 1 musim kompetisi 2017 lalu oleh PT Liga Indonesia Baru (LIB) yang dijanjikan tiga tahapan hingga akhir Januari 2018. Ternyata hingga awal Februari 2018 hanya satu tahapan saja yang dibayar, sisanya masih belum tahu kapan dibayar, padahal klub-klub itu jelas membutuhkan untuk persiapan musim kompetisi 2018 ini.
Lambannya penanganan berbagai isu oleh PSSI tersebut jelas menimbulkan pertanyaan sejauh mana federasi itu memiliki kesiapan atau bersungguh-sungguh menangani suatu isu. Dimana peran Komite Media yang sama sekali atau nyaris senyap suaranya di media?.Â
Seharusnya PSSI segera memberikan respon begitu muncul suatu isu yang dinilai akan menimbulkan krisis kepercayaan. Pesan itu terbuka dan jujur kepada para pemangku kepentingan (stakeholders), baik itu yang terpengaruh secara langsung atau tidak langsung.
Seorang ahli komunikasi ternama mengatakan, perusahaan atau organisasi punya waktu "minimal 40 menit hingga maksimal 12 jam" untuk memberikan penjelasan versi mereka atas sebuah krisis. Jika organisasi atau korporasi gagal merilis informasi yang relevan, maka kepercayaan publik bisa merosot terhadap informasi yang dikeluarkan kemudian.
Di era media baru saat ini, rentang waktu itu makin singkat, karena informasi beredar begitu cepat dan intens.
Jika dalam rentang waktu tersebut.organisasi atau korporasi gagal merilis informasi yang relevan, maka kepercayaan publik kemungkinan sudah turun terhadap informasi yang akan dirilis di luar time frame  tadi (Pinsdorf seperti dikutip Tan, 2006). Rentang waktu tadi menjadi semakin singkat di era media baru, di mana informasi beredar begitu intens dan  begitu cepat.
Kepengurusan PSSI di bawah Edy Rahmayadi yang saat ini sibuk soal mengurusi pencalonan dirinya sebagai Gubernur Sumatra Utara semestinya tak perlu diajari soal penanganan krisis komunikasi. Bukankah ia dan pendukungnya menjelang kongres pemilihan Ketua Umum PSSI mengusung jargon Profesional dan Bermartabat?.
Krisis yang ada saat ini, sekali tak cuma soal hutang La Nyalla, bisa menjadi suatu turning point bagi PSSI yang dapat membawa permasalahan ke arah yang lebih baik atau lebih buruk. Jika tidak ditangani dengan baik, umumnya akan berakibat buruk pada kepercayaan, nama baik dan sebagainya. Sebaliknya jika ditangani dengan baik, akan memberi poin tersendiri bagi PSSI.
Sudah saatnya PSSI bersikap serius menghadapi berbagai isu yang ada, bukannya malam melakukan langkah pembiaran. Strategi semacam itu sudah tidak laku di masa kini, di jaman now. Dulu bersikap kepala batu dengan berlindung pada Statuta FIFA, tutup telinga atas berbagai kritik, maka kini langkah itu basi.
PSSI memerlukan strategi komunikasi yang tepat, yang diharapkan dapat menetralisir intervensi pihak ketiga yang mungkin dapat memperparah krisis, mengurangi ketidakpastian, menambah kepercayaan publik dan bahkan dukungan pihak ketiga untuk menyelesaikan krisis yang ada.
Bersikap masa bodoh, pasif dan reaktif tanpa perencanaan komunikasi yang matang pada akhirnya membuat PSSI akan terlihat makin tidak profesional. Imbasnya akan lebih tidak bermartabat seperti yang dijargonkan sendiri. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H