Mohon tunggu...
Johanna Ririmasse
Johanna Ririmasse Mohon Tunggu... Wiraswasta - Menulis

L.N.F

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jawaban dari Sebuah Pertanyaan

17 Juni 2016   20:35 Diperbarui: 17 Juni 2016   20:39 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : whyyounurvidya.wordpress.com

"Kita buat proyek proposal ini di mana?"

"Di rumah John saja, Berty." Mia menyahut, sambil menenggelamkan kakinya di air laut. 

Tika datang membawa kue, duduk di samping Mia. "Tapi, John kan tidak pernah mau belajar kelompok di rumahnya selama ini. Apakah kalian lupa?" 

Berty, Samuel dan Nona yang sedang duduk disisi jembatan yang lain, ikut termenung mendengar apa yang dikatakan Tika. Berty yang akrab dengan John selama ini, tak mau bicara banyak. Nona yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan John, menatap Berty dan menggeleng kepalanya perlahan.

"Kenapa John tidak pernah mau belajar kelompok dirumahnya?!" Samuel masih bertanya, ingin tahu.

Berty tidak menjawab pertanyaan Samuel. Nona juga. Tak ada jawaban untuk sebuah pertanyaan dari Samuel. Angin sore di pantai Lantamal Halong, bertiup dan berhembus perlahan. Mentari senja yang pulang ke ujung barat langit kota Ambon, meninggalkan rona merah jingga, bertabur awan biru yang pucat, Entah sedih, Entah gembira, Sebab, bulan akan bersanding dengan bintang menemani malam.

***

Bel pulang sekolah berbunyi, anak-anak kelas lima Sekolah Dasar Inpres Teladan, berhamburan keluar kelas setelah memberi salam kepada pak Niko. Anak-anak kelompok Pattimura dan kelompok Reebok, duduk bersama dipojok kelas.

"Beta rasa, kita belajar kelompok buat proyek proposal ini di rumah Tika saja. Di sana ada jembatan yang menghadap pantai, kita juga bisa gunakan itu sebagai markas pertemuan kita."

"Beta setuju dengan apa yang Pedro katakan." John, tersenyum.

"Tapi, kenapa...?!" Kaki Samuel langsung ditendang Berty. Kata-kata yang mau meluncur dari mulut Samuel, seperti masuk kedalam pemikirannya kembali.

"Beta nanti bawa laptop." Sisi, berujar.

"Beta akan cuci foto-foto hasil dokumentasi, saat pengumpulan buku dan anak-anak yang sedang membaca di perpustakaan." Ahmad, menggeser duduk dekat dengan Tika.

"Oh iya." Nona, mengingatkan anak-anak kelompok Pattimura dan kelompok Reebok. "Rumah Ahmad itu jauh di Nania. Apakah kita tidak belajar di rumah Sisi atau Berty, yang dekat dengan sekolah kita?"

"Oh, tidak." Ahmad menggeleng. "Beta rela naik ojek atau pun angkot, Bahkan, naik perahu pun akan kudayung, demi sampai di rumah Tika."

"Ha ha ha." Anak-anak kelompok Pattimura dan kelompok Reebok, tertawa terbahak-bahak. Pedro dan Samuel sampao menepuk meja, berteriak bersama. "Ancor, Ahmad."

"Wow! Ahmad sudah bisa jadi penyair. Ahmad, ose belajar buat kata-kata puisi itu dari mana?" Tanya Rima, salah saru anggota kelompok Reebok yang ikut bergabung.

"Beta belajar dari Khalil Gibran, Rima." Ahmad berdiri dari bangku, "Dari pada Berty?"

"Beta kenapa?" Berty, bertanya.

"Berty belajar buat puisi dari syair lagu..." Ahmad bergaya memainkan gitar sambil bernyanyi. "Dari pada sakit hati, lebih baik sakit gigi ini, biar tak mengapa..."

Anak-anak menertawakan Berty dan Ahmad, sambil ikut bernyanyi. "Rela-rela, rela, aku relakan. Rela-rela, rela, aku relakan..." Tika hanya tersenyum malu, pasrah menerima canda dan tawa sahabat-sahabatnya.

***

"Dengar beta, Samuel. Ose jangan pergi ke rumah John."

Berty menahan Samuel yang hendak pergi ke rumah John, sepulang sekolah. "Jangan tarik beta baju, tahu!"

"Beta bilang, ose jangan pergi ke sana. Dia nanti marah ose." Teriak, Berty.

"Beta mau pergi ke rumah John, Biar saja dia marah beta. Tapi, beta mau kasih tahu dia. Beta dan sahabat-sahabat bisa menerima dia dan keluarganya apa adanya."

"Ose gila!" Berty menunjuk telunjuknya di depan muka Samuel. "Ose lihat apa yang akan John buat nanti!" Berty pergi meninggalkan Samuel, pulang ke rumahnya. Samuel menendang batu kerikil, hingga mengena teras rumah disisi jalan raya.

"Nyong e, ose belajar apa di sekolah tadi? Kenapa sampai tendang batu itu ke beta rumah?"

"Maaf, Tante. Beta tidak sengaja." Samuel menghampiri Ibu berwajah separuh baya, memakai kebaya merah. Samuel menjabat tangannya. "Beta benar-benar tidak sengaja."

"Iya. Tante kasih maaf ose, Nyong." Tante berkebaya merah memberikan senyum maafnya. "Ose, Shinta punya anak kah?"

"Iya, Tante."

"Oke. Salam buat mama dan papa kio, dari tante Mada."

"Iya, Tante." Samuel tersenyum kepada tante Mada, kemudian melanjutkan perjalanan ke rumah John.

Tok Tok Tok! Samuel mengetuk pintu rumah bercat biru langit. Samuel berteriak memanggil John, tapi tak ada suara menyahut dari dalam rumah. Samuel mencari di halaman samping rumah, tapi tak ditemukan John di sana. Samuel berjalan menuju pintu sampingm merogoh pegangan pintu dan membukanya perlahan. Bunyi derit pintu terdengar dan pintu terbuka. Samuel berteriak memanggil John sebelum masuk. "John, ada di mana? Ini beta, Samuel. Beta masuk ke rumah e."

"keh keh keh keh...." Anak perempuan bertubuh ceking, tiba-tiba berlari keluar kamar. Dia melompat, berputar sambil bertepuk yangan di depan Samuel. "Tah tah tah tah..." Dia berhenti, tepat di depan Samuel. "Mama tidak suka ya, ose keluar kamar. Nama kamu siapa? Nama saya Ann." Anak perempuan berambut panjang tersebut, bertolak pinggang di depan Samuel dan bernyanyi. "Hepi ya ya ya...Hepi ye ye ye...Saya senang jadi anak Tuhan.... Jes jes jes kereta apiku menuju sekolah minggu..."

"Ann, masuk ke kamar! Yeah ampun! Ose pipis di celana ya!"

Samuel masih sulit mengartikan pemandangan dihadapannya, saat anak perempuan berwajah manis, mempunyai kulit kuning langsat itu berlari menghindari tangkapan tangan mamanya. "Mama tidak suka ya, ose keluar kamar..." Anak perempuan tersebut, berlari masuk ke kamarnya sambil mengucapkan kalimat tersebut berulang-ulang.

"Nyong, siapa?"

"Beta, nama..."

"Beta sudah bilang, jangan datang ke beta punya rumah. Beta sudah bilang, jangan belajar kelompok di beta punya rumah." John muncul dari kamar, tempat dimana anak tersebut keluar. Tangannya langsung menarik kerah baju Samuel. "Ose tidak mengerti kah?! Beta harus bilang itu ulang-ulang dengan bahasa apa?! Bahasa Inggris?! Bahasa Jepang?! Jika beta bicara dengan bahasa Indonesia dan bahasa Ambon. Tapi, ose tidak pernah mau mengerti. Heh?!" John mengepal tangannya dan mengangkat ke atas.

"John, sudah jua..." Perempuan yang meminta anak perempuannya masuk, menurunkan tangan John, berdiri diantara John dan Samuel. Suara tangisan terdengar lirih. "Jangan pukul dia, John. Dia tidak tahu apa-apa..." Perempuan tersebut mengusap aor matanya, dan berbalik menatap Samuel. "Nyong, duduk e. Mama Aya buat teh manis buat nyong e."

"Danke, Mama Aya..." Ibu Sarah, yang biasa dipanggil Mama Aya meninggalkan Samuel dan John.

Samuel merapikan kerah bajunya yang ditarik John. Samuel menarik napas lega. Dia berterima kasih atas pertolongan Mama Aya, sehingga dia bisa terhindar dari jurus tinju Elias Pical, yang hampir dilontarkan John ke wajahnya. Samuel duduk di sofa. John tetap berdiri di depan pintu kamar, menahan marah, heran dan haru atas keberanian Samuel. Sahabat yang baru datang dari Jakarta yang berani menentang keegoisannya yang selama ini tidak mau mengadakan belajar kelompok di rumahnya. Sebab, Samuel benar-benar peduli padanya dan keluarganya. Perkara sore ini, juga menempatkan John pada dua pilihan. John mau terbuka kepada Samuel, atau membiarkan Samuel minum teh manis dan tinggalkan rumahnya secepatnya.

***

(Writer : Johanna Ririmasse)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun