Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas, pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, 30 pengarang dongeng terbaik Kemdikbud 2024, pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Mata Pena, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Nasib Sekolah Pinggiran

6 Agustus 2015   00:31 Diperbarui: 6 Agustus 2015   00:31 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh Johan Wahyudi

Guru SMP Negeri 2 Kalijambe, Sragen

 

SENIN (3 Agustus 2015), Koran Joglosemar memberitakan informasi perihal dugaan penitipan siswa baru ke sebuah sekolah favorit di Kabupaten Karanganyar. Dugaan penitipan siswa baru itu diketahui setelah beberapa siswa baru mengikuti Masa Orientasi Siswa (MOS). Ternyata jumlah siswa baru yang mengikuti MOS berbeda dengan jumlah siswa baru saat pengumuman Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB)online. Dari sinilah dugaan terjadinya kecurangan PPDB terkuak.

Masa-masa PPDB saat tahun ajaran baru memang sarat dengan potensi kecurangan. Banyak orang tua bersusah-susah agar putra-putrinya dapat diterima di sekolah favorit meskipun prestasi akademik dan nonakademik terbatas. Orang tua tidak berpikir bahwa pemaksaan kehendak kepada anaknya dapat berakibat kontraproduktif. Anak akan tertekan secara psikologis dan sosial.

Karena nilainya di bawah standar, anak tersebut akan minder atau kurang percaya diri ketika bergaul dengan teman sebayanya. Akibatnya, anak tersebut akan mencari teman yang senasib. Maka, sekumpulan anak yang senasib itu dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang cenderung melanggar aturan atau nakal.

Pada kondisi yang demikian, seharusnya orang tua berpikir bijaksana. Mereka tidak perlu memaksa anak untuk menuruti keinginannya. Biarkanlah anak berinteraksi dengan anak sebayanya, baik umur maupun kemampuan    akademis dan nonakademisnya. Justru pemberian kepercayaan itu dapat membangkitkan motivasi kepada anak untuk berprestasi. Terlebih, orang tua memiliki daya dukung financial yang cukup. Dari sinilah sekaligus kita perlu berpikir untuk menyelamatkan sekolah-sekolah pinggiran yang kekurangan murid.

Ada ungkapan bijak yang menyatakan bahwa lebih baik menjadi gajah di kandang semut daripada menjadi gajah di kandang gajah. Ungkapan tersebut bermakna bahwa lebih baik menjadi pribadi yang mampu berprestasi tinggi meskipun berada di lingkungan sederhana. Percuma kita berada di lingkungan favorit tetapi tak satu pun prestasi mampu diraih.

Beberapa pekan lalu, sekolah disibukkan dengan program PPDB. Meskipun termasuk hari libur kenaikan kelas, sekolah harus menyiapkan perangkat Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Tahun Pelajaran 2015/2016. Bagi siswa, kelulusan ini harus diikuti dengan mempersiapkan diri untuk bisa melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Bagi orang tua, kenaikan dan kelulusan ini berarti bahwa mereka harus menyediakan dana yang cukup untuk membiayai kebutuhan anaknya.

Di celah-celah kesibukan itu, muncul kekhawatiran di kalangan guru tentang pemerolehan siswa di sekolahnya. Guru-guru sekolah negeri pinggiran dan swasta resah karena mereka akan menikmati kondisi pahit seperti tahun-tahun sebelumnya. Situasi itu adalah kekurangan siswa di sekolahnya.

Sejak pemerintah menggratiskan biaya pendidikan melalui pemberian Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Dana BOS diberikan berdasarkan jumlah siswa di sekolah sehingga sekolah yang memiliki banyak siswa tentu akan mendapatkan dana BOS yang banyak pula. Maka, terjadilah ‘perang terbuka’ di kalangan sekolah negeri pinggiran dan swasta untuk mendapatkan calon siswa.

Sekolah-sekolah itu merayu calon siswa dengan beragam cara, seperti pemberian bantuan seragam gratis, sepeda, fasilitas antar-jemput, beasiswa dan lain-lain. Informasi pemberian itu masif dilakukan dengan mendatangi sekolah-sekolah sasaran. Maka, sekolah sering mendapat kunjungan rombongan guru dari sekolah-sekolah tertentu untuk mempromosikan sekolahnya. Pada kesempatan itulah, kampanye dilakukan.

Gejala ini sebenarnya sudah dimulai saat memasuki semester genap. Sekolah-sekolah negeri pinggiran dan swasta sering mengadakan kegiatan yang berbau promosi, seperti try out UN, sosialisasi sekolah, dan anjangsana. Saat kegiatan itu digelar, promosi sekolah pun gencar dilakukan.

 

Hukum Rimba

Kondisi di atas tidak akan dikhawatirkan oleh guru-guru di sekolah favorit karena pasti peminatnya akan membludak. Namun, sekolah-sekolah negeri di pinggiran tentu mati kutu. Karena berstatus sekolah negeri, pihak sekolah tak bisa merekayasa aturan meskipun pelanggaran itu bertujuan baik. Jika sekolah melanggar aturan, pasti pimpinan sekolah terkena sanksi.

Sekolah swasta mungkin masih memiliki peluang untuk mengatasi kondisi itu karena sekolah swasta memiliki otoritas untuk menyusun strategi guna mendapatkan siswa baru. Maka, sekolah swasta sering jor-joran memberikan bantuan kepada sekolah sasaran atau calon siswa. Mereka berprinsip bahwa pengeluarannya tetap akan mendapatkan balikan yang sepadan. Bahkan, jumlahnya bisa melebihi pengeluarannya.

Situasi itu ibarat hukum rimba, yaitu si kuat memakan si lemah. Sekolah kuat akan mendapatkan semakin banyak siswa karena didukung oleh dana BOS. Sebaliknya, sekolah miskin akan semakin miskin karena otomatis jumlah dana BOS yang akan diterimanya akan semakin miskin meskipun sekolah itu berstatus negeri.

Berkaca kepada kondisi di atas, seharusnya pemerintah daerah tidak tinggal diam. Sekolah negeri adalah aset pemerintah sehingga harus diselamatkan, baik sekolah negeri di perkotaan maupun pinggiran. Jika penyelamatan tidak dilakukan, sekolah-sekolah negeri yang miskin akan bubar. Dampak penutupan sekolah negeri akan terasa pada system manajemen pengelolaan kepegawaian. Maka, terjadilah efek domino yang luar biasa untuk jangka panjang.

Menyikapi itu, pemerintah daerah dapat menerapkan tiga strategi. Pertama, pembatasan jumlah rombongan belajar (baca: kelas). Banyak sekolah menerima jumlah siswa tanpa batas. Bahkan, banyak sekolah berani menerima siswa meskipun ruang kelas dan sarana-prasarananya belum disediakan. Pengelola sekolah sudah yakin bahwa kekurangan kelas itu akan bisa ditutup dengan perolehan dana BOS.

Berkenaan dengan itu, pemerintah harus bersikap tegas bahwa sekolah negeri dan swasta tidak boleh menerima jumlah siswa yang melebihi kapasitas sekolah. Pelanggaran ketentuan itu perlu dikenai sanksi agar terjadi efek jera. Pemerintah harus turut memikirkan sekolah-sekolah negeri dan swasta yang miskin siswa. Jika pemerintah mendiamkan kondisi itu, sikap itu sama saja pemerintah mengajak bunuh diri.

Kedua, pengurangan jumlah siswa dalam satu kelas. Saat ini, setiap kelas harus diisi minimal 20 siswa dan maksimal 32 siswa. Karena jumlah sekolah semakin banyak, seharusnya regulasi itu diubah dengan mengurangi jumlah siswa dalam satu kelas. Perlu dipahami bahwa semakin sedikit jumlah siswa dalam satu kelas akan berdampak positif karena guru justru bisa melakukan pembelajaran secara efektif.

Sistem pendidikan kita masih sering menggunakan tolok ukur kuantitas untuk menentukan kualitas. Di Finlandia, satu kelas hanya diisi 10-15 siswa sehingga guru dapat mengajar para siswa dan bisa pula memantau perilaku mereka di luar kelas. Karena keefektivan kelas itu, sangat wajar mastering of learningatau ketuntasan belajar mudah dicapai. Di Indonesia, guru dihadapkan pada jumlah siswa yang teramat banyak sehingga sangat sulit memantau setiap perilaku siswanya.

Ketiga, pembatasan migran siswa. Banyak siswa berprestasi loncat atau mendaftarkan diri ke sekolah di luar daerahnya. Gejala ini masif terjadi karena ada anggapan buruk bahwa sekolah di daerahnya kurang berkualitas. Ada semacam kebanggaan jika bisa diterima di sekolah tertentu meskipun berada di luar daerahnya.

Pemerintah perlu mengajak kerja sama dengan semua sekolah agar para siswanya tidak bermigrasi ke daerah lain. Sekolah asal harus dibanggakan karena itu bagian dari rasa cinta tanah air. Untuk membendung migrasi itu, pemerintah dan sekolah perlu memotivasi guru agar meningkatkan prestasi sekolahnya. Reward perlu diberikan bagi guru dan sekolah yang mampu memenuhi target jumlah siswa.

Jika ketiga kebijakan di atas dilakukan pemerintah, kondisi pendidikan tentu dapat berubah. Sekolah-sekolah favorit tak lagi menjadi idaman orang tua karena sekolah pinggiran pun dapat berprestasi. Pemerataan jumlah siswa setiap sekolah juga mampu dicapai sehingga dapat menghindari gesekan antarsekolah dan antarguru. Bibit-bibit unggul yang dimiliki siswa tidak hanya dimiliki sekolah-sekolah favorit. Dari kebijakan itulah, terbangun sinergisitas pembangunan bidang pendidikan yang komprehensif.

Catatan:

Artikel ini telah dimuat Koran Joglosemar, 5 Agustus 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun