Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas, pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, 30 pengarang dongeng terbaik Kemdikbud 2024, pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Mata Pena, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketimpangan yang Amat Parah

24 Januari 2018   16:55 Diperbarui: 24 Januari 2018   16:59 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Nama saya Bu X, ngajar di SMPN 10 Ngabang Kabupaten Landak Kalimantan Barat. Di sekolah saya hanya ada 10 guru. Jadi, satu guru bisa mengajar beberapa mata pelajaran" cerita bu guru itu suatu hari dalam sebuah seminar.

---

Bayangkan, sebuah SMP Negeri hanya memiliki 10 guru, sedangkan guru jenjang SMP adalah guru mata pelajaran, bukan guru kelas. Akibatnya, satu guru mengampu beberapa mata pelajaran meskipun tidak linear ijazahnya.

Cerita di atas merupakan satu dari sekian puluh cerita senada yang pernah saya dengar langsung dari teman-teman guru di luar Pulau Jawa. Ada ketimpangan yang sangat luar biasa antara kebutuhan guru dengan distribusinya.

Di Jawa, jumlah guru sedemikian melimpah hingga banyak guru kesulitan memenuhi kewajiban 24 jam tatap muka setiap minggunya. Akhirnya, guru kelimpungan mencari sekolah lain guru mencukupi jumlah jam minimal tersebut.

Di Medan, Padang, Pontianak, Samarinda, Palangkaraya, Belitong, Makassar, Manado, Ambon, Papua dan daerah 3 T, jumlah guru sedemikian sedikit sehingga sekolah kelimpungan untuk memenuhi kewajiban memberikan pendidikan kepada anak-anak.

Sekarang, bandingkan dengan lulusan LPTK. Kompas mencatat, jumlah sarjana pendidikan mencapai 254.669 orang. Dengan memperhatikan jumlah itu, akan diapakan sarjana pendidikan itu: disuruh jadi guru honorer dengan upah sekadarnya di Jawa atau ditawarkan untuk mengajar ke sekolah-sekolah yang amat membutuhkan kesarjanaannya?

Berkali-kali saya pernah menulis, bahwa telah terjadi kesalahan fatal atas kebijakan di bagian hulu LPTK. Dahulu, begitu mudahnya perguruan tinggi membuka program studi keguruan (baca: FKIP) tanpa dibarengi oleh ketersediaan lapangan kerja (baca: sekolah penampung).

Tahun 2018 - 2020 merupakan puncak gunung es dunia pendidikan karena akan terjadi ratusan ribu guru memasuki masa pensiun. Saat itulah akan terjadi situasi yang sangat membahayakan dunia pendidikan karena adanya ketimpangan pengangkatan CPNS guru dengan kebutuhannya.

Saya sangat berharap agar ada penataan yang komprehensif dan visioner sehingga masalah ketimpangan guru akibat kesalahan distribusi tidak terjadi lagi.

Catatan:

Tulisan di atas juga diunggah ke facebook saya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun