Mohon tunggu...
Johanna Ririmasse
Johanna Ririmasse Mohon Tunggu... Wiraswasta - Menulis

L.N.F

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Senja di Semarang!

17 Mei 2016   17:24 Diperbarui: 20 Mei 2016   14:42 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : Dokumen Pribadi

Friends, aku nggak naik sampai di candi terakhir ya. Aku tunggu kalian di sini saja ya.” Mey menyerah melanjutkan perjalanan untuk naik setiap tangga, menuju candi yang terakhir. Lizi dan Jihan mengangguk dan mengerti. Mereka pun naik tangga menuju candi terakhir di puncak.

Senja di puncak gunung terasa sangat berbeda dengan senja di tepi pantai. Rasanya, ini adalah hal pertama yang terbesit dipikiran Jihan.

Senja di pantai. Kita memandang mentari senja diatara luasnya laut. Semburat jingga di kaki langit. Mentari senja yang berwarna coklat keemasan menjatuhkan bayangan di air laut. Kita dekat bahkan ada di laut, namun terasa jauh bila kita memandang laut di seberang sana. Setiap bayangan yang jatuh di tepi pantai dan di air laut, mengingatkan kita akan keberadaan kita. Kita tidak akan pernah menyatu dengan bayangan tubuh kita sendiri. Terkecuali, kita memandang ke dalam diri kita sendiri. Kiasan ini dapat kita umpamakan dengan keberadaan kita dengan Tuhan. Kita adalah manusia dan Tuhan adalah pencipta kita. Kita akan menyatu dengan Sang Pencipta ketika kita memandang diri kita didalam kebenaranNya.

Senja di puncak gunung mengantar kita dekat dengan langit. Kita seperti hidup di alam terbuka dengan langit sebagai atap rumah kita. Semburat warna jingga merona di langi biru. Mentari senja yang berwana coklat keemasan memancarkan cahaya yang lembut. Kita memandang ke bawah seperti menatap kemegahan dunia. Kita memandang keperkasaan tangan manusia yang membangun setiap pengetahuan dan kekuasaan. Kita menemukan bahwa manusia bagaikan tuhan-tuhan kecil yang menciptakan sesuatu, untuk melanjutkan dan memelihara kehidupan. Kehidupan untuk dirinya dan sesamanya. Kehidupan di sebuah kota. Kehidupan di sebuah negara. Kehidupan di dunia dengan segala kesederhanaan dan kemegahaannya.

Namun, di sisi yang berbeda. Pemandangan tersebut juga membuka mata hati kita. Kita sujud dan sungkur di bawah atap langit jingga yang terbentang luas. Kita merasa dekat dengan Tuhan Pencipta alam semesta diantara jarak. Namun, kita juga semakin jauh dengannya diantara setiap pemikiran. Diantara, rancangan dan perbuatan kita. Kita menyadari perbedaan kita dengan Tuhan Pencipta Alam semesta ini dalam setiap karya cipta kita. Tuhan menciptakan matahari senja yang tampak kecil tersebut dalam pandangan kita, untuk menerangi dunia yang luas ini dan bagi semua ciptaannya yang hidup. Tanpa memandang rupa. Apa yang diciptakannya dapat kita nikmati, kita potret dan kita abadikan dengan bebas. Dia menciptakan untuk memberi kehidupan dan kesejahteraan. Apa yang diciptakan abadi dan kekal. Oleh karena itu, Dia selalu ada disetiap apa yang diciptakanNya. Dia yang besar. Dia yang berkuasa.

“Jihan, bagaimana? Kita pulang sekarang?”

“Oke.”

Lizi dan Jihan berjalan turun menapaki setiap anak tangga. Mentari senja yang sudah tenggelam mengantar perjalan turun mereka. Mey yang sudah menunggu di bawah menyambut kedatangan Lizi dan Jihan. Mereka bertiga pun berjalan bersisian keluar dari tempat wisata, yang menjadi destinasi terakhir dari perjalanan wisata hari ini. Mereka naik bis kota yang mengantar mereka kembali ke tempat penginapan mereka. Keramaian kota semarang pun tampak di depan mata. 

Gedung-gedung, rumah-rumah dan jalan-jalan yang ramai oleh kendaraan dan pengguna jalan raya tampak saling berbagi. Beberapa pengendara angkot saling menyapa riang. Mey, Lizi dan Jihan juga saling bercanda dan tertawa bahagia menyusuri setiap jalan kota semarang. Mereka menikmati malam di simpang lima Semarang. Mereka memilih makan di sudut jalan bersama penduduk maupun wisatawan, yang juga sedang menikmati malam di simpang lima Semarang. Tanpa memandang rupa. Mereka duduk menikmati dan mengucap syukur pada Tuhan untuk makan malam di simpang lima kota Semarang.

***

(Writer : Johanna Ririmasse)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun