Oleh Johan Wahyudi
Ketua IGI Soloraya
Â
Akhir tahun ini, bangsa Indonesia akan mengadakan hajat nasional, yaitu Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak. Tercatat ada 204 daerah yang akan menggelar Pilkada secara serentak pada 2015. Komisi Pemilihan Umum (KPU)Â telah menjadwal pelaksanaan Pilkada 2015, yaitu masa pendaftaran calon kepala daerah 26-28 Juli 2015 dan pelaksanaan Pilkada pada 9 Desember 2015.
Gaung Pilkada langsung menggema. Di banyak tempat dan media, kita mudah menemukan alat peraga atau atribut kampanye calon kepala daerah. Bahkan, kita juga mudah menemukan iklan mereka yang dimuat di media cetak atau ditayangkan media elektronik. Dengan terus memajang atribut kampanye atau memasang iklan itu, para calon kepala daerah berharap agar masyarakat mengenal mereka dan masyarakat memilihnya.
Guru merupakan bagian masyarakat yang sering dijadikan objek kampanye. Strategi itu bukanlah hal baru yang dilakukan para calon kepala daerah. Mereka mengetahui bahwa guru memang memiliki banyak kelebihan dibandingkan profesi lainnya. Ada tiga kelebihan yang dimiliki guru dibandingkan profesi lain, yaitu pengaruh di masyarakat, solidnya solidaritas, dan jumlah yang sangat besar.
Ketiga, tingginya pengaruh di masyarakat. Di banyak tempat, guru sering dijadikan pengurus organisasi social kemasyarakatan dan atau organisasi profesi. Ini berarti bahwa guru tentu memiliki tingkat keterpengaruhan yang sangat tinggi kepada lingkungannya. Potensi ini jelas memberikan keuntungan untuk mendulang suara jika kaum guru dapat dirangkul.
Kedua, solidnya solidaritas. Dibandingkan anggota profesi lain, guru mungkin merupakan profesi yang memiliki keterikatan emosi dan profesi yang paling kuat. Di mana saja dan kapan saja, guru mudah disatukan karena mereka memiliki kesamaan nasib. Kesamaan nasib ini melahirkan solidaritas yang sangat kuat sehingga mereka tak segan-segan memberikan dukungan kepada anggota yang mendapat masalah. Dukungan ini pun diberikan mereka kepada rekan guru yang ingin maju menjadi anggota DPRD, DPR, DPD, atau bahkan kepala daerah.
Ketiga, jumlahnya yang sangat banyak. Jumlah guru di Indonesia tercatat sekitar 4,7 juta orang. Jumlah itu akan bertambah jika guru honorer atau wiyata bakti dihitung. Di setiap daerah, jumlah guru pasti juga paling banyak dibandingkan jumlah pegawai di satuan kerja lain. Jumlah itu akan kian bertambah karena guru tentu memiliki anggota keluarga yang sudah memiliki hak suara.
Mudahkan Urusan Guru
Jumlah guru yang sangat banyak ini tentu akan menjadi rebutan para calon kepala daerah. Mereka tentu akan berusaha sekuat tenaga agar mendapat dukungannya. Oleh karena itu, bujuk-rayu dan janji-janji pun mulai dilontarkan. Namun, cara-cara itu tentu tidak akan efektif karena guru tentu berpikiran maju dan cerdas sehingga mereka tidak mudah dibujuk rayu begitu saja.
Untuk mendapatkan simpati guru, para calon kepala daerah perlu memperhatikan tiga hal berikut. Pertama, perhatikan kesejahteraan. Banyak guru, khususnya guru non-PNS, belum mendapat penghasilan yang layak meskipun sudah mengabdikan diri bertahun-tahun. Bertahun-tahun pula mereka hanya disuguhi janji-janji oleh kepala daerahnya tanpa satu pun yang ditepati.
Bagi guru yang tersertifikasi, Tunjangan Profesi Guru (TPG) pun sering terlambat pencairannya. Masalah hak kesejahteraan ini sering menjadi bahan diskusi di internal guru sehingga dapat menghambat kinerjanya. Oleh karena itu, calon kepala daerah perlu memperhatikan masalah ini dan memberikan solusinya.
Kedua, birokrasi kontraproduktif. Banyak guru dirugikan dengan beragam kebijakan kontraproduktif. Jika guru naik haji, umroh, kuliah, atau sakit, TPG diancam dipotong. Guru tentu was-was dengan kebijakan itu. Seharusnya kepala daerah mendukung niat luhur guru untuk naik haji, umroh, atau kuliah demi pembentukan karakter ketakwaan dan meningkatkan profesionalitas. Bahkan, sungguh sangat ironis jika TPG guru dipotong karena sakit sehingga tidak bisa mengajar. Adakah guru yang ingin sakit?
Jika toh TPG harus dipotong karena naik haji atau beribadah umroh, hendaknya informasi itu disampaikan secara santun yang tidak bernada mengintimidasi guru. Guru pasti memaklumi pemotongan TPG karena memang sedang mengambil hak cuti. Informasi dengan nada intimidasi jelas kontraproduktif karena guru akan dihantui perasaan takut.
Ketiga, perhatikan kariernya. Banyak guru terhambat kariernya tanpa sebab yang jelas meskipun guru-guru itu sudah menyumbang prestasi terbaik bagi daerahnya. Banyak guru tidak lolos penjaringan kepala sekolah atau seleksi jabatan lain meskipun memiliki sederet pengalaman dan prestasi. Jika calon kepala daerah berani menjamin kariernya, pasti guru akan memberikan dukungan.
Guru memang jarang memikirkan kariernya karena perhatiannya tertuju kepada tugas pokok dan fungsinya. Terlebih beban mengajar guru mencapai 24 jam per minggu yang jelas menuntut manajemen waktu, fisik, dan tugas yang sangat ketat. Meskipun demikian, guru tidak berarti menanggalkan keinginannya untuk berkarier. Karena itulah, guru selalu berusaha mengikuti beragam kompetisi dengan biaya sendiri. Semangat ini mestinya dihargai kepala daerah dengan menjamin kariernya agar prestasinya itu dapat ditiru oleh guru lain, para siswa, dan masyarakat pendidikan.
Guru itu profesi yang sangat mulia karena menjadi subjek pembentukan generasi bangsa. Guru selalu berusaha meningkatkan kompetensinya dengan biaya sendiri meskipun bertumpuk-tumpuk tugas harus diselesaikannya. Meskipun sudah berusaha sekuat tenaga, toh banyak orang masih beranggapan bahwa tugas guru hanya mengajar.
Mengajar hanya satu dan tujuh tugas guru lainnya dan keenam tugas lain tidak dipahami oleh mereka. Oleh karena itu, semestinya guru mendapatkan beragam kemudahan dari kepala daerah agar mereka nyaman bekerja. Kepala daerah harus menjamin kariernya, mendukung upaya guru yang ingin meningkatkan profesionalitasnya, dan memperhatikan kesejahteraannya.
Dengan kenyamanan yang diberikan, tentu guru akan mampu meraih prestasi tinggi yang kelak dapat memberikan kontribusi bagi peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) daerahnya. Jika prestasi itu mampu diraih guru, kepala daerah jelas akan terangkat namanya. Maka, kepala daerah seharusnya menghargai prestasi guru dengan memberikan kesempatan kepadanya untuk berkarier. Inilah kepala daerah dambaan para guru.
Catatan:
Artikel di atas telah dimuat Koran Joglosemar Selasa, 25 Agustus 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H