Mohon tunggu...
Johanna Ririmasse
Johanna Ririmasse Mohon Tunggu... Wiraswasta - Menulis

L.N.F

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Senja di Semarang!

17 Mei 2016   17:24 Diperbarui: 20 Mei 2016   14:42 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : Dokumen Pribadi

“Hari ini kita akan ke mana?”

“Jihan, Lizi tanya tentang perjalanan kita hari ini?”

“Mey, aku sih ikut saja rencana kalian.”

“Apa kamu bilang? Aku nggak dengar nih!” Mey masih bertanya. Jihan mematikan keran air di kamar mandi. “Aku sih ikut saja rencana kalian.”

“Oh!” Suara Mey menyahut, singkat.

Byuuurr! Suara air yang mengucur terdengar dari balik pintu kamar mandi. Jihan sedang mandi. Mey dan Lizi sedang berdandan sambil menyiapkan rencana perjalanan hari ini. Beberapa tempat wisata akan menjadi destinasi mereka di tempat ini. Lizi sudah mengusulkan untuk mengunjungi 9 candi terkenal di tempat ini. Mey ingin mengunjungi istana tempat pemerintahan sementara yang pernah ditempati pemerintah dulu. Lizi mengeluarkan daftar rencana perjalanan liburan dan mengatakan beberapa destinasi wisata. Mey membuka aplikasi telepon genggam mencari alamat dan transportasi menuju ke tempat wisata yang ingin dikunjungi.

“Jihan, kamu benar-benar tidak punya ide nih?”

“Aku baru pertama kali ke Semarang, Lizi.” Jihan memakai sepatu dan menggantungkan tas pinggangnya. “Aku ikut saja perjalanan kalian. Namun, saat tiba di tempat wisata tersebut. Aku akan memilih apa yang benar-benar aku nikmati dan itu yang aku butuhkan.”

“Nah, Lizi. Kamu sudah tahu dia kan?” Mey menatap Lizi dan tersenyum bersama. Lizi memang sudah pernah ke Thailand bersama Jihan, sahabatnya. Dia sebenarnya sudah memahami Jihan untuk beberapa hal tentang liburan. Jihan akan mengikuti setiap rencana tempat wisata, jika dia baru pertama kali ke sana. Namun, saat tiba di tempat wisata tersebut mereka akan berpisah dengan sendirinya. Sebab, Jihan senang menikmati apa yang sungguh-sungguh disenanginya, memotret atau menulis sesuatu di sana.

Jihan pun sudah mempercayakan rencana liburan ini untuk Lizi. Pengalaman berlibur bersama Lizi adalah hal yang menyenangkan baginya. Lizi itu perencana dan praktis. Dia tak akan meragukan Lizi tentang apa yang sudah direncanakan akan diwujudkan. Tempat wisata yang dipilih Lizi juga bernilai histori, unik dan indah. Hal tersebut yang membuat Jihan senang berlibur bersama Lizi. “Kita berangkat sekarang?”

“Oke.” Lizi menyisir rambutnya. “Kamu jangan lupa minum teh yang sudah disiapkan.”

“Akhirnya, kita bisa berlibur bertiga, friends.” Mey tampak bahagia dengan liburan bersama tahun ini. Kebahagiannya semakin bersinar dari balik kaos berwarna merah yang dikenakannya. Mey, Lizi dan Jihan pun memulai perjalanan pertama liburan mereka di kota Semarang.

Udara pagi kota Semarang terasa sejuk dan bersih. Beberapa pohon yang rindang tampak berdiri asri di tepi jalan. Rumah-rumah penduduk dan tempat fasilitas umum yang berwarna putih dan bergaya Belanda dan Portugis, seperti membawa kita ke perjalanan sejarah masa lalu. Di sudut-sudut kota tempat kami menginap ini, tampak berdiri bangunan yang kokoh dan unik, yang mengungkapkan pelajaran sejarah masa lalu. Ketika pembangunan yang berawal dari sebuah momentum penjajahan ternyata tampak kokoh, unik dan merata. Bagaimana ketika pembangunan yang berawal dari sebuah momentum kemerdekaan? Apakah pembangunan juga akan kokoh, unik dan merata untuk seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Tanpa ada bagian masyarakat yang merasa tidak diperhatikan?! Tanpa ada bagian sektor pembangunan yang merasa diabaikan?!

