Penerapan kurikulum metaverse menurut saya sah sah saja. Kalau tidak, kita akan ketinggalan dalam dunia teknologi canggih dengan negara negara lain.Â
Konsekuensi yang harus di tanggung adalah kita harus membayar mahal terhadap perusahaan pembuat dan yang memproduksi aplikasi ini. Teknologi canggih itu mahal.
Bagi saya, belum tentu teknologi itu akan berdampak positif terhadap tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara kita.Â
Bangsa Indonesia yang lahir dan tumbuh dalam kehidupan yang berasaskan kekeluargaan dan jiwa gotong royong yang tinggi akan terpengaruhi dengan sistem aplikasi metaverse yang mengarah ke sifat individualistik. Sifat ini sangat bertolak belakang dengan sifat kegotongroyongan masyarakat Indonesia.
Metaverse akan menciptakan dunia yang baru, dunia yang berbeda dimana orang orang akan menggunakan peralatan tertentu dalam berkomunikasi. Artinya, hubungan manusia hanya berlangsung secara maya dan bukan secara langsung dan nyata.
Kita perlu mengantisipasi agar supaya teknologi canggih, boleh di bilang super canggih ini akan merusak tatanan kehidupan bermasyarakat yang sudah berlangsung lama di negeri kita tercinta ini.Â
Jangan sampai kita terjebak dalam upaya penjajahan model baru yang terkandung maksud pihak tertentu yang secara halus akan "mencuci otak" kita dengan dunia khayalan yang memang sangat menarik dan menggiurkan itu.
Mungkin saja catatan antisipasi pribadi ini akan berbeda dengan pandangan sahabat kompasianer. Mungkin saja ini dapat dijadikan topik diskusi sebagai wacana untuk menemukan solusi terbaik dalam upaya menyaring teknologi canggih yang sesuai dengan nilai nilai pribadi kehidupan masyaarakat Indonesia.
Akhirnya, bila saja metaverse ini hanya dimanfaatkan untuk aktivitas positif agar lebih meningkatkan mutu SDM rasanya kita harus dukung bersama. Kurikulum metaverse, kenapa tidak?
JM-07042022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H