Sistem pendidikan kita masih sering menggunakan tolok ukur kuantitas untuk menentukan kualitas. Di Finlandia, satu kelas hanya diisi 10-15 siswa sehingga guru dapat mengajar para siswa dan bisa pula memantau perilaku mereka di luar kelas. Karena keefektivan kelas itu, sangat wajar mastering of learningatau ketuntasan belajar mudah dicapai. Di Indonesia, guru dihadapkan pada jumlah siswa yang teramat banyak sehingga sangat sulit memantau setiap perilaku siswanya.
Ketiga, pembatasan migran siswa. Banyak siswa berprestasi loncat atau mendaftarkan diri ke sekolah di luar daerahnya. Gejala ini masif terjadi karena ada anggapan buruk bahwa sekolah di daerahnya kurang berkualitas. Ada semacam kebanggaan jika bisa diterima di sekolah tertentu meskipun berada di luar daerahnya.
Pemerintah perlu mengajak kerja sama dengan semua sekolah agar para siswanya tidak bermigrasi ke daerah lain. Sekolah asal harus dibanggakan karena itu bagian dari rasa cinta tanah air. Untuk membendung migrasi itu, pemerintah dan sekolah perlu memotivasi guru agar meningkatkan prestasi sekolahnya. Reward perlu diberikan bagi guru dan sekolah yang mampu memenuhi target jumlah siswa.
Jika ketiga kebijakan di atas dilakukan pemerintah, kondisi pendidikan tentu dapat berubah. Sekolah-sekolah favorit tak lagi menjadi idaman orang tua karena sekolah pinggiran pun dapat berprestasi. Pemerataan jumlah siswa setiap sekolah juga mampu dicapai sehingga dapat menghindari gesekan antarsekolah dan antarguru. Bibit-bibit unggul yang dimiliki siswa tidak hanya dimiliki sekolah-sekolah favorit. Dari kebijakan itulah, terbangun sinergisitas pembangunan bidang pendidikan yang komprehensif.
Catatan:
Artikel ini telah dimuat Koran Joglosemar, 5 Agustus 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H