Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas, pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Mata Pena, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Lima Faktor Penyebab Anak SMP Nggak Bisa Baca

25 September 2024   08:23 Diperbarui: 25 September 2024   08:25 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tadi sempat baca share temen di FB. Intinya, ada anak SMP tapi belum bisa baca. Saya pun komen, nggak kaget. Sekarang ini kita menuju negeri terbalik dengan semangat Kartini: Habis Terang Terbitlah Gelap.

Fenomena anak SMP nggak bisa baca karena memang sistem pendidikan kita amburadul. Kurikulum yang mestinya jadi alat untuk mencapai kompetensi justru mengamputasi tujuan itu. Ada lima bukti, yakni dibatasinya peran guru, banyaknya beban murid dan guru, ditiadakannya ujian, bebasnya asal guru, dan hilangnya peran orang tua.

Dibatasinya Peran Guru

Sekarang itu guru tidak lagi menjadi penentu yang berhak menaikkan atau menidaknaikkan murid. Pokoknya murid harus dinaikkan, apapun kondisinya. Itu jelas konyol. Menaikkan murid ke kelas berikutnya adalah bentuk apresiasi atas prestasinya. Menidaknaikkan murid adalah bentuk pembelajaran bagi anak dan orang tuanya agar belajar lebih sungguh-sungguh. Paham to?

Bila ada murid SMP tak bisa baca, jangan disalahkan guru SMP. Guru SMP tentu akan menjawab, "Anak nggak bisa baca kok bisa lulus SD?"

Di sinilah akan terjadi debat kusir yang berkepanjangan karena guru SD tentu tak mau jadi kambing hitam sebagai pihak yang layak disalahkan.

Banyaknya Beban Murid dan Guru

Saat ini, setiap murid harus mempelajari puluhan pelajaran dalam satu jenjang. Bayangin saja, anak disuruh belajar sesuatu yang belum tentu dibutuhkan untuk masa depannya. Coba di awal tahun pelajaran, setiap murid hanya belajar sesuatu yang disukainya. Caranya, lakukan survey atau angket yang diisi murid dengan sepengetahuan orang tuanya. Kita arahkan si murid mencapai mimpinya itu.

Guru juga begitu. Banyaknya beban guru membuatnya malas mendidik murid penuh dedikasi. Bagaimana mungkin guru bisa konsentrasi mengajar bila setumpuk beban administrasi harus dikerjakan sendiri tanpa bisa diwakilkan. Mulai perangkat mengajar, tugas tambahan guru, hingga urus PMM. Praktis guru tak punya waktu cukup untuk mendidik murid secara serius. Bahkan mudah dijumpai guru yang tengah menyelesaikan tugas administrasi sambal mengajar muridnya di kelas.

Ditiadakannya Ujian

Ujian itu penting banget lo. Ujian itu akan menguatkan tekad. Coba bayangin hidup tanpa ujian. Semua disediakan bak raja yang selalu dilayani sesuai keinginannya. Pasti anak-anak akan jadi manusia lembek. Itu berlaku juga pada anak sekolah.

Ujian itu sangat berguna untuk memotivasi belajar murid. Mereka akan berlomba-lomba mendapatkan nilai tertinggi. Bahkan, mereka rela ikut les meski berbiaya mahal. Tapi apa lacur. Sekarang nggak ada lagi ujian. Katanya, semua anak berhak mendapatkan pendidikan. Jadi, buat apa ada ujian? Ambyar..!!! La mau naik pangkat kok nggak disuruh ujian. Sama saja masukin anak ke neraka kebodohan.

Bebasnya Asal Guru

Guru itu profesi sangat terhormat. Sangat tinggi derajatnya karena mencetak kualitas sumber daya manusia. Tinggi-rendahnya kualitas pendidikan sangat ditentukan oleh kualitas guru. Karena itulah, guru tidak boleh berasal dari sembarang orang. Calon guru harus berasal dari kawah candradimuka guru, yakni Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK). Tapi coba sekarang tengok asal guru. Ada sarjana hukum jadi guru. Ada sarjana teknik jadi guru. Ada sarjana ilmu murni jadi guru.

Ingat, tugas guru nggak cuma mengajar atau menyampaikan ilmu. Kalau hanya peran itu, google sudah memberikan lebih dari cukup. Guru itu lebih berperan pada pembentukan karakter sebagai pelengkap ilmunya. Makanya, calon guru itu perlu belajar ilmu pedagogik dan ilmu pendidikan. Buah dari semrawutnya ini adalah makin maraknya "murid istimewa" karena tidak dididik oleh pendidik.

Hilangnya Peran Orang Tua

Keberhasilan pendidikan nggak cuma ditentukan oleh sekolah dan guru, tapi juga peran orang tua. Anak di sekolah itu paling cuma jam 07.00 -- 14.00 atau sekitar 7 jam. Sehari ada 24 jam. Artinya, ada 17 jam per hari yang menjadi tanggung jawab orang tua. Ini yang sering dilupakan.

Mestinya orang tua dioptimalkan perannya bila anaknya tak bis abaca. Orang tua diberitahu bahwa anaknya belum lancar membaca. Agar tidak ketinggalan pelajaran, guru menyarankan orang tua agar anaknya diberikan les. Itu ranah orang tua, bukan guru lagi. La sekarang dikit-dikit guru. Ortu sibuk bekerja? Sama, guru juga sibuk ngurus ratusan anak, nggak Cuma ngurus 1-2 anak yang nggak bisa baca tadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun