Mohon tunggu...
Johani Sutardi
Johani Sutardi Mohon Tunggu... Freelancer - Pensiunan Bankir Tinggal di Bandung

Hidup adalah bagaimana bisa memberi manfaat kepada yang lain

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Apa Kabar Sopir Angkot Bandung, Masihkah Bisa Bertahan Hidup?

5 Oktober 2023   09:09 Diperbarui: 5 Oktober 2023   21:35 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Angkot di tengah kemacetan lalu lintas di Bandung (Sumber: Dokumen pribadi)

Turun di Stasiun Kiaracondong, hari masih gelap. Mau naik ojol tak tahan dengan dinginnya cuaca pagi, tetapi kalau naik taksi online rasanya kemahalan. Akhirnya pilih naik angkot.

Sejak pensiun pengeluaran betul-betul harus diperhitungkan. Bukan pelit, tetapi selama ini hidup rasanya terlalu boros. Tidak sadar sering membelanjakan uang untuk hal-hal yang tidak perlu. Setelah pensiun pendapatan mengkerut, kesadaran untuk menggunakan uang secara efektif timbul dengan sendirinya.

Untuk menuju pangkalan angkot, dari pintu selatan stasiun aku harus menelusuri jalan kecil kurang lebih dua ratus meter. Jalan itu tidak terlalu sempit sebenarnya, tetapi karena di kanan dan kirinya berjejalan dengan pedagang kaki lima jalan tersebut macam tersumbat. 

Mereka berjualan sepanjang hari hampir 24 jam tidak pernah sepi. Seperti di pagi dingin seperti ini aku pun harus melewati pedagang sorabi Bandung, tukang gorengan, bubur ayam, nasi kuning, dan beberapa tukang sayur. Jam 9 nanti mereka akan berganti dengan pedagang mainan anak, pakaian, peralatan dapur yang kemudian akan berganti dengan tukang martabak, kopi seduh, nasi goreng, bakmi dan beragam kuliner sampai menjelang subuh. Begitu seterusnya saling bertukar tempat macam atlet lari estapet.

Jalan kecil itu akan berujung dengan jalan besar tempat mangkal angkot. Dari kejauhan di seberang jalan tampak angkot warna kuning gading dengan polet hijau tujuan Antapani, parkir di pinggir jalan.

Ada dua angkot yang sedang parkir beriringan. Aku menyeberang jalan menuju angkot yang paling depan. Belum ada satu orang pun selain sopir yang duduk di atas angkot itu. Sopirnya kurus ceking masih muda usianya sekitar 30-an, sedikit lebih tua dari anakku.

Aku mencoba membuka pintu depan di samping supir, tetapi setelah diutak-atik pintu angkot itu tidak berhasil terbuka. Melihat aku kesulitan sopir angkot turun dari mobil dan membantu membukakan pintu, sehingga aku bisa duduk di dalamnya. Mobil angkot itu sudah tua sepertinya, dashboardnya sudah compang-camping, bekas radio/tape sudah berlubang sementara lantainya juga sudah keropos, tampak jalan aspal. Mengerikan sekali.

Beberapa saat angkot itu tidak juga berangkat pergi, menunggu penumpang lain. Tetapi setelah menunggu lebih dari 8 menit tak ada penumpang lain yang naik. Sopir angkot pun pasrah, lalu distarter mobilnya. Aku sedikit terperanjat dibuatnya, suara mesin mobilnya macam kandang ayam yang kemasukan maling. Riuh rendah, tempat duduk pun bergetar. Tetapi pelan-pelan angkot pun mulai melaju.

Setiap ketemu lorong sopir menghentikan angkotnya sambil membunyikan klakson. Berharap ada orang yang berniat menumpang. Sayang sudah beberapa lorong dilalui tak satu pun penumpang didapat.

"Sepi penumpang, ya Kang. Apa karena masih pagi?"
"Bukan, bukan karena kepagian. Emang selamanya sepi Pak!"
"O gitu."
"Ya, Pak. Sekarang ini menjadi supir angkot gak bisa diandalkan."

Terharu juga mendengarnya. Ia pun menuturkan kalau sepuluh tahun yang lalu ia menggantikan mamangnya menjadi sopir angkot. Mamangnya sendiri pulang ke kampung di Garut menjadi petani menggantikan kakek yang belum lama meninggal, waktu itu. Sebelum menjadi sopir awalnya ia kernet angkot. Kernet pada angkot yang disopiri mamangnya.

Dulu mamangnya hidup layak sebagai sopir angkot. Tidak terbilang makmur, tetapi masih bisa menabung. Sisa setoran buat juragan angkot, bisa untuk makan, dan sewa kamar. Bahkan dua atau tiga bulan sekali bisa mengirimi uang buat istri dan anaknya di kampung. Ia sendiri sebagai kernet lajang sesekali mengirimi uang buat ibunya.

"Kalo sekarang?"
"Nihil Pak, hehe..."
"Maksudnya?"
"Anu Pak, sekarang ini untuk nutup setoran saja  susah."

Ia menggaruk-garuk kepalanya. Sering, katanya ketika setoran tidak cukup bahkan untuk makan pun ia diberi juragan angkot.

Waktu mamangnya mengakhiri karir menyopir untuk beralih bertani, rupanya itu merupakan awal ambruknya bisnis angkot di Bandung. Saat itu mulai marak kredit sepeda motor maka sebagian penumpang angkot beralih mengendarai motor. Akhir-akhir ini yang paling menusuk hadirnya ojeg dan taksi online. Tak ada lagi yang melirik angkot. Belum lagi soal kemacetan dan gangguan preman, penyakit menahun dalam dunia lalu-lintas di Bandung. Sepanjang perjalanan sopir angkot itu seolah tak pernah lepas dirundung nestapa.

Beruntung mamangnya bisa diselamatkan. Di kampung, sekalipun tak kaya sebagai petani mamang masih bisa bertahan hidup.

Kelu lidahku mendengarnya, betapa getir kisah hidupnya. Aku yang pensiunan merasa penghasilanku jauh melorot. Tetapi dengan efisiensi dan mengurangi keinginan yang tidak perlu kalau sekadar hidup sederhana, rasanya tidak harus mengemis.

"Minggu depan, mungkin saya juga akan pulang kampung. Bertani."

Mendengar kata "bertani" telingaku mengembang. Sejak pensiun kata itu sangat familiar di telinga, senang sekali mendengarnya. Aku hoby bertani sekalipun tak punya lahan. Sudah senang berkebun di lahan sejengkal, di halaman rumah.

"O bagus itu. Ada punya lahan di kampung sana?"

Sopir angkot kurus ceking itu menggelengkan kepala. Katanya di kampung sudah sangat jarang orang bertani di sawah atau kebun sendiri. Lahan pertanian sekarang lebih banyak dimiliki orang kaya dari kota. Sebagian orang kampung paling banter jadi petani penggarap. Selebihnya hanya buruh tani, bahkan.

"Antapani, sudah habis Pak!" Sopir angkot mengingatkan.

Oalah, sudah di terminal. Aku menyodorkan selembar uang kecil, turun dari mobil lalu menyebarang jalan. Sesampainya di seberang aku tengok lagi angkot itu. Rupanya sudah berbalik arah, parkir di bawah pohon angsana di pinggir jalan di luar Terminal Antapani, menunggu penumpang ke arah sebaliknya.

Nak, pulanglah ke Garut ke kampungmu. Tak harus menunggu minggu depan. Tanamlah yang bisa kamu tanam. Tumbuhkan tanaman pangan sebanyak kamu mau. Jangan pedulikan kamu memiliki lahan atau tidak, sebagai petani penggarap atau hanya buruh tani. Tinggalkan angkot tua itu karena suatu saat nanti sopir-sopir kendaraan itu akan digantikan mesin artifisial intelegensia. Biarkan robot-robot itu yang merasa bosan menanti sulitnya mencari penumpang. Esok hari saat dunia mengalami krisis pangan dan energi kalian yang bertani di kampung akan menjadi pahlawan.

Tabe.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun