Ingatannya selama menjalani program magang terus menyengat hingga masa itu tiba, masa di mana ia pertama kalinya bekerja sebagai seorang perawat yang digaji. Masa itu awalnya mulus, tapi bulan kedua tahun itu virus yang di Covid-19 mulai menggerogoti beberapa negara.
Hari berlalu dan bulan berlalu, nampaknya virus Covid-19 makin melanda separuh dunia, berbagai varian baru mulai muncul hingga dipertengahan tahun wabah ini menjadi pandemi.
Marble membungkus peralatan kerjanya sembari menyantap roti kukus yang ia dapatkan dari rekan kerjanya. Berita pandemi Covid-19 lambat laun membuatnya resah tak karuan. Tugas perawat yang awalnya terasa mudah kini berganti berat. Marble turut merasakannya, tinggal hitungan hari ia akan segera dipanggil menjadi tenaga kesehatan merawat pasien Covid-19.
Saat hari itu tiba, Marble sudah mempersiapkan diri menyongsong kewajiban barunya bukan lagi sekadar perawat, tapi juga sebagai pejuang melawan Covid-19.
Tugas itu pasti amat berat melihat banyaknya pasien yang harus diurus, banyaknya para tenaga kesehatan yang lelah, terjangkiti, hingga berguguran. Tapi, ia selalu menatap lurus seolah-olah hanya dia saja yang dapat diandalkan.
Lembaran baru dimulai, pekerjaan pertamanya sebagai pejuang melawan Covid-19 diembannya di sebuah puskesmas yang cukup besar. Awal mula bekerja memang terasa tidak mudah. Hampir sekitar 16 jam ia disibukkan dengan pekerjaannya tanpa kenal lelah. Namun, semua ini tidak seringan yang ia bayangkan. Covid-19 bukan satu-satunya masalah yang sedang ia hadapi, tapi ia mulai curiga adanya praktek jual beli vaksin illegal. Pertama kalinya ia cium perkara itu ketika melihat seorang pasangan muda dan orang tuanya yang terlihat kaya menerima vaksin. Padahal saat itu vaksin masih diprioritaskan untuk lansia.
Marble kini menjadi sosok pribadi yang dewasa tidak lagi ia pedulikan dirinya, melainkan hanya orang lain yang sangat butuh perawatan secara intens. Tak ada kata cukup di dalam kamusnya. Namun, semenjak ia mengetahui praktik jual beli vaksin ilegal, beberapa orang mulai mengusik pekerjaannya. Berulang kali ia harus menghadapi kelalaian yang bukan disebabkan olehnya, tapi ia terima cercaan orang yang menudingnya dengan sabar.
Ketika itu, direktuk puskesmas memanggilnya untuk berdiskusi. "Mbak Marble, kamu tahu di masa pandemi ini cari duit itu susah... Saya sebagai rekan dan sekaligus pemimpinmu ingin supaya kamu menutupi masalah yang pernah kamu lihat itu. Bisakan?" Kata direktur puskesmas itu dengan nada angkuh sedikit mengancam.
"Pak dengan segala hormat saya melakukan setiap pekerjaan bukan untuk memperoleh materi tapi untuk setiap hati yang butuh penghiburan." Katanya dengan tidak berdaya.
"Bagus.... Jadi kamu setujukan untuk tutup mulut?" Tanya direktur dengan senyum semringah. Jawaban direktur justru membuatnya semakin tidak berdaya.
Hidup sungguh tidak adil ketika ingin bertindak atas nama kebenaran, tetapi selalu merasa kecil dihadapan orang lain. Marble tidak tahu bagaimana mengatasi masalah itu. Ia dihadapkan dengan dua pilihan, melapor kepada pihak yang berwenang, atau dipecat dari pekerjaannya. Apakah arti tekad yang selama ini ia dambakan meski pada akhirnya tiba saat di mana dia merasa tidak mampu membuka suara. Banyak orang yang menanti giliran mendapat vaksin, tapi uang berkata sebaliknya. Uang ibaratnya penentu keberlangsungan sistem yang telah dibuat. Uang menutup panca indera demi beroleh keuntungan. Lalu apa artinya pekerjaan menjadi seorang perawat, apa arti bagi dirinya untuk berada di tempat itu.