“Ayo, kita makan dulu lumpia asli Semarang.”

“Ayo!” Jihan dan Lizi menyetujui ajakan Mey. Tentu saja, makan lumpia asli semarang juga merupakan kuliner pertama di Semarang.

“Oh iya. Kita nanti ke Candi gedong sewu ya.”

“Oke.” Jihan menyetujui rencana Lizi sambil menikmati lumpia asli Semarang.

Perjalanan hari pertama di kota Semarang tak terasa berlalu begitu cepat. Bus kota yang mengantar mereka telah mempertibakan mereka di tempat wisata candi gedong sewu. Mereka membeli tiket di loket dan masuk ke tempat wisata candi gedong sewu. Pengunjung wisata di candi gedung sewu ternyata banyak sekali. Para wisatawan ada yang dari luar kota dan didalam kota. Beberapa mobil dan bus yang mengantar para wisatawan, bertuliskan plat nomor yang menjelaskan dari mana kendaraan tersebut berasal. Para penduduk kota Semarang yang memanfaatkan dan melestarikan budaya khas Semarang, menjual souvenir khas semarang di pintu masuk candi gedung sewu.

“Berapa, Pak?”

Lizi bertanya tentang harga tiket kepada petugas loket. Lizi pun membayar harga tiket dan mereka pun masuk. Beberapa undak-undak seperti tangga telah menyambut mereka menuju jalan ke setiap candi. Ternyata, candi di gedung sewu ini terdiri dari 9 candi yang dibangun pada zaman Sriwijaya. Setiap candi mengukir keunikan dan sejarah masing-masing. Mey, Lizi dan Jihan pun mengabadikan setiap momen di setiap candi. Jihan sesekali menarik diri dari Mey dan Lizi. Perempuan berambut ikal tersebut asyik dengan memotret pemandangan di sisi candi. Bunga-bunga berwarna-warni tumbuh dengan indahnya. Tangannya menyentuh dan mengusap setiap kelopak bunga dengan ringan dan lembut. Semaraknya rumpun bunga yang bergoyang ditiup angin senja, seperti meliuknya jemari lentik tangan-tangan penari. Setiap kuncup bunga yang mulai berkembang, nampak seperti sebait puisi yang menanti tangan pujangga yang menoreh aksara mengembangkan rasa.

“Jihan, kamu ambil gambar aku ya.”

“Oke.” Jihan mengangguk kepada Lizi, mengikuti petunjuknya bagaimana memotret sesuai dengan keinginan Lizi. Jihan yang sudah memahami Lizi, tak kesulitan mengikuti petunjuknya. Cahaya bliz menyentak saat Jihan memotret Lizi diantara bunga-bunga. Mey juga datang mengikuti mereka dan minta dipotret juga. Mereka akhirnya mengabadikan momen bersama diantara bunga-bunga berwarna-warni di sisi candi yang dikunjungi.

Friends, aku nggak naik sampai di candi terakhir ya. Aku tunggu kalian di sini saja ya.” Mey menyerah melanjutkan perjalanan untuk naik setiap tangga, menuju candi yang terakhir. Lizi dan Jihan mengangguk dan mengerti. Mereka pun naik tangga menuju candi terakhir di puncak.

Senja di puncak gunung terasa sangat berbeda dengan senja di tepi pantai. Rasanya, ini adalah hal pertama yang terbesit dipikiran Jihan.

Senja di pantai. Kita memandang mentari senja diatara luasnya laut. Semburat jingga di kaki langit. Mentari senja yang berwarna coklat keemasan menjatuhkan bayangan di air laut. Kita dekat bahkan ada di laut, namun terasa jauh bila kita memandang laut di seberang sana. Setiap bayangan yang jatuh di tepi pantai dan di air laut, mengingatkan kita akan keberadaan kita. Kita tidak akan pernah menyatu dengan bayangan tubuh kita sendiri. Terkecuali, kita memandang ke dalam diri kita sendiri. Kiasan ini dapat kita umpamakan dengan keberadaan kita dengan Tuhan. Kita adalah manusia dan Tuhan adalah pencipta kita. Kita akan menyatu dengan Sang Pencipta ketika kita memandang diri kita didalam kebenaranNya.

Senja di puncak gunung mengantar kita dekat dengan langit. Kita seperti hidup di alam terbuka dengan langit sebagai atap rumah kita. Semburat warna jingga merona di langi biru. Mentari senja yang berwana coklat keemasan memancarkan cahaya yang lembut. Kita memandang ke bawah seperti menatap kemegahan dunia. Kita memandang keperkasaan tangan manusia yang membangun setiap pengetahuan dan kekuasaan. Kita menemukan bahwa manusia bagaikan tuhan-tuhan kecil yang menciptakan sesuatu, untuk melanjutkan dan memelihara kehidupan. Kehidupan untuk dirinya dan sesamanya. Kehidupan di sebuah kota. Kehidupan di sebuah negara. Kehidupan di dunia dengan segala kesederhanaan dan kemegahaannya.

Namun, di sisi yang berbeda. Pemandangan tersebut juga membuka mata hati kita. Kita sujud dan sungkur di bawah atap langit jingga yang terbentang luas. Kita merasa dekat dengan Tuhan Pencipta alam semesta diantara jarak. Namun, kita juga semakin jauh dengannya diantara setiap pemikiran. Diantara, rancangan dan perbuatan kita. Kita menyadari perbedaan kita dengan Tuhan Pencipta Alam semesta ini dalam setiap karya cipta kita. Tuhan menciptakan matahari senja yang tampak kecil tersebut dalam pandangan kita, untuk menerangi dunia yang luas ini dan bagi semua ciptaannya yang hidup. Tanpa memandang rupa. Apa yang diciptakannya dapat kita nikmati, kita potret dan kita abadikan dengan bebas. Dia menciptakan untuk memberi kehidupan dan kesejahteraan. Apa yang diciptakan abadi dan kekal. Oleh karena itu, Dia selalu ada disetiap apa yang diciptakanNya. Dia yang besar. Dia yang berkuasa.

“Jihan, bagaimana? Kita pulang sekarang?”

“Oke.”

Lizi dan Jihan berjalan turun menapaki setiap anak tangga. Mentari senja yang sudah tenggelam mengantar perjalan turun mereka. Mey yang sudah menunggu di bawah menyambut kedatangan Lizi dan Jihan. Mereka bertiga pun berjalan bersisian keluar dari tempat wisata, yang menjadi destinasi terakhir dari perjalanan wisata hari ini. Mereka naik bis kota yang mengantar mereka kembali ke tempat penginapan mereka. Keramaian kota semarang pun tampak di depan mata. 

Gedung-gedung, rumah-rumah dan jalan-jalan yang ramai oleh kendaraan dan pengguna jalan raya tampak saling berbagi. Beberapa pengendara angkot saling menyapa riang. Mey, Lizi dan Jihan juga saling bercanda dan tertawa bahagia menyusuri setiap jalan kota semarang. Mereka menikmati malam di simpang lima Semarang. Mereka memilih makan di sudut jalan bersama penduduk maupun wisatawan, yang juga sedang menikmati malam di simpang lima Semarang. Tanpa memandang rupa. Mereka duduk menikmati dan mengucap syukur pada Tuhan untuk makan malam di simpang lima kota Semarang.

***

(Writer : Johanna Ririmasse)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun