Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas, pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, 30 pengarang dongeng terbaik Kemdikbud 2024, pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Mata Pena, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Nasib Sekolah Pinggiran

6 Agustus 2015   00:31 Diperbarui: 6 Agustus 2015   00:31 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sistem pendidikan kita masih sering menggunakan tolok ukur kuantitas untuk menentukan kualitas. Di Finlandia, satu kelas hanya diisi 10-15 siswa sehingga guru dapat mengajar para siswa dan bisa pula memantau perilaku mereka di luar kelas. Karena keefektivan kelas itu, sangat wajar mastering of learningatau ketuntasan belajar mudah dicapai. Di Indonesia, guru dihadapkan pada jumlah siswa yang teramat banyak sehingga sangat sulit memantau setiap perilaku siswanya.

Ketiga, pembatasan migran siswa. Banyak siswa berprestasi loncat atau mendaftarkan diri ke sekolah di luar daerahnya. Gejala ini masif terjadi karena ada anggapan buruk bahwa sekolah di daerahnya kurang berkualitas. Ada semacam kebanggaan jika bisa diterima di sekolah tertentu meskipun berada di luar daerahnya.

Pemerintah perlu mengajak kerja sama dengan semua sekolah agar para siswanya tidak bermigrasi ke daerah lain. Sekolah asal harus dibanggakan karena itu bagian dari rasa cinta tanah air. Untuk membendung migrasi itu, pemerintah dan sekolah perlu memotivasi guru agar meningkatkan prestasi sekolahnya. Reward perlu diberikan bagi guru dan sekolah yang mampu memenuhi target jumlah siswa.

Jika ketiga kebijakan di atas dilakukan pemerintah, kondisi pendidikan tentu dapat berubah. Sekolah-sekolah favorit tak lagi menjadi idaman orang tua karena sekolah pinggiran pun dapat berprestasi. Pemerataan jumlah siswa setiap sekolah juga mampu dicapai sehingga dapat menghindari gesekan antarsekolah dan antarguru. Bibit-bibit unggul yang dimiliki siswa tidak hanya dimiliki sekolah-sekolah favorit. Dari kebijakan itulah, terbangun sinergisitas pembangunan bidang pendidikan yang komprehensif.

Catatan:

Artikel ini telah dimuat Koran Joglosemar, 5 Agustus 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun